Kajati Ditantang Selesaikan Kasus Recovery Poso

Kajati baru Sulteng Hermut Achmadi ditantang keberaniannya untuk menyelesaikan dugaan korupsi dana Recovery Poso Rp58 miliar, yang hingga kini tak kunjung tuntas. Salahsatu tokoh masyarakat Poso yang juga anggota Komisi III DPRD Provinsi (Deprov) Sulteng, S Pelima, penanganan dugaan korupsi dana Recovey Poso kabur dan tidak menyentuh substansi. Tulisan Pelima yang diterima redaksi Mercusuar menyebutkan, dana recovery atau pemulihan pasca konflik Poso merupakan anggaran APBN-P Tahun 2006. Proses hukum yang pernah dilakukan dalam pandangan Pelima, dibuat seolah-olah sudah selesai. Padahal proses tersebut belum menyentuh pokok dugaan korupsi yang terjadi sejak tahun 2007. Jumlah uang yang diduga dikorupsi menurut Pelima jauh lebih besar dari beberapa kasus lain yang mencuat di Sulteng seperti pembangunan jalan dan jembatan sekira Rp6,6 miliar dan pembangunan PLTMH Sawidago senilai Rp18,5 miliar. Lebih tragis lanjut Pelima, dugaan korupsi dana Recovery Poso bertalian langsung dengan keperluan pemulihan korban konflik Poso yang rata-rata berasal dari petani, nelayan, pengusaha kecil dan PNS. Sebagian besar dari mereka rumah, halaman dan kebunnya rata dengan tanah. Dana tersebut untuk masyarakat korban tanpa melihat latar belakang suku, agama dan golongan. Bukan hanya itu, dana tersebut juga untuk merehabilitasi rumah-rumah ibadah yang turut rusak dalam konflik sepuluh tahun silam itu. Dengan dana recovey Rp58 miliar, diharapkan masyarakat korban konflik terbantu dan lebih cepat pemulihan ekonominya maupun rekonsiliasi antar warga. Berdasarkan analisis Pelima, dugaan korupsi Recovery Poso selalu ditutup-tutupi penegak hukum dengan slogan formal seperti sudah diperiksa, sudah dilaporkan, belum cukup alat bukti dan seterusnya. Sementara anatomi korupsi yang sebenarnya dikaburkan dan dipersulit pengungkapannya. Secara materiil, sampai saat ini ada sesuatu yang terlihat ganjil. Dari awal kasus ini mencuat tahun 2007, masyarakat dan DPRD Poso telah melakukan penyelidikan. Saat itu ada keinginan kuat di pusat kekuasaan Kabupaten Poso, agar kasus tersebut ditutup-tutupi dan jangan sampai terangkat ke permukaan. Kalaupun ada proses hukum, dugaan korupsi Recovey Poso hanya menjerat beberapa pegawai di tingkat bawah. Sementara pejabat penting dengan segala kroninya secara rapi berhasil cuci tangan dan tidak tersentuh hukum. Hal ini merupakan ketidakadilan dari sudut pandang kepentingan masyarakat Poso secara keseluruhan, maupun teknis penegakkan hukum yang tidak pandang bulu, semua warga Negara diperlakukan sama di depan hukum. Jika ada pertanyaan, mana ketidaksungguhan aparat hukum dalam penuntasan korupsi dana Recovery Poso? Dalam sebuah Koran lokal terbitan tanggal 9 Desember 2010, secara gambling ditulis kesaksian Dedy Longkutoy, mantan anak buah Budiyanto Teodora salah seorang terpidana kasus ini. Dedy bersaksi dibawah sumpah di hadapan Majelis Hakim PN Poso, menyebut istri BUpati Poso, Elen Pelealu Ingkiriwang diduga kuat terlibat pada dua proyek Recovey Poso yang bermasalah. Elen terlibat dalam proyek pengadaan baju dan lars Hanspi yang anggaran mencapai Rp710 juta. Proyek tersebut melekat di Badan Kesbangpol Linmas yang saat itu dipimpin Sin Songgo. Anggaran Rp710 juta diduga telah digelembungkan atau mark up. Seharusnya pengakuan Dedy bisa jadi alat bukti permulaan untuk memanggil dan memeriksa para pihak yang diduga terlibat kasus korupsi itu. Kesaksian Dedy secara hukum kuat, karena diungkap di depan Majelis Hakim yang dipimpin Nawawi Pomalango SH dengan hakim anggota Yoga Dwi Aristono SH dan Aswir SH. Masyarakat Sulteng lanjut Pelima dalam tulisannya, masih ingat keanehan saat sidang Tipikor di PN Palu, Majelis Hakim meminta Elen Pelealu diahdirkan dalam persidangan. Hingga empat kali persidangan, jaksa maupun hakim tidak berhasil menghadirkan Elen. Malah terjadi polemic antara hakim dan jaksa, siapa sesungguhnya yang berwenang menghadirkan Elen sebagai saksi. Kasus ini aneh sekaligus lucu. Inilah gambaran sesungguhnya. Seakan tidak ada keberanian menegakkan hukum atas kasus Recovery Poso, baik dari hakim maupun jaksa. Dalam pemberitaan Koran Mercusuar, salah seorang pejabat di lingkup Kejati, (Abul) Rabuhan SH, meyatakan pernyataan Dedy belum bisa ditindaklanjuti, karena belum cukup bukti. Pelima mengaku terkejut dengan pernyataan ini. Apa yang kurang? Bukankah kejaksaan bisa meminta keterangan dan pihak-pihak yang terkait. Orang-orang yang diduga terkait, pada waktu itu – malah sampai saat ini- masih banyak yang tinggal di Poso, baik pegawai yang sudah pensiun maupun yang masih aktif sebagai pegawai. Malah mantan anggota DPRD Poso 2004-2009 juga siap memberikan keterangan. Kesaksian lainnya juga bisa didapatkan dari tokoh masyarakat seperti Pdt R. Damanik yang kini bermukim di Tentena. Pelima berharap dengan Kajati baru, kasus dugaan korupsi Recovey Poso senilai Rp58 miliar kembali dibuka dan bisa dituntaskan. “Aparat hukum jangan mendiamkan ini. Sebagai abdi Negara, aparat harus bertanggungjawab terhadap institusinya dan lebih-lebih kepada Tuhan Yang Maha Esa. Semoga ada kabar dari instansi penegak hukum, khususnya Kejati Sulteng dengan pimpinan baru, Semoga!”. TMU

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM