HET Elpiji, Subsidi Rakyat untuk Pengusaha

KALANGAN agen dan pangkalan elpiji mengusulkan kenaikkan harga eceran tertinggi (HET) pada pemerintah provinsi Sulteng. HET elpiji diusulkan Rp17.000/3Kg atau naik Rp1500 dari HET sementara yang ditetapkan pemerintah, Rp15.500. HET sementara yang ditetapkan pemerintah menurut Asisten II Pemprov Sulteng, Bunga Elim Somba, merupakan angka rasional berdasarkan kondisi daerah. Penetapan HET tersebut diambil setelah melakukan kajian ekonomis dan tidak ada fatwa dari Kementerian Dalam Negeri terkait kondisi Sulteng. Sebelumnya diungkapkan Elim dalam rapat gabungan Komisi I dan Komisi III DPRD Provinsi (Deprov) Sulteng (Rabu, 26/2/2014), Gubernur telah mengirim surat kepada Menteri Dalam Negeri tanggal 28 Agustus 2013, agar di Sulteng diberlakukan berbeda dari ketentuan Surat Menteri Dalam Negeri No. 541/3398/SJ tertanggal 17 September 2009 yang menetapkan HET elpiji Rp12.750. Gubernur mendasarkan permintaan tersebut atas kondisi perekonomian yang telah jauh berbeda antara tahun 2009 dengan tahun 2013. Meski rapat gabungan Komisi I dan III tidak berhasil memutuskan usulan HET ke paripurna DPRD, ada catatan yang cukup menarik dari usulan penaikkan HET elpiji 3 Kg. Hampir semua anggota Deprov peserta rapat mengusulkan agar dilakukan pengkajian secara mendalam atas usulan tersebut, sebelum ditetapkan. Sekretaris Komisi I, Nawawi Sang Kilat, meminta pemerintah dan asosiasi agen (Hiswana Migas) memberikan alasan rasional atas komponen penetapan HET. Menurut Nawawi, tidak terlalu sulit bagi Deprov memberikan persetujuan HET, sepanjang usulan rasional dan tidak membawa masalah pada rakyat. Hal yang sama juga disuarakan anggota Komisi I Muh Ilham Chandra Ilyas dan Rusli Dg Palabbi. Menurut Rusli, sebelum membicarakan HET elpiji, sebaiknya dibenahi dulu permasalahan distribusi dan konversi minyak tanah ke gas. Saat ini masih banyak masyarakat yang enggan menggunakan gas karena faktor keamanan. Penyataan Rusli dan Chandra mendapat dukungan penuh dari Sekretaris Komisi III Erwin Burase dan anggota Komisi III lainnya, Emil Salim Podungge. Dengan nada tinggi, Emil Salim mengingatkan pemerintah, Pertamina dan agen elpiji agar kembali ke semangat Pasal 33 UUD 1945. Keberadaan pemerintah bersama badan usaha yang dikelolanya dimaksudkan untuk menyejahterakan rakyat. Elpiji 3 Kg ditegaskan Emil Salim, sebagai produk bersubsidi. Olehnya HET yang ditetapkan tidak boleh sekadar menguntungkan sekelompok orang dan menjerat rakyat. Emil juga meminta pertanggungjawaban Pertamina atas hilangnya minyak tanah dari pasaran, sementara elpiji belum terdistribusi dengan baik. Hal menarik lainnya, pemerintah dan Hiswana Migas dalam pengusulan HET elpiji sama-sama memasukkan item transportasi sebagai komponen HET. Tak pelak, masuknya item transportasi merupakan bentuk eksploitasi terhadap rakyat kecil pengguna elpiji 3 Kg. Biaya transportasi yang semestinya masuk sebagai risiko bisnis yang seharusnya ditanggung pengusaha dibebankan pada rakyat. Jika dilihat sepintas, item transportasi Rp1.050 terhitung kecil. Namun jika dikalikan dengan konsumsi masyarakat 10 metrikton per hari sebagaimana data yang disampaikan Bagus Sulistiohadi dari Pertamina Palu, maka angkanya bakal mencapai miliaran rupiah dalam kurun satu tahun. Hitungannya sederhana, 10 metrikton perhari untuk elpiji 3 Kg dibebankan transportasi Rp1.050. Artinya perhari pengusaha elpiji akan mendapatkan biaya transportasi sebesar Rp3.500.000 dari elpiji yang terpakai masyarakat. Dalam jangka satu bulan, pengusaha akan mendapatkan ‘subsidi’ biaya transportasi dari masyarakat untuk pengusaha sebesar Rp105.000.000 dan dalam satu tahun Rp1.260.000.000. Bagaimana tidak dikatakan rakyat menyubsidi pengusaha? Dalam penetapan komponen biaya transportasi yang diusulkan Hiswana Migas ke pemerintah, jelas-jelas terdiri dari item seperti bunga bank harga mobil, asuransi mobil, penyusutan harga mobil, penyusutan ban, pemakaian BBM, pelumas, onderdil dan pemeliharaan, biaya STNK dan KIR, gaji sopir dan karnet, uang makan sopir dan karnet serta biaya umum atau over cost, yang kesemuanya itu merupakan biaya operasional yang menjadi beban masyarakat atau rakyat pengguna elpiji. Padahal kalau mau jeli, biaya kesemuanya itu merupakan biaya operasional wajib yang melekat pada setiap kendaraan meski tidak digunakan untuk mengangkut elpiji. Jika demikian, kenapa pemerintah dan Hiswana Migas memasukkan komponen transportasi dalam usulan penetapan HET elpiji 3 Kg? TMU

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM