Zakat untuk Pemberdayaan Ummat

PADA bulan Ramadhan, ummat Islan selain diperintahkan berpuasa, juga diperintahkan berzakat kepada para fakir dan miskin (dhuafa). Sebenarnya kewajiban membayar zakat tidak terbatas pada zakat fitrah, karena masih ada kewajiban membayar zakat lainnya, seperti zakat penghasilan, zakat profesi, zakat perhiasan, dan lain sebagainya.
Ada sejumlah golongan orang yang wajib menerima zakat. Yang utama adalah orang fakir dan orang miskin. Setelah itu musafir (musafirin ), orang yang sedang menuntut ilmu di jalan Allah namun kekurangan biaya (ibnu sabil), orang yang baru masuk Islam (mu'allafah), dan pekerja yang kondisinya miskin (amilin).
Penduduk Sulteng yang mayoritas muslim, sebagian hidup dalam kondisi miskin. Berdasarkan data kebijakan umum anggaran (KUA) APBD 2009, kurang lebih 500 ribu jiwa dikategorikan miskin dari total penduduk Sulteng sekira 2,5 juta jiwa. Belenggu kemiskinan mereka inilah yang telah menimbulkan kekurangan gizi, kesehatan yang buruk, rumah-rumah tidak layak huni, dan pendidikan anak yang terbengkalai.
Zakat, yang secara harfiah bermakna pembersih, pada hakikatnya memiliki makna ganda. Pertama, sebagai sebuah ibadah. Ada sekitar 20 ayat dalam Al Quran yang menggandengkan perintah zakat dengan shalat. Kedua, zakat pun memiliki fungsi sosial yang tinggi, yakni sebagai upaya menanggulangi ketimpangan distribusi pendapatan, mengurangi kemiskinan, dan mengatasi pengangguran. Fungsi sosial inilah yang kemudian dikembangkan para ekonom Islam sebagai dasar kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi Islam. Legitimasi dari Allah dalam Al Quran telah menjadikan zakat memiliki landasan sangat kuat untuk memotivasi umat Islam menunaikannya.
Allah SWT dalam Al Quran berfirman: "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketenteraman jiwa mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (At Taubah: 103). Kata tuthahhiruhum dalam ayat itu bermakna membersihkan jiwa, sedangkan tuzakkihim bermakna mengembangkan harta. Karena itu, dengan ajaran zakat, ada dua manfaat yang diperoleh, yakni jiwa menjadi suci dan harta makin berkembang, bukan terkurangi.
Misi pencucian dosa dalam berzakat memiliki dimensi ganda. Pertama, sebagai sarana pembersihan jiwa dari sifat serakah bagi orang yang berzakat, karena dia dituntut untuk berkorban (menyantuni) demi mengurangi penderitaan orang-orang lain. Kedua, zakat sebagai penebar kasih sayang kepada kaum yang tidak beruntung sekaligus sebagai penghalang tumbuhnya benih kebencian dari si miskin terhadap kaum kaya. Dengan demikian, zakat dapat menciptakan ketenangan dan ketenteraman bukan hanya bagi yang menerimanya, tetapi sekaligus kepada pemberinya.
Kesadaran berzakat umat Islam, khususnya di Sulteng, kini memang masih rendah. Berdasarkan hitungan BAZ Sulteng potensi infak mencapai Rp240 miliar, itu belum terhitung zakat. Namun dalam prakteknya, dana yang mampu dimobilisir melalui BAZ hanya Rp50 juta.
Jika kesadaran berzakat dapat ditumbuhkan serta ditingkatkan, dan dana yang terkumpul dikelola secara profesional atau bertanggung jawab, maka problem seputar kemiskinan yang sudah berlangsung dari satu generasi ke generasi berikutnya seharusnya bisa diatasi. Sulteng memiliki potensi strategis yang layak dikembangkan menjadi salah satu instrumen pemerataan pendapatan yaitu institusi zakat, infak, sedekah (ZIS). Karena secara demografis, mayoritas penduduknya muslim. Jika hal ini dapat didayagunakan secara maksimal, maka secara hipotetik, zakat berpotensi mempengaruhi aktivitas ekonomi, termasuk di dalamnya adalah penguatan pemberdayaan ekonomi nasional.
Dalam perkembangan dunia modern, potensi zakat yang bisa dikelola adalah zakat profesi (dokter, arsitek, pengacara, dan lain-lain), zakat perusahaan yang juga sangat potensial untuk dikembangkan khususnya yang dimiliki umat Islam, zakat pemilikan surat-surat berharga (saham, obligasi, commercial paper ). Ini semua adalah potensi-potensi zakat yang jika terkumpul melalui suatu institusi dan bisa dikelola melalui sistem serta manajemen yang modern akan menghasilkan suatu dana yang luar biasa besarnya dan mungkin melebihi aset-aset pemerintah yang ada sekarang ini.
Agar zakat dapat didayagunakan secara optimal dalam rangka pemberdayaan umat, diperlukan terobosan yang memungkinkan cita-cita mulia itu terwujud. Dari Al Qur’an Surat At-Taubah ayat 60 jelas terlihat bahwa prioritas utama yang berhak menerima zakat adalah kaum fakir dan miskin. Selama ini zakat kepada kaum fakir dan miskin adalah berupa uang yang diberikan secara langsung. Hal ini bisa diterima dan dimengerti mengingat bahwa uang yang terkumpul dari zakat jumlahnya masih relatif sedikit, sehingga pengelola zakat tidak bisa berbuat lebih banyak lagi dengan jumlah uang yang ada.
Namun, jika dana yang terkumpul sudah membesar, maka perlu ada terobosan baru dalam sistem penyaluran zakat tersebut. Minimal ada dua bidang yang harus dibenahi. Pertama, penyaluran zakat tidak hanya dilakukan secara konvensional, tetapi juga harus memberikan wawasan baru dan meningkatkan kemampuan intelektual dari penerima zakat tersebut. Program ini bisa dilaksanakan dengan jalan, misalnya memberikan beasiswa untuk pendidikan kepada para putra-putri penerima zakat. Dengan demikian, pada generasi kedua dari penerima zakat ini sudah dapat menikmati adanya perbaikan dalam wawasan ilmu dan pengetahuan, sehingga mereka memperoleh lapangan kerja yang lebih baik dari orangtua mereka.
Kedua, dalam menyalurkan zakat sudah saatnya disertai dengan pembinaan manajemen terhadap para penerimanya. Artinya, para penerima zakat sekaligus mendapat bimbingan dari pihak pengelola zakat baik langsung atau oleh siapa saja yang menjadi partner pengelola zakat tersebut. Sehingga penerima zakat dalam mengelola usaha sendiri -- apakah itu usaha kecil, home industry atau usaha halal lainnya, bisa memperoleh nilai tambah (value added) yang lebih dari pengelola zakat. Dengan program ini, betul-betul diharapkan bahwa para penerima zakat tersebut untuk jangka waktu tertentu sudah dapat berdiri sendiri dan kelak bisa berganti posisi sebagai pembayar zakat. Tentu saja perlu dirancang suatu scheme dan strategi yang jitu dan tepat guna bagi penerima zakat tersebut.***
(Disarikan dari berbagai sumber)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM