Hikmah Ramadan 16-29 Agustus

Hikmah Nuzulul Qur’an
Oleh: Temu Sutrisno

TIDAK terasa, Ramadan telah memasuki hari ke-16. Sebentar malam, hampir bisa dipastikan seluruh masjid menyelenggarakan peringatan Nuzulul Qur’an (peristiwa awal mula Al Qur’an diturunkan). Lalu, apa yang bisa diambil secara subtantif dari peringatan Nuzulul Qur’an?
Al-Qur’an merupakan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman bagi manusia dalam menata kehidupan demi mencapai kebahagiaan lahir dan batin, dunia dan akhirat. Konsep-konsep yang dibawa Al-Qur’an selalu relevan dengan problem yang dihadapi manusia, karena itu ia turun untuk mengajak manusia berdialog dengan penafsiran sekaligus memberikan solusi terhadap problem tersebut di manapun mereka berada.
Luas dan keberagaman tema Al-Qur’an merupakan hal yang sangat unik. la menembus sudut pandang paling kabur dalam pikiran manusia, menembus dengan kekuatan nyata jiwa orang beriman bahkan orang yang tanpa iman sekalipun untuk merasakan sesuatu dalam gerak-gerik jiwanya.
Al-Qur’an juga mengalihkan perhatiannya kepada masa lalu yang jauh dalam sejarah perjalanan ummat manusia sekaligus mengarah ke masa depannya dengan tujuan mengajarkan tugas-tugas masa kini. la melukiskan gambaran dan tanda-tanda yang mengundang manusia untuk segera menarik pelajaran darinya. Setelah pelajaran dapat ditarik kesimpulannya, ternyata jiwa manusia tanpa disadari terseret oleh kedalaman dan keluasan makna Al-Qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an sebagai mukjizat terbukti menjadi modal kehidupan dunia dan akhirat.
Masih adakah Al-Qur’an selalu bersama kita merupakan pernyataan tegas terhadap sikap, prilaku dan kondisi internal keberagamaan ummat Islam di tengah arus modernisasi sebagai suatu proses perkembangan dalam peradaban manusia.
Melalui risalah Muhammad, Allah SWT menurunkan Al-Qur’an saat manusia sedang mengalami kekosongan para rasul, kemunduran akhlak dan kehancuran problem kemanusiaan, sosial politik dan ekonomi. Pada setiap problem itu, Al-Qur’an meletakkan sentuhannya yang mujarrab dengan dasar-dasar yang umum yang dapat dijadikan landasan untuk langkah-langkah manusia selanjutnya yang relevan di setiap zaman. Sejak diturunkannya sampai dengan sekarang Al-Qur’an tidak pernah terlepas dari suatu tradisi yang sedang berjalan. Dengan kata lain, pesan-pesan Al-Qur’an selalu berhubungan dengan pribadi atau masyarakat yang mengganggapnya sakral atau sebagai sentralitas etika universal.
Jika melihat kondisi ummat Islam pada saat al-Qur’an diturunkan, melalui momentum Nuzulul Qur’an ini, semua peristiwa di masa lalu itu dibangkitkan melalui perenungan. Jadi ada kesamaan konteks ketika Al-Qur’an diturunkan pertama kali dengan kondisi terkini yang secarasosial, politik, ekonomi dan agama memang sedang mengalami kebobrokan dan membutuhkan pemecahannya. Untuk itu, ummat Islam sebagai ummat yang terbaik mengemban tugas berat yang berkaitan dengan memahami, mengilhami dan melakukan tanggung jawab. Karena memahami dan menafsirkan adalah bentuk yang paling mendasar dari keberadaan manusia dimuka bumi yang memiliki jabatan sebagai khalifah. Dengan demikian, eksistensi ummat Islam sebagai ummat yang terbaik tidak diragukan. Dengan bantuan ilmu pengetahuan dan agama, peristiwa Nuzulul Qur’an yang terjadi beberapa abad yang lalu menjadi sesuatu yang berkesinambungan hingga kini. Masa lalu tidaklah usang dan ia menjadi pendahulu masa kini. Maka dari itu, upaya memahami makna Nuzulul Qur’an pada saat sekarang ini sama sekali tidak menghilangkan makna dan konteks terdahulu, melainkan merangkumnya untuk kemudian diteruskan hingga kini. Ada semacam harapan yang harus terpenuhi dalam menghadapi tantangan global saat ini sebagaimana Rasulullah juga menghadapi tantangan dan ujian yang berat.
Setelah melihat konteks Nuzulul Qur’an, tugas selanjutnya ialah melakukan kontektualisasi ajaran dan pesan yang terkandung dalam peristiwa Nuzulul Qur’an. Kita harus selalu berdampingan dengan al-Qur’an dalam setiap pikiran, perkataan dan perbuatan. Persahabatan kita dengan al-Qur’an baru sebatas pragmatis dan belum menjadi sesuatu yang harmonis sehingga Al-Qur’an belum membuka solusi terhadap problem kehidupan.
Kesadaran yang mendasar terhadap perisitiwa Nuzulul Qur’an memberikan akses kepada esensi Al-Qur’an dengan keanekaragaman dimensi dan nilai holisitiknya. Bersamaan dengan itu keraguan tcrhadap Al-Qur’an hilang dan digantikan dengan keyakinan yang teguh. Keyakinan yang teguh kepada Al-Qur’an setelah dengan melakukan pencerapan dan penghayatan dapat membuka pintu-pintu hidayahnya sebagai sumber etika dan nilai universal.
Dengan semangat baru, Nuzulul Qur’an menjadi momentum efektif jika Al-Qur’an dijadikan sebagai solusi problem kehidupan yang memberitahukan tuntutan yang harus dilaksanakannya dalam membangkitkan berbagai nilai yang diinginkan dalam penyucian jiwa.***
(Disarikan dari berbagai sumber)

I’tikaf, Shopping dan Benahi Rumah
Oleh: Temu Sutrisno

TIDAK terasa Ramadan memasuki hari kesembilan belas. Malam nanti ummat Islam akan tiba pada pintu sepuluh hari terakhir puasa. Sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan, menjadi kelaziman bagi ummat Islam untuk meningkatkan ibadahnya. Salah metode untuk itu, melaksanakan i’tikaf di masjid-masjid. I’tikaf adalah sunnah di bulan ramadan dan yang lainnya sepanjang tahun. Dengan i’tikaf diharapkan ummat muslim lebih khusu’ beribadah dan memperbanyak amalan-amalan yang diwajibkan maupun di sunnahkan Rasulullah SAW, tanpa terganggu aktivitas lain di luar masjid, seperti salat, membaca Al Qur’an, berzikir dan merenungkan (tadabbur) nikmat dan ciptaan Allah SWT.
Namun fakta sosial menunjukkan sebaliknya. Sepuluh hari terakhir, kebanyakan ummat islam justeru terjebak pada sikap konsumerisme yang ditunjukkan lewat budaya shopping (belanja) dan memperbaiki tampilan rumahnya. Sepertinya tidak afdhol, jika lebaran tidak diisi dengan tampilan rumah yang fresh dengan cat baru, gorden baru, meja kursi baru dan lain sebagainya. Begitu pula dengan pakaian. Semua harus baru untuk tampil di hari Lebaran.
Walhasil, banyak diantara ummat Islam terjebak pada aktivitas memburu diskon di tempat perbelanjaan. Sederhananya, di hari akhir puasa, bapak-bapak sibuk membenahi rumah, ibu-ibu ngurus kue dan makanan Lebaran, muda-mudi dan anak-anak berburu barang belanjaan.
Padahal puasa seharusnya mengajarkan pada ummat Islam agar hidup sederhana dan tidak terjebak pada budaya konsumerisme. Mestinya sepuluh hari terakhir digunakan untuk menambah amalan ibadah. Praktik ibadah yang diajarkan Rasulullah SAW adalah i’tikaf sebagaimana pembuka tulisan diatas.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW i’tikaf sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan berdasarkan hadist Abi Hurairah ra, bahawa Rasulullah SAW beri’tikaf di setiap Ramadan 10 hari. Dan pada tahun dimana beliau wafat Rasulullah SAW i’tikaf selama 20 hari. (HR. Bukhari)
Juga dari ‘Aisyah ra, "Adalah Rasulullah bersungguh-sungguh beribadah apabila telah masuk malam kesepuluh (terakhir), yang tidak pernah beliau lakukan pada malam-malam lainnya." (HR Muslim).
Lalu, bisakah I’tikaf dilaksanakan diluar masjid dan apa saja yang dilarang dilakukan dalam I’tikaf?. I’tikaf dalam pelaksanaanya hanya disyaratkan di Masjid saja, sebagaimana firman Allah SWT: “Dan janganlah kalian melakukan jima’ dengan mereka sedang kalian beri’tikaf di masjid-masjid”. (Al Baqarah: 187)
Imam Bukhari berdalil dengan ayat ini atas apa yang kami sebutkan, Berkata al Hafidz Ibnu Hajar, “Sisi pendalilan dari ayat itu bahwa kalau seandainya i’tikaf itu sah selain dimasjid tidaklah akan dikhususkan pengharaman jima’ itu hanya padanya, karena jima’ itu membatalkan i’tikaf secara ijma’, maka diketahui dengan penyebutan masjid bahwa dimaksudkan i’tikaf itu tidak boleh kecuali di masjid”.
Berkata Aisyah ra, “Disunnahkan, bagi seorang i’tikaf, agar tidak keluar kecuali untuk kebutuhan yang mesti dia lakukan. Tidak boleh menjenguk orang sakit, tidak boleh menyentuh wanita, tidak pula jima’ dengan mereka, dan tidak i’tikaf melainkan pada masjid jami’ (yang digunakan untuk salat jamaah). Disunnahkan pula bagi yang i’tikaf untuk berpuasa”. (HR Baihaqi dan Abu Dawud)
Hal-hal yang dibolehkan untuk orang yang beri’tikaf pertama, dibolehkan keluar dari masjid untuk buang hajat, juga mengeluarkan kepalanya dari masjid untuk dikeramasi atau disisir. Kedua, dibolehkan untuk seorang yang i’tikaf dan yang lain untuk berwudhu dalam masjid. Ketiga, dibolehkan pula membuat kemah kecil di bagian belakang masjid lalu ber’tikaf di dalamnya, karena Aisyah dulu membuat tenda untuk Rasulullah SAW .
Bolehkah wanita beri’tikaf? Diungkapkan Shafiyah ra, “Ketika itu Rasulullah SAW beri’tikaf dimasjid pada 10 hari terkhir bulan ramadan, maka aku datang menengoknya di malam hari dan di sisinya isteri-isterinya yang sedang bergembira, lalu aku berbicara dengan beliau beberapa saat lalu aku berdiri untuk kembali, maka beliau katakan: “Jangan kau terburu-buru sehingga aku antarkan”. Maka beliaupun berdiri bersamaku untuk mengantarkanku.
Dalam riwayat lain, ‘Aisyah ra berkata, “Telah i’tikaf bersama Nabi seorang wanita yang isthihadhah (didalam sebuah riwayat dia adalah Ummu Salamah) diantara isteri-isterinya dan dalam keadaan dia masih melihat kemerahan, kekuningan, bahkan kadang-kadang kami meletakkan bejana di bawahnya dalam keadaan dia tetap salat”. (HR Bukhari)
‘Aisyah juga mengatakan, “Dahulu Rasulullah SAW beri’tikaf sepuluh hari terakhir pada bulan ramadan, sampai Allah mewafatkannya. Kemudian isteri-isteri beliau beri’tikaf setelahnya. (HR Bukhari dan Muslim).
Sangat jelas teladan Rasulullah beserta keluarga dan sahabatnya, jelang lebaran tidak ada acara ‘bedah rumah’ dan belanja besar-besaran. Karena puasa yang berhasil bukan ditentukan bagusnya rumah dan banyaknya barang belanjaan, tetapi kemampuan mengendalikan nafsu (termasuk belanja), tumbuh sikap tawadhu dan sederhana, peduli pada sesama, meningkat kualitas dan kuatitas ibadah ritual dan sosialnya. Wallahualam bishshawab.***

Zakat Fitrah Dan Kepedulian Sosial
Oleh: Temu Sutrisno

IDUL FITRI yang dirayakan setiap tanggal 1 Syawal, eksistensinya terasa lebih sakral jika dibandingkan dengan Idul Adha yang terjadi pada tanggal 10 Dzulhijjah, sebab jatuhnya Idul Fitri tepat setelah satu bulan penuh kita melaksanakan ibadah puasa. Sehingga dengan tibanya tanggal 1 Syawal, kita seakan-akan merasakan sebuah kemenangan dalam mengendalikan hawa nafsu.
Ibadah lain yang turut mewarnai setiap datangnya hari raya Idul Fitri adalah zakat fitrah, kewajiban yang bersifat individual ini ikut menghiasi hari raya sebagai bentuk riil dari asas kebahagiaan bersama dalam ideologi Islam.
Zakat yang secara umum bisa kita artikan sebagai proses pemerataan kepemilikan ini, pelaksanaannya tidak lain merupakan perpindahan harta yang dimiliki oleh kalangan orang-orang kaya ke tangan orang-orang yang tidak berdaya, tentunya dengan beberapa syarat dan catatan yang dikupas secara detail dalam kajian fiqh.
Diantara hikmah disyari`atkannya zakat fitrah menjelang datangnya hari Idul Fitri adalah agar dapat berbagi kebahagiaan antara sesama muslim dari kalangan mampu dan non mampu. Bagaimana tidak, sebab seorang muslim yang memiliki kecukupan makanan pada hari itu diharuskan atasnya mengeluarkan zakat fitrah baik berupa bahan makanan pokok maupun berupa uang.
Esensi Idul Fitri itu sendiri bukan hanya sekadar media penumpahan rasa bahagia bersama anak cucu, kerabat, atau teman-teman dekat dengan melaksanakan shalat Ied berjamaah di sebuah masjid atau lapangan, berjabat tangan (ramah tamah), menyantap aneka macam makanan dan minuman.
Akan tetapi lebih dari itu, rasa kepekaan sosial semestinya harus lebih dititikberatkan, atau dengan kata lain perhatian kita pada realisasi zakat fitrah dan proses penyalurannya harus lebih ditonjolkan
Sebab pengurangan penderitaan komunitas miskin akan dapat menghapus penyakit-penyakit antisosial di antara mereka dan meningkatkan motivasi kerja, efisiensi, dan juga mereduksi waktu terbuang akibat dari konflik.
Di belahan bumi ini masih banyak kita temukan saudara-saudara se-iman yang hidup di bawah garis kemiskinan. Baik itu disebabkan ketidakstabilan politik dan perekonomian, maupun dikarenakan faktor minimnya sumberdaya manusia.
Bukankah Rasul SAW juga pernah bersabda, “Orang yang tidak peduli dengan kondisi umat Islam maka dia tidak termasuk darinya”.
Dari hadist ini saja sebenarnya dianggap cukup untuk mencambuk kepasifan kita dalam melihat realitas ketimpangan sosial dan kondisi tidak meratanya kesejahteraan dalam komunitas kaum muslim.
Di sisi lain komitmen Islam yang mendalam terhadap pesaudaraan dan keadilan menyebabkan konsep kesejahteraan bagi semua umat manusia sebagai suatu tujuan pokok Islam. Para fuqaha secara aklamasi telah menyepakati bahwa adalah fardlu kifayah (kewajiban kolektif) hukumnya, bagi masyarakat muslim untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan pokok orang miskin. ***

Zakat untuk Pemberdayaan Ummat
Oleh: Temu Sutrisno

PADA bulan Ramadan, ummat Islam selain diperintahkan berpuasa, juga diperintahkan berzakat kepada para fakir dan miskin (dhuafa). Sebenarnya kewajiban membayar zakat tidak terbatas pada zakat fitrah, karena masih ada kewajiban membayar zakat lainnya, seperti zakat penghasilan, zakat profesi, zakat perhiasan, dan lain sebagainya.
Ada sejumlah golongan orang yang berhak menerima zakat. Yang utama adalah orang fakir dan orang miskin. Setelah itu musafir (musafirin ), orang yang sedang menuntut ilmu di jalan Allah namun kekurangan biaya (ibnu sabil), orang yang baru masuk Islam (mu'allafah), dan pekerja yang kondisinya miskin (amilin).
Zakat, yang secara harfiah bermakna pembersih, pada hakikatnya memiliki makna ganda. Pertama, sebagai sebuah ibadah. Ada sekitar 20 ayat dalam Al Quran yang menggandengkan perintah zakat dengan shalat. Kedua, zakat pun memiliki fungsi sosial yang tinggi, yakni sebagai upaya menanggulangi ketimpangan distribusi pendapatan, mengurangi kemiskinan, dan mengatasi pengangguran. Fungsi sosial inilah yang kemudian dikembangkan para ekonom Islam sebagai dasar kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi Islam. Legitimasi dari Allah dalam Al Quran telah menjadikan zakat memiliki landasan sangat kuat untuk memotivasi umat Islam menunaikannya.
Allah SWT dalam Al Quran berfirman: "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketenteraman jiwa mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (At Taubah: 103). Kata tuthahhiruhum dalam ayat itu bermakna membersihkan jiwa, sedangkan tuzakkihim bermakna mengembangkan harta. Karena itu, dengan ajaran zakat, ada dua manfaat yang diperoleh, yakni jiwa menjadi suci dan harta makin berkembang, bukan terkurangi.
Misi pencucian dosa dalam berzakat memiliki dimensi ganda. Pertama, sebagai sarana pembersihan jiwa dari sifat serakah bagi orang yang berzakat, karena dia dituntut untuk berkorban (menyantuni) demi mengurangi penderitaan orang-orang lain. Kedua, zakat sebagai penebar kasih sayang kepada kaum yang tidak beruntung sekaligus sebagai penghalang tumbuhnya benih kebencian dari si miskin terhadap kaum kaya. Dengan demikian, zakat dapat menciptakan ketenangan dan ketenteraman bukan hanya bagi yang menerimanya, tetapi sekaligus kepada pemberinya.
Dalam perkembangan dunia modern, potensi zakat yang bisa dikelola adalah zakat profesi (dokter, arsitek, pengacara, dan lain-lain), zakat perusahaan yang juga sangat potensial untuk dikembangkan khususnya yang dimiliki umat Islam, zakat pemilikan surat-surat berharga (saham, obligasi, commercial paper ). Ini semua adalah potensi-potensi zakat yang jika terkumpul melalui suatu institusi dan bisa dikelola melalui sistem serta manajemen yang modern akan menghasilkan suatu dana yang luar biasa besarnya dan mungkin melebihi aset-aset pemerintah yang ada sekarang ini.
Agar zakat dapat didayagunakan secara optimal dalam rangka pemberdayaan umat, diperlukan terobosan yang memungkinkan cita-cita mulia itu terwujud. Dari Al Qur’an Surat At-Taubah ayat 60 jelas terlihat bahwa prioritas utama yang berhak menerima zakat adalah kaum fakir dan miskin. Selama ini zakat kepada kaum fakir dan miskin adalah berupa uang yang diberikan secara langsung. Hal ini bisa diterima dan dimengerti mengingat bahwa uang yang terkumpul dari zakat jumlahnya masih relatif sedikit, sehingga pengelola zakat tidak bisa berbuat lebih banyak lagi dengan jumlah uang yang ada.
Namun, jika dana yang terkumpul sudah membesar, maka perlu ada terobosan baru dalam sistem penyaluran zakat tersebut. Minimal ada dua bidang yang harus dibenahi. Pertama, penyaluran zakat tidak hanya dilakukan secara konvensional, tetapi juga harus memberikan wawasan baru dan meningkatkan kemampuan intelektual dari penerima zakat tersebut. Program ini bisa dilaksanakan dengan jalan, misalnya memberikan beasiswa untuk pendidikan kepada para putra-putri penerima zakat. Dengan demikian, pada generasi kedua dari penerima zakat ini sudah dapat menikmati adanya perbaikan dalam wawasan ilmu dan pengetahuan, sehingga mereka memperoleh lapangan kerja yang lebih baik dari orangtua mereka.
Kedua, dalam menyalurkan zakat sudah saatnya disertai dengan pembinaan manajemen terhadap para penerimanya. Artinya, para penerima zakat sekaligus mendapat bimbingan dari pihak pengelola zakat baik langsung atau oleh siapa saja yang menjadi partner pengelola zakat tersebut. Sehingga penerima zakat dalam mengelola usaha sendiri, apakah itu usaha kecil, home industry atau usaha halal lainnya, bisa memperoleh nilai tambah yang lebih dari pengelola zakat. Dengan program ini, betul-betul diharapkan bahwa para penerima zakat tersebut untuk jangka waktu tertentu sudah dapat berdiri sendiri dan kelak bisa berganti posisi sebagai pembayar zakat. Tentu saja perlu dirancang suatu skema dan strategi yang jitu dan tepat guna bagi penerima zakat tersebut.
Penduduk Sulteng yang mayoritas muslim, sebagian hidup dalam kondisi miskin. Berdasarkan data kebijakan umum anggaran (KUA) APBD 2012, lebih 400 ribu jiwa dikategorikan miskin. Belenggu kemiskinan inilah yang telah menimbulkan kekurangan gizi, kesehatan yang buruk, rumah-rumah tidak layak huni, dan pendidikan anak terbengkalai.
Jika saja kesadaran berzakat dapat ditumbuhsuburkan di Sulteng dan pengelola zakat bekerja secara profesional, zakat yang terkumpul bisa jadi modal pemberdayaan masyarakat miskin. Salahsatu potensi zakat yang bisa dikelola adalah zakat pegawai. Berdasarkan data kepegawaian yang disampaikan dalam LKPJ Gubernur 2010, jumlah pegawai Pemprov Sulteng 6.785 orang dengan total gaji atau belanja pegawai tahun 2011 Rp353 miliar dan tahun 2012 diplot 389 miliar. Jika diasumsikan semua pegawai masuk wajib zakat, maka potensi zakat PNS tahun 2011 mencapai Rp9 miliar dan tahun 2012 mencapai Rp10 miliar dengan perhitungan seluruh gaji pegawai dipotong 2,5 persen untuk zakat. Faktanya, dana zakat, infak dan sedekah yang dikelola BAZ Sulteng dari institusi pemerintah dan beberapa badan usaha sampai akhir 2010 lalu, baru mencapai Rp1,5 miliar. ***

Hagala
Oleh: Temu Sutrisno

ADA hal menarik dan menjadi semacam tradisi yang terulang setiap tahun, jelang Idul Fitri di Sulteng. Masyarakat. Mendekati Lebaran, sebagian masyarakat menyisihkan pendapatannya untuk Hagala (hadiah lebaran) bagi sebagian masyarakat lainnya. Malah secara kasat mata, ada sebagian masyarakat menyempatkan waktunya mendatangi pejabat atau orang yang berekonomi lebih, untuk sekadar mendapatkan Hagala.
Jika Hagala disamakan dengan hadiah, bagaimana pandangan Islam? Hadiah dalam kehidupan antar individu dan komunitas manusia memiliki pengaruh yang signifikan untuk terwujudnya ikatan dan hubungan sosial. Dengan hadiah, terungkap rasa hormat, cinta dan kasih sayang. Hadiah juga menjadi alat menghilangkan kedengkian dan iri hati. Rasulullah SAW sendiri dengan alasan itu, menerima dan menganjurkan untuk saling memberi hadiah.
Imam Bukhari telah meriwayatka, dari ‘Aisyah ra, beliau berkata, “Rasulullah SAW menerima hadiah dan membalasnya.”
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW telah bersabda, “Hendaknya kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Al Bukhari.) Rasulullah juga bersabda,
“Penuhilah undangan, jangan menolak hadiah, dan janganlah menganiaya kaum muslimin.” (HR. Ahmad dan Bukhari).
Menurut istilah syar’i, maka hadiah ialah menyerahkan suatu benda kepada seorang tertentu agar terwujudnya hubungan baik dan mendapatkan pahala dari Allah tanpa adanya permintaan dan syarat. Hadiah menurut sebagian besar ulama ada antara hibah, pemberian (athiyah) dan shadaqah. Shadaqah diberikan kepada seseorang yang membutuhkan dan dalam rangka mencari wajah Allah SWT. Sedangkan hadiah diberikan kepada orang yang fakir dan orang kaya, dan diniatkan untuk meraih rasa cinta dan membalas budi atas hadiah yang diberikan, meski terkadang pemberian hadiah itu juga bertujuan untuk mencari wajah Allah SWT. Adapun hibah dan athiyah, tidak ada di antara keduanya perbedaan dan terkadang dimaksudkan untuk memuliakan orang yang diberikan hibah atau athiyah saja dikarenakan suatu keistimewaan atau sebab-sebab tertentu.
Hukum hadiah berdasarkan kesepakatan ulama diperbolehkan, apabila tidak terdapat didalamnya larangan syar’i. Terkadang disunnahkan untuk memberikan hadiah apabila dalam rangka menyambung silaturrahim, kasih sayang dan rasa cinta ataua untuk membalas budi dan kebaikan orang lain. Hadiah bisa menjadi haram atau perantara menuju perkara yang haram jika termasuk dalam kategori sogok-menyogok.
Kembali ke Hagala, jika itu dimaksudkan untuk sekadar membagi rejeki, meyambung tali silaturrahim dan menumbuhkan sikap saling menghormati dan menimbulkan kasih sayang, maka sudah berada pada rel yang tepat.
Mengacu pada pengertian seperti itu, maka pemberian dan penerimaan Hagala tidak dalam keterpaksaan, melainkan karena keikhlasan. Artinya, pemberi Hagala memiliki kelonggaran untuk mengeluarkannya dan penerima tidak terkesan memaksa seseorang untuk mengeluarkannya. Dalam konteks Hagala sebagai hadiah yang diperbolehkan ajaran Islam, maka tradisi Hagala jelang Lebaran bisa jadi tradisi unik atau khas masyarakat muslim (khususnya Sulteng), jika prosesnya dipoles lebih baik dan tidak menimbulkan kerawanan sosial, sebagaimana tragedi ‘zakat maut’ di Pasuruan Jawa Timur, dua tahun silam. Wallahualam bishshawab. ***

Idul Fitri Dan Peningkatan Kepedulian Sosial
Oleh: Temu Sutrisno

IDUL fitri yang dirayakan pada setiap tanggal 1 Syawal, eksistensinya terasa lebih sakral jika dibandingkan dengan Idul adha yang terjadi pada tanggal 10 Dzulhijjah, sebab jatuhnya Idul fitri tepat setelah satu bulan penuh kita melaksanakan ibadah puasa. Sehingga dengan tibanya tanggal 1 Syawal kita seakan-akan merasakan sebuah kemenangan dalam mengendalikan hawa nafsu.
Ibadah lain yang turut mewarnai setiap datangnya hari raya Idul fitri adalah zakat fitrah, kewajiban yang bersifat individual ini ikut menghiasi hari raya sebagai bentuk riil dari asas kebahagiaan bersama dalam ideologi Islam.
Zakat yang secara umum bisa kita artikan sebagai proses pemerataan kepemilikan ini, pelaksanaannya tidak lain merupakan perpindahan harta yang dimiliki oleh kalangan orang-orang kaya ke tangan orang-orang yang tidak berdaya, tentunya dengan beberapa syarat dan catatan yang dikupas secara detail dalam kajian fiqh.
Diantara hikmah disyari`atkannya zakat fitrah menjelang datangnya hari Idul fitri adalah agar dapat berbagi kebahagiaan antara sesama muslim dari kalangan mampu dan non mampu. Bagaimana tidak, sebab seorang muslim yang memiliki kecukupan makanan pada hari itu diharuskan atasnya mengeluarkan zakat fitrah baik berupa bahan makanan pokok maupun berupa uang.
Esensi Idul fitri itu sendiri bukan hanya sekedar media penumpahan rasa bahagia bersama anak cucu, kerabat, atau teman-teman dekat dengan melaksanakan shalat Ied berjamaah di sebuah masjid atau lapangan, berjabat tangan (ramah tamah), menyantap aneka macam makanan dan minuman.
Akan tetapi lebih dari itu, rasa kepekaan sosial semestinya harus lebih dititik beratkan, atau dengan kata lain perhatian kita pada realisasi zakat fitrah dan proses penyalurannya harus lebih ditonjolkan
Sebab pengurangan penderitaan komunitas miskin akan dapat menghapus penyakit-penyakit antisosial di antara mereka dan meningkatkan motivasi kerja, efisiensi, dan juga mereduksi waktu terbuang akibat dari konflik.
Di belahan bumi ini masih banyak kita temukan saudara-saudara se-iman yang hidup di bawah garis kemiskinan. Baik itu disebabkan ketidakstabilan politik dan perekonomian, maupun dikarenakan faktor minimnya sumberdaya manusia.
Di berbagai media massa akan banyak kita temukan gambaran kesengsaraan mereka, kondisi jauh dari kesejahteraan menjadi topik utama dalam mengisi harian surat kabar dan layar televisi rumah kita.
Realitas buruk ini tidak cukup dengan membiarkan mereka untuk membangun kembali keterpurukan politik dan ekonomi negaranya yang selama ini menjadi sumber utama kesengsaraan, sementara kita yang menjadi saudara se-imannya hanya sibuk dengan urusan pribadi bahkan dengan kebahagiaan nisbi dalam perayaan-perayaan.
Justru adanya langkah nyata dari kita lah yang akan membantu mengeluarkan mereka dari belenggu kesengsaraan, tentunya dengan bantuan baik berupa moril maupun materil. Dan zakat fitrah adalah salah satu dari bentuk bantuan materil yang bisa kita salurkan kepada mereka.
Apalah artinya kalau kita berbahagia bersama anak cucu, karabat, dan teman-teman dekat kalau mereka yang notebene saudara se-iman justru merasakan suasana kebalikannnya.
Akankah fenomena kesengsaraan dan kematian akibat kelaparan yang setiap saat menghantui mereka menjadi sesuatu yang lumrah mengisi hari-hari kita, hingga sama sekali tidak membangkitan rasa peduli kita ? atau bahkan kita akan menganggapnya sebagai sebuah konsekuensi dari sikap dan perbuatan mereka dalam menjalani kehidupan berbangsa ?
Sungguh sangat naïf kalau dalam diri kita tersimpan sikap-sikap di atas. Bukankah Rasulullah SAW pernah mengingatkan umatnya akan efek dari sebuah kemiskinan, “Bahwa kemiskinan akan menjerumuskan seseorang ke dalam kekufuran”. Apakah kita rela kekufuran akan mengganti intisari keimanan mereka ?
Bukankah Rasulullah SAW juga pernah bersabda, “Orang yang tidak peduli dengan kondisi umat Islam maka dia tidak termasuk darinya”.
Dari hadist ini saja sebenarnya dianggap cukup untuk mencambuk kepasifan kita dalam melihat realitas ketimpangan sosial dan kondisi tidak meratanya kesejahteraan dalam komunitas kaum muslim.
Di sisi lain komitmen Islam yang mendalam terhadap pesaudaraan dan keadilan menyebabkan konsep kesejahteraan bagi semua umat manusia sebagai suatu tujuan pokok Islam. Para fuqaha secara aklamasi telah menyepakati bahwa adalah fardlu kifayah (kewajiban kolektif) hukumnya, bagi masyarakat muslim untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan pokok orang miskin
Kalau demikian adanya, mengapa pada kesempatan Idul fitri kali ini nurani kita tidak tergugah untuk melakukan sesuatu yang berarti bagi saudara-saudara se-iman yang hidup dalam belenggu kesengsaraan? ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM