Hikmah Ramadan 1-13 Agustus 2011


Ramadan, Wahana Penyucian Jiwa
Oleh: Temu Sutrisno

APA rahasia Allah SWT mewajibkan umat beriman untuk melakukan puasa Ramadan tanpa pandang bulu baik laki-laki maupun perempuan, kaya atau miskin asal memenuhi syarat maka ia wajib berpuasa. Jika berhalangan, maka wajib mengganti pada bulan-bulan lainnya atau wajib membayar fidyah, memberi makan pada orang miskin yang melakukan puasa. Kita dituntun Allah SWT melakukan berbagai amal kebaikan di bulan Ramadan.
Sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim menyebutkan bahwa semua amal ibadah anak adam akan dilipatkan gandakan menjadi sepuluh kalinya, bahkan sampai tujuh ratus kalinya, kecuali puasa. Hak Allah-lah yang pantas membalasnya dan hanya Dia-lah yang tahu sebarapa besar balasan itu. Alasan Allah yang hanya berhak membalas pahala orang berpuasa, karena orang tersebut meninggalkan syahwat dan makan minum karena Allah, bukan karena surga maupun takut neraka. Satu tujuan orang berpuasa, ridha Allah.
Selain itu, dipilihnya bulan Ramadan sebagai bulan puasa, karena pada bulan Ramadan peristiwa agung terjadi, yakni diturunkannya Al Qur’an (nuzulul Qur’an). Al Qur’an merupakan mukjizat, kitab suci, petunjuk sekaligus miniatur peristiwa yang telah maupun yang akan terjadi terhadap alam semesta ini. Sebagaimana firman Allah, "Bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda". (Qs. 2: 185)
Bulan Ramadan merupakan salah satu bulan pilihan, bulan yang dimuliakan karena pada setiap waktunya mengandung berkah. Dalam konteks teknologi informasi, bulan Ramadan merupakan daerah penuh sinyal komunikasi. Sehingga untuk melakukan komunikasi jelas dan tidak terputus-putus. Bulan Ramadan merupakan bulan yang cocok untuk melakukan komunikasi (bermunajahah) dengan Allah, karena sepanjang bulan itu, Allah membuka lebar pintu rahmat-Nya. Allah menyediakan jalur khusus bagi orang berpuasa meraih nikmat-Nya. Bahkan Allah SWT juga memberikan hari-hari penuh berkah sebagai ‘hadiah’ bagi orang berpuasa, yakni Lailatul Qodar.
Bulan Ramadan merupakan bulan yang cocok untuk dijadikan madrasah rabbaniyyah. Madrasah ini merupakan institusi khusus yang Allah berikan kapada manusia, agar dalam kehidupannya mencapai kesatuan karsa dengan sang Khalik (wihdatul iradah). Wihdatul iradah adalah sarana untuk menggapai kesejahteraan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Untuk mewujudkan wihdatul iradah, manusia dituntut menyesuaikan perbuatannya dengan kehendak Allah.
Madrasah rabbaniyyah adalah wahana penyucian jiwa (Tazkiyatun Nafs). Kesucian jiwa merupakan syarat mutlak untuk bisa menjalin hubungan dengan Allah. Sesuai dengan Dzat-Nya, "yang Maha Suci". Maka untuk mendekatinya sudah barang tentu keadaan manusia haruslah suci lahir dan batin. Bukankah Allah menyukai orang-orang yang suci dan bertaubat? Selain itu orang yang menyucikan diri dan jiwanya oleh Allah digolongkan sebagai orang beruntung sedangkan orang yang mengotori jiwanya termasuk orang-orang yang merugi (Qs. 91: 9-10).
Penyucian jiwa merupakan langkah pertama seseorang untuk mewujudkan puncak ketauhidan. Tanpa penyucian jiwa, iman sulit mengakar dalam hati. Jiwa yang kotor merupakan hijab, penghalang, antara manusia dengan Tuhan.
Puasa Ramadan merupakan riyadlah atau latihan untuk membuka serta melunakkan hati manusia supaya mudah menangkap spirit ketuhanan. Jika manusia yang sudah mengosongkan hatinya dari sifat-sifat yang tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji, segala perbuatan dan tindakannya sehari-hari selalu berdasarkan niat ikhlas.
Puncak dari Madarasah Rabbaniyyah adalah taqwa. Orang yang melakukan serangkaian amalan di bulan Ramadan tak lain bertujuan mencapai derajat ketaqwaan. Ramdhan menjadi tidak berarti, jika amalan-malan yang kita lakukan tidak mampu mengantarkan pada posisi taqwa. Ramadan tidak termaknai sebagai madrsah untuk menggembleng diri, jika setelah Ramadan berlal;u, kita kembali melakukan perbuatan mungkar dan jauh dari Allah. Semoga Ramadan kali ini mampu mendidik kita menggapai ridha Ilahi dan menjadi khalil-Nya yang disayangi. Selamat berpuasa. Marhaban Yaa Ramadan. ***

Korupsi, Tobat dan Tazkiyah
Oleh: Temu Sutrisno

SEPEKAN terakhir masyarakat Indonesia disibukkan dengan pembicaraan ‘Pembubaran KPK dan Memaafkan Koruptor’. Sejenak menengok ke belakang, sejak Indonesia merdeka, salah satu penyakit sosial bangsa yang belum sepenuhnya dapat disembuhkan adalah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Penyakit sosial ini seperti telah membudaya dan memorakporandakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Imbasnya, kekayaan Indonesia hanya berputar pada segelintir orang dan kemiskinan menjerat mayoritas anak bangsa. So, haruskan koruptor diampuni dan dimaafkan?
Lebih jauh dari sekadar jawaban iya dan tidak terhadap pertanyaan perlunya mengampuni dan memaafkan koruptor, sesungguhnya Ramadan yang secara substansial mendidik orang untuk jujur, adil dan sensitif terhadap penderitaan orang lain, bisa dijadikan pijakan untuk merubah mentalitas bangsa dan budaya korup yang telah menggurita hingga jantung pemerintahan terendah. Ramadan menjadi momentum seluruh anak negeri untuk meninggalkan sikap dan budaya korup.
Langkah pertama yang harus dilakukan bangsa dan seluruh warga adalah muhasabah (instropeksi diri) secara mendalam dan mengakui segala kekurangan dan dosa sosial politik yang ada. Selanjutnya melakukan pertaubatan secara individu dan kolektif (nasional), dengan tobat nasuha, sebagaimana firman Allah SWT dalam At Tahrim ayat 8.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah engkau pada Allah dengan tobat yang sesungguh-sungguhnya”.
Yang dimaksud tobat nasuha adalah sikap mengakui dan menyesali perbuatan yang keliru, menjauhi dan tidak akan mengulanginya lagi. Tobat seperti inilah yang diterima Allah dan memiliki nilai transformatif secara sosial. Bukan tobat asal-asalan atau meminjam istilah orang Jawa ‘kapok lombok’. Menyesal makan lombok karena pedas, tapi pada waktu berbeda memakannya kembali.
Jika tobat nasuha dilakukan, maka secara individu maupun kolektif bangsa ini tidak akan lagi mengulangi kesalahan masa lalu dan kembali membudayakan korupsi, yang telah terbukti merusak dan meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan.
Rasulullah SAW pernah mengirim surat kepada Wahsyi, sang pembunuh Hamzah, paman Rasul, untuk kembali kepada Allah SWT. Wahsyi menjawab, ”Bagaimana mungkin aku kembali kepada Allah, padahal aku ini pembunuh, pezina, dan menyekutukan Tuhan yang akan disiksa dan dilipatgandakan siksanya pada hari kiamat serta abadi di dalamnya dengan terhina. Aku termasuk orang seperti itu. Apakah ada pengecualian bagiku?” kata Wahsyi, menjawab ajakan Rasulullah.
Keraguan Wahsyi direspons Allah dalam Surat Maryam ayat 60 dan Surah Alfurqan ayat 70, bahwa taubatnya seorang hamba yang tulus dan diikuti dengan perbuatan baik, Allah akan mengganti seluruh kejahatan yang dilakukannya dengan kebajikan dan tidak akan dirugikan sedikit pun.
Wahsyi masih menawar, dia pun berkata, ”Syarat itu terlalu berat bagiku, aku tidak bisa melakukannya.” Allah pun menjawab dalam Surat An-Nisa' ayat 48 dan 116, ”Hanya dosa syirik yang tidak diampuni.”
Wahsyi tidak puas, dia pun berkata, ”Aku ragu, apakah aku termasuk orang yang diampuni Allah? Apakah ada ketentuan lain selain ini?”
Maka Allah memanggilnya dengan penuh kasih sayang, ”Wahai hamba-hamba-Ku yang dosanya tidak bisa dihitung dengan deret ukur, jangan berputus asa dari kasih sayang Allah. Allah akan mengampuni semua dosa yang telah kamu kerjakan.” (QS Al Zumar: 53).
Kisah tersebut dapat dilacak dalam kitab Lubab an Nuqul fi Asbab an Nuzul karya Jalaluddin as Suyuthi.
Dosa manusia sebesar apa pun akan diampuni Tuhan. Luasnya langit dan bumi Tuhan masih sangat longgar untuk menutupi padatnya dosa-dosa hamba-Nya yang telah menggunung. Dosa-dosa itu akan kita bakar pada bulan Ramadan, karena Ramadan itu sendiri berasal dari kata ramdla yang artinya membakar, kemudian kita mencucinya atau bertazkiyah, yaitu bagi seorang yang memulai perjalanan hidupnya dari hal-hal yang buruk, namun di sisa akhir hidupnya, ia merintis jalan kesucian. Gelar khusnul khatimah berhak disandangnya. Allah menghapus dosa-dosa yang telah dikerjakan sebelumnya.
Tazkiyah atau penyucian diri adalah proses yang harus dijalani tanpa batas sampai pada tingkat yang tak terhingga. Bagi setiap muslim tazkiyah adalah keperluan yang sangat mendesak sampai akhir hayatnya.
Salah satu gangguan tazkiyah yang paling berbahaya yaitu ketika mendekati Tuhan dengan kepuasan diri. Perasaan kagum akan kesucian diri yang telah dicapai merupakan awal kejatuhan manusia pada tingkat yang paling dasar. Jangan merasa dirimu suci, demikian kata Allah dalam Surat An-Najm ayat 32.
Tazkiyah pendosa yang tulus dan terus menerus lebih disukai Allah daripada orang saleh yang menjalani proses penyucian diri lalu berhenti dan melepaskannya sehingga jatuh pada kesesatan.
Dalam tafsir At Thabary, tentang Surah Al A’raf ayat 175-176, Sayyar menginformasikan tentang orang saleh pada zaman Bani Israil bernama Bal’am yang pernah mencapai kedudukan tinggi di sisi Allah karena proses tazkiyah yang dilakukan. Karena kesalehannya, dia dihormati banyak orang, reputasinya yang tinggi, dan doanya yang senantiasa diperkenankan Tuhan. Dia mempunyai jabatan tinggi di pemerintahan.
Suatu saat Fir’aun menyuruhnya untuk mendoakan kaum Nabi Musa agar jatuh dalam kecelakaan, Bal’am pun memenuhinya. Bal’am yang saleh telah terjatuh dalam kesesatan karena silau dengan kilatan dunia, memulai hidupnya dengan kesalehan, perjuangan atas nama Islam, akan tetapi dalam perjalanan akhir hidupnya, ia mengalami perubahan yang drastis, karena terbuai dengan ambisi duniawi.
Kisah Bal’am, ulama saleh yang semula melakukan tazkiyah, tetapi jatuh pada kenikmatan dunia, Alquran Surat Al A’raf ayat 176 menyebutnya seperti seekor anjing.
Belajar dari sejarah Bal’am, kita tidak boleh merasa aman dan tentram dengan tazkiyah diri kita. Orang saleh yang banyak amalnya saja dapat terjerumus dalam kesesatan, apalagi yang sedikit amal salehnya.
Mari berlomba untuk bertobat dan bertazkiyah pada Ramadan dengan penuh ketulusan. Pasti Allah menerimanya. Semoga Ramadan kali ini berhasil mengeluarkan diri dan bangsa kita dari budaya korup.***

Ramadan Mendidik Kesabaran
Oleh: Temu Sutrisno

SEPERTI biasa, (tadi) malam aku harus menyelesaikan tugas pengeditan berita di redaksi. Jam telah menunjukkan Pukul 23.49 Wita. Tiba-tiba komputer bermasalah dan setelah diperbaiki, berkali-kali masalah yang sama muncul. Akhirnya aku harus pindah meja dan menggunakan komputer lain.
Aku agak jengkel dan sempat ngomel sendiri. Beberapa teman ketawa dan mengingatkan, “Mas, sabar. Puasa ini mas”. Aku sempat mikir, apa hubungannya malam ini dengan puasa. Toh puasa dimulai dari fajar hingga matahari terbenam. Aku pun terus mengedit berita teman-teman.
Sambil terus bekerja, aku memikirkan kata teman-teman, sabar. Dan tiba saatnya saya harus menulis Hikmah Ramadan. Tanpa ragu, akupun mengambil tema seputar kesabaran. Benar memang yang dibilang teman-teman, salah satu hikmah puasa adalah melatih kesabaran pelakunya. Banyak orang puasa, kadangkala tidak mampu mengendalikan dirinya, terutama setelah berbuka. Demikian halnya pada hari atau bulan-bulan diluar Ramadan. Dalam Islam, sabar memiliki banyak makna.
Dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim Anas bin Malik pernah menuturkan bahwa, Rasulullah SAW pernah suatu kali lewat di sebelah seorang wanita yang sedang menangisi kematian anaknya. Beliau berkata kepadanya, “Takutlah kepada Allah dan bersabarlah.” Wanita itu berkata, “Engkau tidak merasakan musibah yang aku alami.”
Ketika Rasulullah SAW sudah berlalu dari situ barulah ada sahabat berujar kepada wanita itu, bahwa orang yang barusan menasihatinya adalah Rasulullah SAW. Alangkah terkejutnya wanita itu, bahwa orang yang barusan menasihatinya itu adalah Rasulullah SAW. Cepat-cepatlah dia pergi ke rumah Rasulullah SAW dan berdiri diambang pintunya. Dia berkata, “Wahai Rasulullah, aku tadi tidak mengenalmu. Sekarang aku sabar.” Rasulullah SAW bersabda, “Kesabaran itu berlaku pada awal goncangan/musibah.”
Serupa dengan sabda Rasulullah SAW, “Bukanlah disebut orang kuat, orang yang berkelahi secara tangguh. Akan tetapi orang kuat adalah dia yang bisa menahan diri di waktu marah.”
Karena datangnya musibah secara tiba-tiba biasanya menancapkan pengaruh luar biasa sehingga bisa menggoncangkan hati. Dengan kesabaran pada waktu goncangan pertama, orang akan bisa membendung kedahsyatan dan kekuatan musibah itu, sehingga musibah itu tidak ada artinya lagi baginya dengan adanya kesabaran tersebut. Sebab biasanya musibah yang datang menerjang, bisa menggoyahkan hati yang tidak siap, inilah yang dinamakan dengan goncangan pertama dalam hadis di atas.
Akan tetapi, ketika musibah itu datang lagi, dia sudah tidak kaget dan menyadari bahwa dia harus bersabar. Sehingga di sini kesabaran tidak jauh beda dengan kesabaran karena keterpaksaan. Wanita di atas ketika mengetahui bahwa kesedihannya sama sekali tidak ada manfaatnya, barulah dia datang menemui Rasulullah SAW untuk minta maaf.
Ibn Abi al-Dunya meriwayatkan dari Bisyr bin al Walid, dari Shalih al-Kindi bin Malik, dari Sa'id bin Zarabi yang menyebutkan hadis di atas. Penuturan itu semakin memperjelas makna dan kandungan hadis di atas. Abu 'Ubaid berkata: "Makna hadis ini adalah bahwa setiap orang yang kena musibah, maka bentengnya adalah kesabaran. Akan tetapi dia bisa mendapatkan pujian dari Allah atas kesabarannya ketika musibah itu sedang berada dalam keadaan yang dahsyat. Dalam hadis ini terkandung beberapa hikmah, pertama, kewajiban sabar atas segala musibah merupakan sebuah ketakwaan di mana hamba diperintahkan untuk melakukan hal itu.
Kedua, perintah pada kebaikan dan larangan dari keburukan (amar ma'ruf nahi munkar). Dan bahwa dahsyatnya musibah tidak menghalanginya untuk mengerjakan perintah Allah dan menghindari larangan-Nya.
Ketiga, selalu mengulang pelaksanaan perintah Allah dan menghindari larangan-Nya sehingga kemudian dia bisa sampai kepada Allah.
Dalam kitab Shahih Muslim terdapat sebuah hadis dari Ummu Salamah yang berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: "Tidak ada seorang muslim yang ditimpa musibah dan dia mengatakan seperti perintah Allah: "Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan sesungguhnya kami akan kembali pada-Nya. Wahai Allah, berikanlah pahala padaku dalam musibahku ini dan wariskanlah padaku kebaikan dalam musibah ini," kecuali Allah akan memberikan ganti padanya sesuatu yang jauh lebih baik baginya."
Puasa di bulan suci Ramadan membantu pelakunya untuk belajar sabar dalam mengendalikan emosinya, sabar menerima musibah, sabar menjalankan ibadah dan sabar dalam memperjuangkan sesuatu. Sabar seperti inilah yang diajarkan Islam. Bukan sabar dalam makna menyerah terhadap keadaan. Puasa yang berhasil, adalah puasa yang mampu menumbuhkan sikap sabar pada pelakunya.
Diakhir aku menulis hikmah ini, aku hanya bisa berharap semoga termasuk orang-orang yang bisa mengendalikan diri dan jadi orang sabar, orang yang berhasil mereguk hikmah Ramadan. Semoga. ***


Kemiskinan dan Tanggungjawab Negara
Oleh: Temu Sutrisno

TINGKAT kemiskinan di Sulteng cukup tinggi. Angka kemiskinan mencapai kisaran 18 persen atau sekira 470 ribu jiwa. Bukan hanya itu, angka pengangguran mencapai 7 persen dan kasus gizi buruk dari tahun ke tahun terus bermunculan.
Kenapa kemiskinan bisa cukup tinggi padahal potensi ekonomi Sulteng cukup bagus dengan kandungan sumberdaya alam melimpah? Lalu apa peran dan tanggungjawab pemerintah sebagai aparatus Negara?
Sekadar mengingatkan, kemiskinan, pengangguran dan gizi buruk merupakan tanggungjawab Negara terhadap warganya. Bukan bermaksud menyandingkan atau membanding-bandingkan khulafaur rasyidin dengan pemerintah yang ada sekarang, kita bisa belajar banyak dari sejarah kepemimpinan mereka dan bagaimana khulafaur rasyidin memerhatikan rakyat miskin.
Jika kita mau menengok sejenak ke belakang sejarah Islam tentang khalifah Umar bin Khattab, rasanya kasus mati kelaparan, busung lapar atau kekurangan gizi tidak akan terjadi. Dikisahkan, bagaimana khalifah Umar sangat memperhatikan rakyat kecil. Umar rela mengambil sekarung gandum, sebotol minyak, gula, mentega dan segala macam bahan pangan lainnya dari Baitul Maal. Kemudian, Umar sendiri yang memasakkan dan menghidangkannya untuk seorang wanita tua dan anak-anaknya yang sudah tiga hari tidak makan.
Kejadian itu dialaminya, saat malam hari Umar meronda ke perkampungan penduduk, bersama seorang sahabatnya. Tiba-tiba di sebuah gubuk reyot, Umar menemukan seorang wanita sedang merebus sesuatu dalam periuk yang dijaringkan di atas tungku. Di dekat wanita itu, tiga orang anak kecil merengek kelaparan. Didapati Umar, saat Umar memasuki rumahnya, ternyata yang direbus dalam periuk itu adalah batu kerikil. Hal tersebut semata dilakukan wanita tua itu untuk meredakan tangis anak-ankanya yang kelaparan, hingga mereka tertidur dan melupakan rasa laparnya.
Selesai berkunjung, memasak dan menghidangkan makanan untuk wanita tua dan tiga orang anaknya itu, Umar memohon maaf, karena sebagai amirul mukminin (pemimpin orang beriman) telah berbuat tak layak, menelantarkan rakyatnya kelaparan. Zaman sekarang, pernahkah kita melihat pemimpin sepeduli khalifah Umar Bin Khattab? Jangankan manusia, binatang pun Umar perhatikan, karena kelak, di akhirat akan diminta pertanggungjawabannya.
Dalam kisah lainnya, Imam Ali bin Abi Thalib, menyatakan tidak dapat tidur nyenyak dalam kondisi kenyang, sebelum ummatnya tidur dengan perut kenyang. Pertanyaannya, masihkan adakah pemimpin saat ini sekelas Umar dan Ali? Atau paling tidak berusaha untuk memerhatikan rakyatnya sebagaimana kedua teladan tersebut?
Negara dalam pandangan Islam adalah melindungi kepentingan warga negara baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Negara menjamin keselamatan setiap warga negara yang ada di luar negeri dengan politik luar negerinya, baik warga negara sedang menjalankan tugas negara maupun untuk kepentingan pribadi, seperti sedang belajar, perjalanan dagang, untuk misi kebudayaan dan kemanusiaan, dan lain-lain. Dengan demikian negara membuat berbagai hubungan luar negeri dalam koridor syari’at Islam.
Di dalam negeri, negara secara praktis bertanggung jawab atas kesejahteraan warga negara, baik muslim maupun non muslim. Dalam sistem negara Islam, negara menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok, baik sandang, pangan, maupun papan. Tidak boleh ada rakyat yang lapar, telanjang, atau tak punya tempat tinggal. Banyak ayat dan hadits yang menyebut tentang itu. Di antaranya:
“Penduduk negeri mana saja, dimana terdapat orang yang lapar, dan mereka membiarkan, maka telah lepas tanggungan Allah atas mereka.”
Hadits tersebut memberikan pengertian bahwa negara wajib menjamin jangan sampai ada orang yang mati kelaparan. Juga, adalah menjadi kewajiban kaum muslimin secara keseluruhan, manakala kas negara sedang kosong, mengeluarkan sebagian hartanya untuk memenuhi kebutuhan itu. Artinya, negara berhak menarik pajak kepada kaum muslimin yang memiliki kelebihan harta untuk memenuhi kekurangan dana kas negara (baitul maal) bagi kepentingan memenuhi kebuhan pokok masyarakat yang tak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri.
Disamping itu negara dalam pandangan Islam harus menjamin hak umum masyarakat, dengan memberikan pendidikan, pelayanan kesehatan, dan jaminan keamanan secara gratis kepada seluruh warga negara, tanpa pandang bulu, miskin ataupun kaya. Termasuk yang tidak pandang bulu ini, adalah kedudukan warga negara di depan hukum (syari’at Islam). Antara pejabat dan rakyat jelata, kedudukannya sama. Antara sipil dan militer kedudukannya sama. Antara kaya dan miskin kedudukannya sama.
Akhirnya, kemiskinan, lapangan kerja dan gizi buruk (kelaparan) yang terjadi menjadi salah satu tolok ukur, kemampuan negara menyejahterakan masyarakat dan pemimpin peduli atau tidak terhadap rakyatnya. ***


Hati-hati Infotainment
Oleh : Temu Sutrisno

SATU yang susah hilang dari kebanyakan masyarakat Indonesia, meski ibadah bulan Ramadan berjalan. Apa itu? Membicarakan orang!. Dari sisi bisnis media, ini menjadi sangat menarik, karena ‘budaya gosip’ telah merasuki pikiran dan aktivitas keseharian banyak orang di Indonesia. Aktivitas membicarakan orang lain sangat mudah ditemukan di kantor, rumah, pasar bahkan di tempat ibadah sekalipun.
Walhasil, munculah infotainment di media sebagai suguhan sehari-hari untuk melengkapi kebiasaan masyarakat tersebut. Lucunya, tayangan infotainment di media, kerapkali ditampilkan usai pengajian atau tayangan religius di pagi hari. Tayangan infotainment, dari sisi bisnis merupakan kecerdasan pengelolanya yang mahfum terhadap kebiasaan banyak orang yang suka ngerumpi, gosip dan membicarakan aib orang lain.
Tayangan yang berbau gosip, di bulan Ramadan ternyata tidak berkurang. Bagi kalangan muslim jelas hal itu merusak nilai ibadah. Untuk itu perlu kehati-hatian menikmati tanyangan infotainment dalam bulan Ramadan. Demikian pula dengan bulan-bulan lain.
Membicarakan aib orang lain atau ghibah telah Allah haramkan secara jelas dan tegas di dalam kitab-Nya dan melalui lisan rasul-Nya. Allah SWT berfirman, artinya, “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (QS. Al-Hujurat:12)
Penjelasan tentang hakikat ghibah telah disebutkan di dalam hadits Rasulullah SAW, “Engkau membicarakan saudaramu dengan sesuatu yang dia tidak suka (untuk diungkapkan).” (HR. Muslim).
Rasulullah mengharamkan kehormatan seorang mukmin dan mengaitkannya dengan hari Arafah, bulan haram, dan tanah haram. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Bakar r.a, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian, sebagaimana haramnya hari kalian ini, di bulan kalian ini, dan di negeri kalian ini. Ingat! Bukankah aku telah menyampaikan?” (HR Muslim).
Bahkan dalam hadits yang lain disebutkan dengan sangat tegas bahwa membicarakan aib dan kehormatan seorang mukmin itu lebih parah dibandingkan dengan seseorang yang menikahi ibunya sendiri, sebagaimana diriwayatkan Al-Barra’ bin Azib r.a, Rasulullah bersabda, “Riba itu mempunyai tujuh puluh dua pintu, yang paling rendah seperti seseorang yang menikahi ibunya. Dan riba yang paling besar yakni seseorang yang berlama-lama membicarakan kehormatan saudaranya.”
Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a berkata, Rasulullah SAW menegaskan dalam hadistnya, “Wahai sekalian orang yang telah menyatakan Islam dengan lisannya namun iman belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian semua menyakiti sesama muslim, janganlah kalian membuka aib mereka, dan janganlah kalian semua mencari-cari (mengintai) kelemahan mereka. Karena siapa saja yang mencari-cari kekurangan saudaranya sesama muslim maka Allah akan mengintai kekurangannya, dan siapa yang diintai oleh Allah kekurangannya maka pasti Allah ungkapkan, meskipun dia berada di dalam rumahnya.” (HR. at-Tirmidzi, dishahihkan oleh al-Albani).
Menyadari bahaya gosip atau ghibah sebagaimana yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya, kaum muslim kiranya dapat menjadikan bulan Ramadan sebagai pijakan untuk mulai beralih dari kebiasaan jelek tersebut menuju hal lain yang lebih positif. Semoga.***

Belajar dari Kupu-kupu
Oleh: Temu Sutrisno

ORANG yang cerdas adalah orang yang menghisab dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian. Orang yang lemah adalah yang mengikuti hawa nafsunya dan hanya berangan-angan kepada Allah. Bertambah umur, harus makin berhitung, hal apa yang harus ditinggalkan, diperbaiki dan ditingkatkan. Bulan Ramadan merupakan momen tepat bagi kita untuk menghisab diri, berapa banyak kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan baik dalam konteks ibadah maupun aktivitas sosial.
Bahkan manusia juga bisa belajar dari seekor ulat yang bagi sebagian orang menjijikkan. Ulat berpuasa dan berusaha memperbaiki dirinya sebelum dilahirkan kembali menjadi kupu-kupu yang indah. Belajar dari kupu-kupu, seberapa buruk kita, selama masih mau bermuhasabah dan memperbaiki diri, kita akan ‘dilahirkan’ kembali menjadi fitri dengan segala kebaikan dan keberhasilan.
Imam al-Qurthubi merasa sedih, karena tidak sempat mengerjakan shalat tahajud semalam. Ibnu Taimiyah merasakan apabila tidak berdzikir, separuh badannya terasa lumpuh. Beliau mengibaratkan dirinya dengan dzikir seperti ikan dengan air. Kedua ulama tersebut senantiasa melakukan Muhasabah setiap saat terhadap apa yang telah dilakukannya.
Muhasabah atau perhitungan adalah suatu keadaan dimana kita sebagai hamba Allah yang penuh dengan segala kekurangan dan kelalaian dalam melaksanakan perintah serta larangan dari Allah SWT, memeriksa kembali segala amal tindakan yang telah kita perbuat. Hal tersebut seperti dengan yang telah difirmankan oleh Allah di Al Qur’an dalam surat Al Haysr: 18, “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah...”.
Di dalam kitab Mukhtashar Minhajul-Qashidin Imam Asy-Syaikh Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisy atau lebih dikenal sebagai Ibnu Qudamah, dijelaskan, “Barang siapa melakukan muhasabah (perhitungan) terhadap dirinya selagi di dunia, maka hisabnya akan menjadi ringan di akhirat dan tempat kembalinya menjadi baik. Barangsiapa meremehkan muhasabah terhadap dirinya, maka dia akan senantiasa merasa merugi. Mereka juga merasa tidak akan selamat kecuali dengan ketaatan”.
Amirul Mu’minin Umar bin Al-Khatab yang berjuluk Al-Faruq atau manusia yang memisahkan antara yang haq dan yang bathil, berkata, “Hitung-hitunglah dirimu sebelum engkau diperhitungkan”. Atau, “Hisablah diri kalian, sebelum diri kalian dihisab”.
Mengacu perkataan Umar bin Al-Khatab, dapat disimpulkan bahwa setiap manusia yang menyadari kalau dirinya akan menemui kematian, maka muhasabah atau saling menghitung diri merupakan amal terakhir yang pasti akan datang kepadanya.
Sebagai orang yang beriman, maka sudah sepantasnya untuk memeriksa kembali keimanan dengan cara melihat apakah diri ini berada dalam naungan rahmat dan ridha dari Allah atau mungkin kita sedang menuju kepada adzab dan kemurkaan-Nya. Dan ketika kita menyadari kalau diri ini sudah terpuruk ke dalam kubangan penuh lumpur dosa, maka cari ampunan dan perlindungan dari Allah dengan memperbanyak amal saleh, bertaubat serta menjauhi dan tidak lagi melakukan kemaksiatan.
Dengan seringnya muhasabah diri maka seorang yang beriman akan sedikit demi sedikit mulai dapat mengenali dirinya sendiri. Ketika seorang manusia sudah dapat mengenal dirinya dan kemudian dapat memerangi hawa nafsunya, maka mudah baginya untuk mengenal yang Maha Menguasai kehidupan ini yaitu Allah Azza wa Jalla. Seperti yang digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu”, yang artinya, “Barang siapa yang mengenal dirinya pasti akan mengenali Tuhannya”. Dengan kata lain, seorang manusia akan mengenal Allah yang menciptakannya, bila sebagai hamba Allah menyadari akan eksistensi ketidakberdayaan diri terhadap Zat yang mempunyai kuasa untuk melakukan segala sesuatunya.
Tapi dengan cara apa kita dapat memulai muhasabah diri dan bagaimana? Umair bin Zayd Qais Al-Anshari Al-Khazraji atau lebih dikenal dengan nama Abu Darda r.a pernah berkata, “Bertafakur sesaat adalah lebih baik daripada beribadah setahun”.
Bisa dikatakan secara singkat kalau muhasabah merupakan bagian dari tafakur, dan arti dari tafakur itu sendiri adalah merenung atau berpikir karena Allah. Bertafakur diri adalah suatu keadaan dimana terjadi pemikiran atau perenungan seorang hamba Allah atas berbagai macam kenikmatan yang telah Allah titipkan bahkan diberikan kepada dirinya dan tidak akan sanggup dia membalasnya. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadis shahih, “Pikirkanlah nikmat-nikmat Allah, jangan berpikir tentang dzat Allah”.
Artinya dengan memikirkan berbagai macam nikmat Allah tersebut, seorang hamba Allah yang dirinya menjadi tempat dari kesalahan dan dosa, akan dapat tergugah hatinya untuk senantiasa mensyukuri dan mengingat Allah. Seperti yang Allah firmankan di Al Qur’an dalam surat Al Baqarah: 152 dan surat Ibraahiim: 7. ***


Pengemis dan Pemberdayaan
Oleh: Temu Sutrisno

MENTERI Sosial HS Salim Al Jufri kemarin (Mercusuar, 8/8/2011) mengeluarkan surat edaran agar pemerintah daerah menindak tegas pengemis musiman di bulan Ramadan. Sebelumnya, tahun September 2010 lalu Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa, mengemis merupakan perbuatan haram. Bagaimana sebenarnya pandangan Islam soal perbuatan mengemis?
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa meminta-minta kepada manusia sementara ia memiliki kemampuan maka ia datang pada hari kiamat dengan bekas cakaran atau garukan di wajahnya”. Ada yang bertanya, “Apakah batas kecukupan itu ya Rasulullah?” Belum berkata, “50 dirham atau emas yang seharga dengan itu.” (HR Abu Dawud Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah, Ahmad dan Ad Darimi).
Secara tegas Rasulullah SAW melarang ummatnya meminta-minta (jadi pengemis), tatkala memiliki kemampuan untuk berusaha dan memiliki kemampuan fisik yang baik. Selain itu, ada hadist lain yang menyatakan Rasulullah melarang meminta-minta bagi mereka yang memiliki kekayaan 40 dirham atau setara 28 gram perak. (HR Abu Dawud).
Dari Sahl bin Hanzhaliyah, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa meminta-minta sementara ia memiliki kecukupan maka sesungguhnya ia sedang memperbanyak bagian dari neraka. Ia (Sahl) bertanya, “Apakah batasan kecukupan itu wahai Rasulullah?” Rasulullah berkata, “Sekedar kecukupan untuk makan siang dan makan malam.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Sebagian ulama berpendapat hadits Sahl mansukh, sebagian lagi berpendapat barangsiapa yang memiliki kebutuhan pokok sehari-hari tidak boleh meminta-minta. Sebagian lagi berpendapat hadits Sahl berlaku atas orang yang secara kontinyu memiliki kebutuhan pokok.
Syaikh Salim bin Ied Al Hilaly mengatakan, “Klaim mansukh atas hadits Sahl tidak benar, sementara proses jama’ masih bisa dilakukan. Baransiapa memiliki harta mencapai nishab sementara ia masih memiliki tanggungan keluarga maka ia boleh menerima shadaqah tanpa meminta, maka ia tergolong fakir, wallahu ‘alam.”
Dari Qabishah bin Al Mukhariq Al Hilaly, Rasulullah SAW bersabda, “Hai Qabishah, meminta-minta tidak dihalalkan kecuali bagi tiga orang : Pertama, seorang yang memikul tanggungan hamalah (hutang yang ditanggung dalam usaha mendamaikan 2 pihak yang bertikai), maka ia boleh meminta bantuan hingga ia dapat menutupi hutangnya kemudian berhenti meminta. Kedua, seorang yang tertimpa musibah yang meludeskan seluruh hartanya, maka ia boleh meminta bantuan hingga ia memperoleh apa yang dapat memenuhi kebutuhan pokoknya. Ketiga, seseorang yang ditimpa kemelaratan, hingga 3 orang yang berakal dari kaumnya membuat persaksian : “Si Fulan telah ditimpa kemelaratan”, maka ia boleh meminta bantuan hingga ia memperoleh apa yang dapat memenuhi kebutuhannya. Selain dari 3 itu hai Qabishah, hanya barang haram yang dimakan oleh si peminta-minta sebagai barang haram.” (HR Muslim).
Fatwa MUI merupakan landasan normatif dalam kehidupan sosial keagamaan. Pada sisi lain, fatwa tersebut dan juga Edaran Menteri Sosial harus diikuti pertanyaan kritis, sejauhmana negara telah memainkan perannya menyejahterakan masyarakat? Langkah apa yang bisa dilakukan untuk membantu seseorang, namun tidak membuat mereka menjadi peminta-minta permanen?
Perlu diketahui, Islam tidak melarang memberi sedekah kepada mereka. Akan tetapi, sebagai muslim yang peduli akan nasib sesama saudara seakidah, maka mengeluarkan sedekahpun, semestinya dilakukan secara cerdas, demi untuk mengantisipasi apa yang telah kita singgung di atas.
Dikisahkan, seorang pernah datang kepada salah seorang ahli hikmah dan mengadukan akan kekurangan harta dan belitan hutang. Ahli hikmah itu lantas memberinya sebuah kapak, lalu menyuruhnya kembali beberapa minggu kemudian. Berangkatlah orang tersebut menuju hutan dan mengumpulkan kayu bakar untuk dijual. Dan ternyata benar, orang itu telah dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, melunasi hutang serta memiliki sedikit simpanan untuk hari esok.
Inilah yang dikatakan cerdas dalam bersedekah. Sebab, ia melihat laki-laki yang datang mengeluh tersebut, sebenarnya masih sangat kuat untuk berusaha. Akan tetapi, kondisilah yang membuatnya terpaksa harus mengeluh dan meminta bantuan kepada orang lain.
Sungguh, malas bekerja dan hanya menengadahkan tangan kepada orang lain, termasuk perbuatan yang dapat melahirkan dampak buruk di dalam masyarakat. Diantara dampak tersebut adalah:
Pertama, pengangguran dan peminta-minta menyebabkan tenaga manusia bersifat konsumtif dan tidak produktif. Akibatnya, mereka hanya menjadi beban masyarakat.
Kedua, pengangguran dan peminta-minta adalah sumber kemiskinan. Sedang kemiskinan merupakan lahan subur bagi tumbuh dan berjangkitnya berbagai macam tindak kriminal.
Karena itulah Islam sangat menentang pengangguran dan mencela orang-orang yang tidak mau berusaha padahal sebenarnya mereka mampu bekerja. Umar bin al-Khattab ra. pernah memukul seorang pemuda dengan tongkatnya lantaran hanya menghabiskan waktunya duduk-duduk di masjid dan tidak mau bekerja, seraya berkata: "Sesungguhnya langit tidak pernah menurunkan hujan dari emas".
Negara dalam hal ini diwakili pemerintah, juga memiliki andil besar munculnya peminta-minta. Bisa jadi meminta-minta merupakan jalan termudah mencari rejeki, karena negara tidak mampu menyejahterkan dan menyiapkan lapangan kerja. Untuk itu ulil amri (pemimpin) sebuah negeri diwajibkan untuk menyelesaikan urusan ummatnya, termasuk memberdayakan mereka, sehingga para peminta-minta bisa hidup mandiri tanpa harus menegadahkan tangan lagi.
Satu hal yang pasti, tidak ada seorang anak manusiapun lahir ke muka bumi bercita-cita jadi peminta-minta.Prinsip tangan diatas lebih baik dari dibawah, menjadi harapan setiap anak manusia. Fatwa MUI dan edaran Menteri Sosial tak cukup kuat menyelesaikan urusan mengemis, tanpa diikuti program pemberdayaan dan penciptaan lapangan kerja.***


Menjaga Hak Orang Miskin
Oleh: Temu Sutrisno

HAMPIR tiap hari kita menyaksikan pemberitaan di media elektronik, orang miskin digusur, gelandangan dan pengemis (Gepeng) dirazia. Pada saat bersamaan kita juga disuguhkan pemeriksaan kasus korupsi. Para terdakwa dan tersangka masih bisa tertawa dibawah sorotan kamera. Tersangka dan terduga kasus korupsi dengan enaknya melenggang keluar negeri. Malah sebagian yang telah dipenjara bisa keluar sewaktu-waktu, dengan kekuatan uang yang dimilikinya. Dua fakta pemberitaan yang sangat kontradiktif. Inilah wajah buruk kondisi sosial kebangsaan kita.
Bagaimana sebenarnya Islam memandang orang yang lemah? Allah SWT dengan hikmah-Nya telah menciptakan manusia berbeda-beda status sosialnya. Ada yang menjadi pemimpin dan ada yang dipimpin. Ada yang ditakdirkan kaya, ada pula yang miskin. Semuanya dijadikan sebagai ujian bagi hamba-Nya. Sebagaimana firman-Nya:
“Dan Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain, maukah kamu bersabar? Dan adalah Rabb kalian Maha Melihat.” (Qs. Al-Furqan: 20)
Dalam firman-Nya yang lain, “Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Qs. Az-Zukhruf: 32)
Manusia sebagai makhluk sosial tentunya tidak bisa lepas dari ketergantungan dengan orang lain. Orang kaya tidak akan terpenuhi kebutuhannya dengan baik tanpa bantuan orang miskin. Pemerintah tidak akan bisa mewujudkan berbagai program secara sempurna bila tidak mendapat dukungan dari rakyat. Oleh karenanya, jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, antara pemerintah dengan rakyatnya, sudah semestinya dikubur. Dengan ini akan terwujud kehidupan yang dinamis, di mana masing-masing tahu peranannya agar tercapai kemaslahatan bersama.
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kalian.” (Qs. Al-Hujurat: 13)
Lalu orang miskin dan lemah, menjadi tanggungjawab siapa? Merupakan kewajiban pemerintah untuk memberikan hak-hak rakyat, dengan menebarkan perasaan aman dan nyaman, menjunjung tinggi keadilan, serta menindak orang-orang yang jahat. Kekuasaan merupakan amanah untuk mewujudkan kemaslahatan dalam perkara agama dan dunia. Sehingga manakala pemerintah menyia-nyiakan hak rakyatnya dan tidak peduli terhadap tugasnya, maka kesengsaraan dan azab telah menunggu mereka. Rasulullah SAW bersabda, “Tiada seorang hamba yang diserahkan kepadanya kepemimpinan terhadap rakyat lalu dia mati di hari kematiannya dalam keadaan berkhianat kepada rakyatnya, kecuali Allah haramkan surga baginya.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Keadilan akan terwujud dengan menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan petunjuk Allah SWT dan Rasulullah SAW. Pemerintah yang adil adalah mereka yang memenuhi hak kaum lemah dan menyintai orang miskin. Bukan yang mengabaikan hak dan bertindak semena-mena pada orang miskin. Bukankah Rasul sangat mencintai orang miskin? Maka marilah memberi dengan cinta.
"Cintailah kaum miskin dan dekatlah kepada mereka. Jika kamu mencintai mereka, Allah akan mencintai kamu. Jika kamu dekat kepada mereka, Allah akan dekat kepada kamu.Jika kamu memberi pakaian kepada mereka, Allah akan memberi pakaian kepada kamu. Jika kamu memberi makanan kepada mereka, Allah akan memberi makan kepada kamu. Dermawanlah kamu, niscaya Allah akan membalas kedermawanan kamu." (HR. Dailami).
Sebenarnya jika pemerintah menjalankan tugasnya dengan baik dan Negara memegang teguh asas pendiriannya, tidak perlu ada Gepeng, orang miskin dan kelompok terpinggirkan lainnya yang menjadi ‘musuh’ negara.***


Tanggung Jawab sebuah Jabatan
Oleh: Temu Sutrisno

GUBERNUR Sulteng Longki Djanggola dan Wakil Gubernur Sudarto, mengisyaratkan akan melakukan mutasi dan promosi pejabat di lingkup Pemprov Sulteng usai lebaran (Mercusuar, 10/8/2011). Walhasil, mulai beredar nama-nama pejabat tertentu untuk menduduki jabatan tertentu. Bagi pejabat yang dipromosikan atau bakal ditempatkan pada posisi yang lebih bagus, tentu terbersit rasa sukacita. Sebaliknya yang belum mendapat kesempatan, tentu menaruh harapan suatu saat dapat menduduki jabatan tertentu. Lalu, apa sebenarnya makna jabatan bagi seorang mukmin?
Rasulullah SAW mengingatkan, bahwa setiap jabatan harus dipertanggungjawabkan hingga ke akhirat. Tidak sekadar jadi alat pendongkrak status sosial semata.
“Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang imam (amir) pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya. Seorang suami pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang isteri pemimpin dan bertanggung jawab atas penggunaan harta suaminya. Seorang pelayan (karyawan) bertanggung jawab atas harta majikannya. Seorang anak bertanggung jawab atas penggunaan harta ayahnya”. (HR. Bukhari Muslim)
Jelas, Rasulullah SAW menempatkan jabatan dan kepemimpinan sebagai sebuah amanah yang harusnya kita pertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban itu, yakinlah, tak akan terlewat oleh Allah SWT. Allah SWT mengetahui sekecil apapun yang dibuat orang yang memegang jabatan. “Dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya”. (QS al An’aam: 59)
Dalam ayat lain, Allah SWT secara tegas akan membalas perbuatan anak manusia, apapun yang dilakukannya. “(Lukman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui”. (QS Luqman:16)
Sekadar pembanding dengan banyaknya orang yang mengejar jabatan saat ini, Umar bin Khathab ketika didaulat menjadi seorang khalifah. Apa reaksinya? Gemetar! Tertunduk lesu! Bayangkan, satu-satunya manusia di dunia yang pernah memiliki keberanian untuk membunuh Rasulullah SAW secara langsung sebanyak dua kali, begitu takut menghadapi beban amanah yang diberikan padanya.
Bagaimana seorang yang terkenal begitu berani, tanpa kompromi pada orang-orang kafir, seorang panglima perang yang berwibawa, dan dihormati baik oleh kawan maupun lawan, ternyata begitu takut ketika dihadapkan pada jabatan.
Mungkin agak ironis ketika membandingkan pemberian jabatan di zaman khilafah rasyidah dengan saat ini. Meski begitu banyak yang mengklaim diri mereka sebagai seorang muslim, menjanjikan untuk memperjuangkan aspirasi kaum muslimin, atau mengklaim diri mereka sebagai pejuang hak-hak rakyat, ternyata sedikit sekali, atau bahkan tidak ada yang mengambil ibrah (pelajaran) dari kisah ini.
Begitu pentingnya persoalan jabatan, Rasulullah SAW menuntut kaum muslimin, baik yang akan menjadi pemimpin, maupun yang akan menjadi pihak yang dipimpin, selektif untuk menentukan siapa pemimpin di antara mereka. “Kami tidak mengangkat orang yang berambisi berkedudukan”. (HR. Muslim)
Dalam hadist lain, Rasulullah juga mengingatkan ummatnya untuk tidak berambisi memegang jabatan tertentu, karena inters pribadi atau kelompok.
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau menuntut suatu jabatan. Sesungguhnya jika diberi karena ambisimu maka kamu akan menanggung seluruh bebannya. Tetapi jika ditugaskan tanpa ambisimu maka kamu akan ditolong mengatasinya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini memberikan sebuah pelajaran berharga bagi kaum muslimin. Bagi mereka yang berkeinginan untuk memimpin masyarakat, atau bagi mereka yang telah memangku kewenangan dalam mengatur hajat kaum muslimin. Setiap jabatan yang dikejar dengan bersungguh-sungguh, bahkan dengan menabrak rambu-rambu syariat seperti larangan riya’, larangan ‘ujub, perintah memegang teguh janji, dan sebagainya, hanya akan menghadirkan kerugian di kemudian hari.
Bulan Ramadan kali ini merupakan bulan yang cocok untuk mengevaluasi diri (muhasabbah) bagi mereka yang ingin atau telah terpilih menempati jabatan tertentu. Semoga jabatan yang diemban bukan untuk meletakkan mahkota diatas kepala, namun dimanfaatkan sebagai jalan dakwah dan beribadah di sisi Allah SWT. ***


Mengendalikan Nafsu
Oleh: Temu Sutrisno


SETIAP manusia pasti memiliki keinginan terhadap sesuatu, itulah yang kemudian disebut hawa nafsu. Pada dasarnya manusia boleh saja memenuhi segala keinginannya selama keinginan itu benar menurut Allah dan Rasul-Nya. Namun ternyata begitu banyak manusia yang memenuhi segala keinginannya tanpa kendali, meskipun keinginan itu tidak benar. Oleh karena itu, didalam Islam kita mengenal ada perintah berperang melawan hawa nafsu. Artinya kita harus bisa mengendalikan hawa nafsu, bukan membunuh nafsu yang membuat kita tidak memiliki lagi keinginan terhadap sesuatu.
Menuruti hawa nafsu dalam arti negatif, yakni menuruti segala keinginan yang tidak dibenarkan oleh Allah dan Rasul-Nya merupakan sifat yang tidak boleh kita miliki. Bila hal itu kita miliki, maka akan sangat berbahaya, tidak hanya bagi kita secara pribadi tapi juga bagi keluarga dan masyarakat luas.
Ada banyak akibat negatif yang akan ditimbulkan dari menuruti hawa nafsu tanpa kendali itu. Pertama, menyimpang dari kebenaran. Orang yang menuruti hawa nafsu cenderung menyimpang dari kebenaran, baik dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun keputusan dan kebijakan yang ditempuhnya. Nafsu memiliki harta, membuat begitu banyak orang yang menghalalkan segala cara dalam memperolehnya, meskipun akan merugikan pihak lain. Nafsu memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, telah membuat banyak orang yang melanggar peraturan, meskipun peraturan itu dibuat sendiri, dan begitulah seterusnya. Allah SWT berfirman yang artinya, Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena kamu ingin menyimpang dari kebenaran. (QS 4:135)
Oleh karena itu, sebagai muslim kita harus selalu berusaha berada di atas ketentuan yang telah digariskan Allah SWT dalam menjalankan kehidupan di dunia ini dan tidak akan tergoda oleh keinginan hawa nafsu yang selalu berusaha menyimpangkan kita dari jalan hidup yang benar. Allah SWT berfirman yang artinya, “Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari'at (peraturan) dari urusan itu, maka ikutilah syari'at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”. (QS 45:18)
Kedua, sesat dan menyesatkan. Menyimpang dari kebenaran berarti menempuh jalan yang sesat, dan orang yang mengikuti hawa nafsu seringkali semakin asyik dengan kesesatannya itu, bahkan sampai tidak merasa berdosa lalu berusaha membenarkan kesesatan yang dilakukannya itu dengan berbagai dalih. Oleh karena itu, seorang muslim diingatkan oleh Allah Swt agar jangan sampai menuruti hawa nafsu yang akan membawanya pada kesesatan yang fatal. Allah berfirman yang artinya, “Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”. (QS 38:26)
Kalau seseorang selalu mengikuti hawa nafsu yang akhirnya mengarahkan dirinya pada kesesatan, maka diapun tidak mau sesat sendirian, diapun selalu berusaha untuk menyesatkan orang lain secara sungguh-sungguh. Hal ini dinyatakan Allah dalam firman-Nya yang artinya, “Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesat (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas”. (QS 6:119)
Ketiga, melampaui batas. Dalam banyak kasus, orang yang menuruti hawa nafsu menunjukkan sikap dan melakukan tindakan yang melampaui batas-batas kewajaran. Sebagai contoh, kita tidak boleh berburuk sangka kepada orang lain, namun karena ada orang yang berburuk sangka kepada orang lain, kitapun mengikutinya dalam opini yang berburuk sangka itu dan penilaian terhadapnya menjadi jelek. Jangankan orang tersebut melakukan keburukan, bila dia melakukan sesuatu yang sangat baik sekalipun kita menganggapnya sebagai sesuatu yang buruk, ini namanya melampaui batas-batas kewajaran. Orang yang selalu menuruti hawa nafsunya memang akan selalu bersikap dan berprilaku yang melampaui batas. Allah berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu mengikuti orang-orang yang hatinya telah Kami lalaikan untuk mengingat Kami, serta mengikuti hawa nafsunya karena segala urusannya suka melampaui batas”. (QS 18:28)
Bentuk lain dalam soal melampaui batas adalah penggunaan atau membelanjakan harta yang cenderung boros, padahal Islam melarang orang untuk berlaku boros, tapi yang diperintah adalah berhemat-hemat. Dalam hal ini ada orang yang berlebih-lebihan dalam soal makan, minum, pakaian, rumah, kendaraan dan sebagainya. Akibatnya ada kegoncangan dalam masalah ekonomi yang berakibat pada pergeseran nilai manakala hal-hal tersebut tidak bisa dipenuhi secara wajar.
Keempat, merusak kehidupan . Rusaknya kehidupan manusia akan terjadi apabila mereka selalu menuruti hawa nafsunya, baik kerusakan itu dari segi fisik maupun mental. Kehidupan rumah tangga juga akan mengalami kerusakan apabila orang yang ada di dalamnya selalu menuruti hawa nafsu. Suatu bangsa dan negara juga akan hancur manakala manusianya suka menuruti hawa nafsu. Menuruti hawa nafsu dalam soal harta akan merusakan sendi-sendi kehidupan ekonomi. Menuruti hawa nafsu dalam masalah seks akan merusak kehidupan moral dan akhlak mulia, Menuruti hawa nafsu berkuasa akan menghancurkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, begitulah seterusnya. Karena itu, dalam suatu hadits, Rasulullah Saw bersabda: Ada tiga hal yang dapat merusak: kekikiran yang selalu ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan bangga terhadap diri sendiri (HR. Bazzar).
Disinilah pentingnya memiliki nafsu yang selalu memperoleh rahmat dari Allah SWT sebagaimana nafsu yang telah dimiliki oleh Nabi Yusuf AS, sehingga beliau bisa menghindarkan dirinya dari segala bentuk kemaksiatan sebagaimana difirmankan di dalam Al-Qur'an, “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS 12:53). ***


Sombong Menghalangi Hidayah
Oleh: Temu Sutrisno

SALAH satu hikmah Ramadan adalah mengajarkan sikap tawadhu atau tidak sombong. Kita dituntun untuk merasakan bagaimana menjadi orang kecil, dididik merasakan kekurangan dan lebih dari itu kita disadarkan bahwa kita tidak bisa hidup sendirian tanpa sikap empati dari dan untuk orang lain.
Ya, kerapkali kita menemukan orang atau bahkan diri kita sendiri, tanpa sadar mengklaim lebih baik, lebih hebat, lebih besar, lebih pintar dan lebih kuat dari orang lain. “Kamu tidak ada apa-apanya dibanding aku”. “Anda tidak akan besar tanpa bantuan dan jasaku,” dan lain-lain ungkapan sejenis, yang pada dasarnya menggambarkan sikap sombong orang yang mengungkapkannya.
Padahal Rasulullah Muhammad SAW telah memberikan teladan bagi ummatnya, agar kita tidak ujub, riya dan merendahkan orang lain. Islam memandang seluruh manusia sama, baik ia kaya, miskin, pejabat, raja, presiden, menteri, semua sama yang membedakannya adalah iman dan ketakwaannya di mata Allah SWT serta amal saleh dalam lingkungan sosialnya. “Sesunguhnya, orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa”. (QS.49:13).
Sekadar ibrah, dikisahkan Jablah bin Aiham, raja dari Kerajaan Gassanah melakukan perjalanan ke Madinah. Menurut para sejarawan, ia datang bersama rombongan ke kota suci kedua bagi umat Islam itu untuk masuk Islam. Begitu sampai di Madinah, rombongan itu diterima dengan penuh suka cita oleh Khalifah Umar bin Khathab.
Saat musim haji tiba, Jablah menunaikan haji bersama Umar. Saat tawaf, sarung raja Gassanah itu terinjak hingga terlepas. Jablah pun murka dan memukul lelaki yang menginjak sarungnya hingga berdarah. Pria itu mengadu kepada Umar.
“Mengapa kamu memukul lelaki ini?” tanya Umar. “Dia telah menginjak sarungku hingga terlepas,” jawab Jablah. Umar berkata, “Bukankah kamu telah menyatakan masuk Islam? Sebagai balasannya, kamu harus berusaha membuatnya rela atau dia melakukan tindakan seperti tindakan yang telah kamu lakukan terhadapnya.”
Dengan penuh kesombongan, Jablah berkat, “Apakah hal ini pantas aku lakukan! Aku adalah raja, sedangkan dia adalah rakyat jelata.” Umar dengan tegas berseru, “Islam memandang sama antara dirimu dan dirinya. Tidak ada hal yang membuatmu memiliki derajat lebih tinggi daripada dia, selain amal kebaikan.”
“Demi Allah, aku masuk Islam dan berharap dapat menjadi lebih mulia daripada masa jahiliah.”
Umar berkata, “Kamu akan seperti itu.” Jablah berkata, “Tangguhkanlah aku sampai besok agar aku dapat berpikir tentang hal ini, wahai Amirul Mukminin.” Umar berkata, “Silakan.”
Namun pada malam hari, Jablah dan rombongannya malah melarikan diri. Ia tak mau bersikap tawadhu dan memilih keluar dari ajaran Islam yang mengajarkan persamaan derajat.
Kisah ini menjadi ibrah bagi kita, bahwa kesombongan bisa membuat orang yang melakukannya terhalang dari hidayah. Orang yang sombong dijauhkan dari kebenaran.
Allah SWT sangat tidak berkenan dengan sikap sombong dan dalam firman-Nya mengecam sikap sombong yang sering dipertontonkan oleh manusia. “Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sungguh Allah tak menyukai orangorang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS.31:18).
Mudah-mudahan Ramadan kali ini bisa mendidik kita mengembangkan budaya tawadhu dan menjauhi kesombongan. Semoga kita semua sadar, bahwa orang-orang yang mempertontonkan kesombongannya adalah mereka yang tidak memiliki hati, karena ada banyak makhluk yang lebih tinggi, lebih hebat dan lebih lainya dari dirinya. Jangan lagi ada sikap dan perilaku Fir’aun yang sombong dalam diri kita. Fir’aun yang sangat berkuasa jauh melebihi kita, pada akhirnya tumbang oleh gerakan rakyat kecil pimpinan Nabi Musa, yang sebelumnya dipandang sebelah mata.
Allah SWT sepertinya ingin kita sadar, bahwa kesombongan tidak menghasilkan apa-apa, kecuali kejatuhan dan kebinasaan, sebagaimana dicontohkan Fir’aun. Wallahualam bishshawab. ***


Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM