Gernas Kako; Hindari Kerusakan dengan Pembibitan Lokal

KAKAO merupakan salah satu komoditi unggulan Sulteng dari sektor pertanian. Saat ini sulteng memiliki lahan kakao sekira 221.368 Hektar (Ha) yang tersebar di sebelas kabupaten/kota, dengan status lahan produksi tanaman yang belum menghasilkan (TBM) seluas 50.645 Ha, tanaman menghasilkan (TM) seluas 160.169 Ha dan tanaman tua atau rusak 10.554 Ha.
Setahun terakhir, Sulteng menjadi salah satu daerah yang menerima program gerakanan nasional (Gernas) kakao dari Dirjen Perkebunan Kementrian Pertanian. Tahun 2009, Sulteng mendapat kucuran anggaran Rp82,9 miliar untuk rehabilitasi, peremajaan dan intensifikasi kakao. Anggaran itu baru menyentuh sekira lima persen dari luas lahan kakao Sulteng atau 11.050 Ha. Tahun 2010, anggaran Gernas untuk Sulteng mengalami kenaikan dari Rp82,9 miliar menjadi Rp147 miliar untuk 22.100 Ha lahan.
Gernas sebagai program yang dinilai menguntungkan petani kakao dan daerah Sulteng, dalam implementasi di lapangan menemukan kendala. Kendala yang paling nampak, kualitas bibit dikeluhkan petani. Berdasarkan hasil reses (kunjungan ke daerah pemilihan) sejumlah anggota DPRD Provinsi (Deprov) Sulteng, seperti Suryawati Hosari, Asghar Djuhaepa, Taswin Borman, Lukman Us Heba dan Zaenal Daud, menyoroti pelaksanaan Gernas Kakao yang diduga menyimpang. Berdasarkan hasil kunjungan mereka ke sejumlah kabupaten sebagian petani mengeluh, karena bibit yang diberikan tidak sesuai dengan kualitas yang diharapkan.
Berdasarkan petunjuk teknis pelaksanaan program, bibit kakao harus didatangkan dari balai benih Jember yang telah tersertifikasi. Penunjukan balai benih Jember, menjadi titik awal permasalahan yang dikeluhkan petani kakao Sulteng. Meski telah tersertifikasi, sebagian bibit yang didatangkan kurang cocok dengan iklim dan kondisi tanah Sulteng. Perlunya adaptasi bibit saat dibawa ke Sulteng juga diakui Ketua Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Herman Agan. “Ini bukan proyek bangunan, yang bisa dilaksanakan dalam kondisi apapun. Kakao ini tanaman, yang butuh penyesuaian mulai dari iklim sampai lahan yang akan ditanami. Karena iklim di Jember (daerah asal bibit.red) sangat berbeda dengan di Sulteng,” ujar Herman (15/2).
Proyek Gernas 2010, jika Juknis tidak diubah, akan menimbukan permasalahan yang sama dengan Gernas 2009. Jika bibit harus didatangkan dari Jember, kemungkinan tidak cocok dengan iklim dan kondisi tanah Sulteng sebagaimana keluhan petani, akan terulang. Dinas Perkebunan (Disbun) Sulteng sebagai pelaksana program ini, dimungkinkan mencari jalan keluar atas keluhan petani kakao. Jalan yang mungkin bisa ditempuh, melakukan lobi ke Dirjen Perkebunan, agar pembibitan bisa dilakukan di Sulteng. Pembibitan tetap mengacu pada standarisasi sebagaimana bibit kakao Jember. Jika itu memungkinkan, maka kerusakan bibit karena harus beradaptasi dengan iklim dan kondisi tanah bisa dihindari. Alhasil, proyek yang kan berlanjut hingga 2011 ini, benar-benar bisa dinikmati petani dan memiliki nilai tambah bagi peningkatan perekonomian daerah ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM