Tataniaga Ebony PD Sulteng Ilegal

PALU, MERCUSUAR - Tataniaga ebony yang dijalankan PD Sulteng bertentangan dengan UU No. 41 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU No. 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan. Penilaian itu diungkapkan Ketua Asosiasi Kayu Olahan dan Gergajian (ISWA) Sulteng, Hasanuddin Mangge.
“Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 dan diubah dalam UU No. 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan, izin tebangan ebony tidak ada. Tataniaga ebony di Sulteng murni inisiatif Pemprov. Tataniaga ebony melanggar UU No. 41 Tahun 1999,” ujar Hasan di depan sidang Pansus DPRD Provinsi (Deprov) Sulteng, Senin (17/5).
Anehnya, walau tidak memiliki dasar hukum, pelaksanaan tataniaga ebony tidak diseret dan diproses secara hukum. Padahal kasus yang menyeret mantan Dirut PD Sulteng, Wildan Abdul Malik, juga persoalan tataniaga ebony yang tidak memiliki payung hukum.
“Jika yang melaksanakan tataniaga ebony dengan harga Rp6,1 juta per kubik dipenjara dan diproses hukum, kenapa yang sekarang Rp9,1 juta tidak diproses. Ada apa?” heran Hasan.
Hasan menduga langkah mulus PD Sulteng mengelola tataniaga ebony dikarenakan keterlibatan Muspida dalam Tim Terpadu Pengendalian dan Pengawasan. “Malah Muspida dapat honor dari Pak Zaenal (PD Sulteng.Red). Apa dasar hukumnya,” lagi-lagi Hasan menggugat dasar hukum tataniaga ebony, yang dinilainya telah merugikan pengusaha dan perajin di Sulteng.
“Berdasarkan surat Menhut, pemanfaatan ebony untuk memenuhi bahan baku industri dan kerajinan di Sulteng. Faktanya hampir semua ebony keluar untuk ekspor dan diantarpulaukan,” katanya.

SALING TUDING
Dirut PD Sulteng Zaenal Abduh yang hadir dalam rapat Pansus menyatakan, pihaknya hanya pelaksana tataniaga ebony berdasarkan SK Gubernur. Sebagai pelaksana ia tidak mau disalahkan, kecuali tataniaga yang ia lakukan keluar dari ketetapan SK Gubernur dan petunjuk teknis (Juknis) yang dibuat Dishut Sulteng. “PD Sulteng hanya menjalankan SK Gubernur, masa salah,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, Zaenal juga membantah semua tudingan mantan Manajer Jasa Konstruksi Dira Tamarina dan mantan Dirut Wildan Abdul Malik. Malah Zaenal menuding balik, Wildan sebagai pembohong.
“Saya tidak tahu soal uang PD Sulteng saat Wildan sebagi Dirut, karena memang begitu pengaturan kerjanya. Malah saya tidak mau tandatangan laporan perusahaan 2008, karena tidak pernah tahu uang yang masuk, tiba-tiba uang itu telah habis,” katanya.
Soal uang Rp293 juta yang menurut Wildan ia pinjam juga bohong. Dikatakannya, uang itu memang ia ambil dan diserahkan ke Agus Rianto selaku Kabag Konstruksi. Saat itu ada aksi buruh bangunan minta dibayarkan hak mereka. “Uang itu dikeluarkan Wildan pribadi, bukan kas. Saya akui terima tapi saya serahkan pada Agus Rianto untuk dibayarkan pada tukang dan buruh,” akunya.
Zaenal juga membantah pernyataan Dira, jika ia yang mengatur agar uang keuntungan proyek tidak langsung dibukukan atau dimasukkan ke kas.
Sebelumnya Dira Tamarina mengatakan, saat ia ditunjuk sebagai manajer jasa konstruksi, ia diberi modal Rp1,278 miliar untuk proses tender berbagai proyek. Keuntungan dari proyek yang ia kelola mencapai Rp1,7 miliar. “Keuntungan itu tidak disetor ke kas dan diputar lagi untuk modal kerja atas perintah Pak Zaenal Abduh. Pak Wildan tidak tahu itu, karena memang begitu pembagian tugasnya,” kata Dira dalam rapat Pansus di Baruga Deprov, Jumat (14/5).
Demikian juga saat ia memutar kembali hasil tersebut dan mendapatkan keuntungan, tidak dibukukan secara langsung oleh manajer administrasi keuangan Budiawan Maddu. “Saya baru tahun 2008, uang hasil proyek yang masuk tidak langsung dibukukan oleh Pak Budi. Setelah saya tanya, katanya atas perintah Pak Zaenal,” aku Dira.
Hal yang juga mengejutkan Pansus adalah pengakuan Dira, jika selama ini PD Sulteng tidak terjun langsung mengelola proyek pemerintah. PD Sulteng meminjam perusahaannya dan perusahaan istri Zaenal Abduh. “Proyek yang dikerjakan PD Sulteng menggunakan CV Dealova milik saya dan CV Pramesti milik istri Pak Zaenal. Ini juga atas petunjuk Pak Zaenal selaku Direktur PD Sulteng,” ungkap Dira.
Dikatakan Wildan, Zaenal Abduh juga meminjam uang perusahaan sebesar Rp293 juta. “Itu sudah diakuinya dalam persidangan PN Palu,” katanya.
Selain soal kebocoran uang, hutang Dira dan Zaenal, Wildan juga mengungkap temuan Bawasda Sulteng yang memeriksa PD Sulteng. Berdasarkan temuan Bawasda, telah terjadi mark up pembiayaan pembuatan bengkel dan travel yang pengeloaanya ditangani Zaenal Abduh.
“Temuan Bawasda disembunyikan. Padahal dalam pembuatan bengkel Rp600 juta terjadi kemahalan harga sekira Rp300 juta. Begitu juga dengan Travel Tompotika Rp230 juta, kerugian mencapai Rp100 juta. Silahkan Pansus cek ke Bawasda,” tandas Wildan.
Soal tidak dilaporkannya hasil proyek, merupakan upaya menelikung dirinya oleh beberapa oknum PD Sulteng padanya. “Saya berikan kewenangan pada Zaenal Abduh untuk menandatangangi cek atau kuitansi. Namun saya melarang mengeluarkan uang sepeserpun dari PD Sulteng, tanpa melaporkan dan sepengetahuan saya. Saya ditelikung,” geram Wildan. TMU

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM