Jangan Renggut Hak Sehat Masyarakat Miskin

UNGKAPAN satiris, orang miskin dilarang sakit bukanlah kata-kata kosong. Apabila tak ada uang, sakit sungguh mencekik leher. Pasien dan keluarganya sama-sama menderita, karena biaya kersehatan yang cukup berat.
Sepekan terakhir, masyarakat Sulteng dihadapkan pada fakta beberapa rumah sakit kekurangan obat generik, yang banyak dikonsumsi masyarakat miskin. Malahan RSUD Poso kehabisan sama sekali obat generik, dengan alasan anggaran untuk itu belum dicairkan. Kekurangan obat generik pada rumah sakit, pada akhirnya berimbas pada rakyat miskin, karena harus menebus obat paten yang diberikan dokter. Harga obat paten yang lebih tinggi dari obat generik, dirasakan memberatkan masyarakat miskin. Padahal mengacu Peraturan Menteri Kesehatan No. HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tertanggal 14 Januari 2010, pemerintah melalui Dinkes provinsi dan kabupaten/kota wajib menyediakan obat generik sesuai kebutuhan masyarakat. Ketiadaan obat generik, jelas melanggar Permenkes tersebut.
Selain kekurangan obat generik, masyarakat Sulteng juga dikagetkan berita Iswati yang ‘terpaksa’ berpisah dengan bayinya, karena tidak mampu membayar biaya persalinan melalui operasi caesar. Bayi Iswati untuk sementara diasuh oleh orang lain, yang menebus biaya persalinannya.
Dua orang ibu dari Parmout dengan empat anaknya yang terserang lumpuh layu, juga sempat mendatangi DPRD Provinsi (Deprov) Sulteng. Mereka mengadu kesulitan membiayai pengobatan anak-anaknya.
Kasus Iswati, ibu dengan anak lumpuh layu dan kurangnya obat generik, sejatinya tidak perlu terjadi, karena menjadi tanggungjawab pemerintah. UUD 1945 Pasal 34 ayat (2) menyatakan Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai martabat kemanusiaan. Ayat (3) menegaskan, Negara bertanggungjawan ataspenyediaan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Berlandaskan Pasal 34 UUD 1945, Iswati dan masyarakat miskin lainnya menjadi tanggungjawab negara dalam hal pelayanan kesehatan. Artinya kasus yang menimpa Iswati dan kurangya obat generik di beberapa rumah sakit, membuktikan pemerintah sebagai aparatus Negara, belum sepenuhnya menjalankan amanah konstitusi. Sebagai warga negara, Iswati dan masyarakat miskin lainnya berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak. Tidak ada stupun kelompok, orang atau lembaga yang berhak mencabut hak layanan kesehatan yang dimiliki Iswati dan masyarakat miskin lainnya.
Demikian halnya dengan pemerintah daerah. Bukan hanya Permenkes diatas yang mewajibkan pemerinbtah provinsi dan kabupaten/kota memberikan layanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Merujuk UU 32/2004 Pasal 1 ayat (5) mengatakan, ”Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Ayat (6) melanjutkan, ”Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI.” Mengenai pembagian urusan, Pasal 3 menyebutkan urusan pemerintahan yang menjadi urusan pusat meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, hukum, moneter dan fiskal nasional, dan agama.
Sebagai daerah otonom, Pasal 11 menggariskan bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah terdiri atas urusan wajib dan pilihan. Urusan yang wajib dilaksanakan dengan pedoman standar minimal yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Untuk bidang kesehatan, terkait dengan tugas dan peran kabupaten/kota, diatur dalam Pasal 14 huruf e. Urusan wajib tesebut mencapai 14 urusan, termasuk di dalamnya bidang kesehatan merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah/kabupaten, dan pelayanan dasar lainya serta peran yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Mengenai penanganan pelayanan kesehatan, Pasal 22 huruf f melanjutkan bahwa pemerintah daerah menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan. Pasal 22 huruf h secara tegas menyatakan, pemerintah wajib mengembangkan sistem jaminan sosial.

KURANG SOSIALISASI
Sebenarnya untuk peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan diatas, APBD Sulteng 2010 telah menganggarkan dana usaha kesehatan masyarakat Rp2,347 miliar, penanganan penyakit menular Rp2,84 miliar, kesehatan keluarga miskin Rp950 juta dan perbaikan gizi masyarakat Rp800 juta.
Dengan dana tersebut diatas ditambah APBN dan APBD kabupaten/kota, maka layanan kesehatan bagi masyarakat miskin tertanggulangi. Selain jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) sebagimana diatur UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 125/Menkes/SK/II/2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota juga menyediakan jaminan kesehatan masyarakat daerah (Jamkesda). Bahkan dalam perkembangan terbaru, masyarakat msikin cukup menunjukkan surat keterangan miskin (SKTM) dari kelurahan/desa, bisa berobat di rumah sakit (pemerintah) daerah.
Berdasarkan penelusuran Mercusuar, masih banyak masyarakat miskin yang tidak mendapatkan Jamkesmas, tidak berani berobat ke rumah sakit karena tidak tahu ada Jamkesda. Untuk rawat inap atau operasi, mereka ketakutan tidak mampu membayar. Masih banyak masyarakat miskin, yang tidak mendapatkan sosialisasi pengurusan Jamkesda dan SKTM. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM