Pentingnya Muhasabah Diri

ORANG yang cerdas adalah orang yang menghisab dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian. Orang yang lemah adalah yang mengikuti hawa nafsunya dan hanya berangan-angan kepada Allah. Bertambah umur, harus makin berhitung, hal apa yang harus ditinggalkan, diperbaiki dan ditingkatkan.
Imam al-Qurthubi merasa sedih, karena tidak sempat mengerjakan shalat tahajud semalam. Ibnu Taimiyah merasakan apabila tidak berdzikir, separuh badannya terasa lumpuh. Beliau mengibaratkan dirinya dengan dzikir seperti ikan dengan air. Keda ulama tersebut senantiasa melakukan Muhasabah setiap saat terhadap apa yang telah dilakukannya.
Muhasabah atau perhitungan adalah suatu keadaan dimana kita sebagai hamba Allah yang penuh dengan segala kekurangan dan kelalaian dalam melaksanakan perintah serta larangan dari Allah SWT, memeriksa kembali segala amal tindakan yang telah kita perbuat. Hal tersebut seperti dengan yang telah difirmankan oleh Allah di Al Qur’an dalam surat Al Haysr: 18, “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah...”.
Di dalam kitab Mukhtashar Minhajul-Qashidin Imam Asy-Syaikh Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisy atau lebih dikenal sebagai Ibnu Qudamah, dijelaskan, “Barang siapa melakukan muhasabah (perhitungan) terhadap dirinya selagi di dunia, maka hisabnya akan menjadi ringan di akhirat dan tempat kembalinya menjadi baik. Barangsiapa meremehkan muhasabah terhadap dirinya, maka dia akan senantiasa merasa merugi. Mereka juga merasa tidak akan selamat kecuali dengan ketaatan”.
Amirul Mu’minin Umar bin Al-Khatab yang berjuluk Al-Faruq atau manusia yang memisahkan antara yang haq dan yang bathil, berkata, “Hitung-hitunglah dirimu sebelum engkau diperhitungkan”. Atau, “Hisablah diri kalian, sebelum diri kalian dihisab”.
Mengacu perkataan Umar bin Al-Khatab, dapat disimpulkan bahwa setiap manusia yang menyadari kalau dirinya akan menemui kematian, maka muhasabah atau saling menghitung diri merupakan amal terakhir yang pasti akan datang kepadanya.
Sebagai orang yang beriman, maka sudah sepantasnya untuk memeriksa kembali keimanan dengan cara melihat apakah diri ini berada dalam naungan rahmat dan ridha dari Allah atau mungkin kita sedang menuju kepada adzab dan kemurkaan-Nya. Dan ketika kita menyadari kalau diri ini sudah terpuruk ke dalam kubangan penuh lumpur dosa, maka cari ampunan dan perlindungan dari Allah dengan memperbanyak amal saleh, bertaubat serta menjauhi dan tidak lagi melakukan kemaksiatan.
Dengan seringnya muhasabah diri maka seorang yang beriman akan sedikit demi sedikit mulai dapat mengenali dirinya sendiri. Ketika seorang manusia sudah dapat mengenal dirinya dan kemudian dapat memerangi hawa nafsunya, maka mudah baginya untuk mengenal yang Maha Menguasai kehidupan ini yaitu Allah Azza wa Jalla. Seperti yang digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu”, yang artinya, “Barang siapa yang mengenal dirinya pasti akan mengenali Tuhannya”. Dengan kata lain, seorang manusia akan mengenal Allah yang menciptakannya, bila sebagai hamba Allah menyadari akan eksistensi ketidakberdayaan diri terhadap Zat yang mempunyai kuasa untuk melakukan segala sesuatunya, “Laa haula wa laa quwwata illaa billahil ‘aliyyil ‘adhiim”.
Tapi dengan cara apa kita dapat memulai muhasabah diri dan bagaimana? Umair bin Zayd Qais Al-Anshari Al-Khazraji atau lebih dikenal dengan nama Abu Darda r.a pernah berkata, “Bertafakur sesaat adalah lebih baik daripada beribadah setahun”.
Bisa dikatakan secara singkat kalau muhasabah merupakan bagian dari tafakur, dan arti dari tafakur itu sendiri adalah merenung atau berpikir karena Allah. Bertafakur diri adalah suatu keadaan dimana terjadi pemikiran atau perenungan seorang hamba Allah atas berbagai macam kenikmatan yang telah Allah titipkan bahkan diberikan kepada dirinya dan tidak akan sanggup dia membalasnya. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadis shahih, “Pikirkanlah nikmat-nikmat Allah, jangan berpikir tentang dzat Allah”. Artinya dengan memikirkan berbagai macam nikmat Allah tersebut, seorang hamba Allah yang dirinya menjadi tempat dari kesalahan dan dosa, akan dapat tergugah hatinya untuk senantiasa mensyukuri dan mengingat Allah. Seperti yang Allah firmankan di Al Qur’an dalam surat Al Baqarah: 152 dan surat Ibraahiim: 7.
Bulan Ramadhan merupakan momen tepat bagi kita untuk menghisab diri, berapa banyak kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan baik dalam konteks ibadah maupun aktivitas sosial. Lalu...apa yang harus kita lakukan kedepan, karena manusia yang baik dan berhasil adalah mereka yang hari ini lebih baik dari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini.
Bahkan manusia juga bisa belajar dari seekor ulat yang menjijikkan. Ulat berpuasa dan berusaha memperbaiki dirinya sebelum dilahirkan kembali menjadi kupu-kupu yang indah. Seberapa buruk kita, selama masih mau bermuhasabah dan memperbaiki diri, kita akan ‘dilahirkan’ kembali menjadi fitri dengan segala kebaikan dan keberhasilan.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM