Tanggung Jawab sebuah Jabatan

BEREBUT jabatan. Itulah agenda sebagian masyarakat Indonesia saat ini. Perebutan mulai dari jenjang jabatan tertinggi Presiden hingga yang terkecil, di institusi teknis dan sosial kemasyarakatan. Betapa banyak kasus Pemilu dan Pilkada yang masuk ke Mahkamah konstitusi (MK), karena persoalan ini. Lalu, apa sebenarnya makna jabatan bagi seorang mukmin?
Rasulullah SAW mengingatkan, bahwa setiap jabatan harus dipertanggungjawabkan hingga ke akhirat. Tidak sekadar jadi alat pendongkrak status sosial semata.
“Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang imam (amir) pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya. Seorang suami pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang isteri pemimpin dan bertanggung jawab atas penggunaan harta suaminya. Seorang pelayan (karyawan) bertanggung jawab atas harta majikannya. Seorang anak bertanggung jawab atas penggunaan harta ayahnya”. (HR. Bukhari Muslim)
Jelas, Rasulullah SAW menempatkan jabatan, menempatkan posisi kepemimpinan sebagai sebuah amanah. Sebagai sesuatu yang harusnya kita pertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban itu, yakinlah, tak akan terlewat oleh Allah SWT. Allah SWT mengetahui sekesil apapun yang dibuat orang yang memegang jabatan, tidak terlewat sekecilpun. “Dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya”. (QS al An’aam: 59)
Dalam ayat lain, Allah SWT secara tegas akan membalas perbuatan anak manusia, apapun yang dilakukannya. “(Lukman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui”. (QS Luqman:16)
Sekedar pembanding dengan banyaknya orang yang mengejar jabatan saat ini, Umar bin Khaththab ketika didaulat menjadi seorang khalifah. Apa reaksinya? Gemetar! Tertunduk lesu! Bayangkan, satu-satunya manusia di dunia yang pernah memiliki keberanian untuk membunuh Rasulullah SAW secara langsung sebanyak dua kali, begitu takut menghadapi beban amanah yang diberikan padanya.
Bagaimana seorang yang terkenal begitu berani, tanpa kompromi pada orang-orang kafir, seorang panglima perang yang berwibawa, dan dihormati baik oleh kawan maupun lawan, ternyata begitu takut ketika dihadapkan pada jabatan.
Mungkin agak ironis ketika membandingkan pemberian jabatan di zaman khilafah rasyidah dengan saat ini. Meski begitu banyak yang mengklaim diri mereka sebagai seorang muslim, menjanjikan untuk memperjuangkan aspirasi kaum muslimin, atau mengklaim diri mereka sebagai pejuang hak-hak rakyat, ternyata sedikit sekali, atau bahkan tidak ada yang mengambil ibrah (pelajaran) dari kisah ini.
Begitu pentingnya persoalan jabatan, Rasulullah SAW menuntut kaum muslimin, baik yang akan menjadi pemimpin, maupun yang akan menjadi pihak yang dipimpin, selektif untuk menentukan siapa pemimpin di antara mereka. “Kami tidak mengangkat orang yang berambisi berkedudukan”. (HR. Muslim)
Dalam hadist lain, Rasulullah juga mengigatkan ummatnya untuk tidak berambisi memegang jabatan tertentu, karena inters pribadi atau kelompok.
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau menuntut suatu jabatan. Sesungguhnya jika diberi karena ambisimu maka kamu akan menanggung seluruh bebannya. Tetapi jika ditugaskan tanpa ambisimu maka kamu akan ditolong mengatasinya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini memberikan sebuah pelajaran berharga bagi kaum muslimin. Bagi mereka yang berkeinginan untuk memimpin masyarakat, atau bagi mereka yang telah memangku kewenangan dalam mengatur hajat kaum muslimin. Setiap jabatan yang dikejar dengan bersungguh-sungguh, bahkan dengan menabrak rambu-rambu syariat seperti larangan riya’, larangan ‘ujub, perintah memegang teguh janji, dan sebagainya, hanya akan menghadirkan kerugian di kemudian hari.
Bulan Ramadhan kali ini merupakan bulan yang cocok untuk mengevaluasi diri (muhasabbah) bagi mereka yang terpilih sebagai Presiden, anggota DPR/DPRD/DPD dan mereka yang hendak maju sebagai bupati/walikota atau Gubernur pada Pilkada kedepan. Semoga jabatan yang diemban bukan untuk meletakkan mahkota diatas kepala, namun dimanfaatkan sebagai jalan dakwah dan beribadah di sisi Allah SWT. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM