Pengemis dan Pemberdayaan

MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) telah mnegeluarkan fatwa, mengemis merupakan perbuatan haram. Bagaimana sebenarnya pandangan Islam soal perbuatan mengemis?
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa meminta-minta kepada manusia sementara ia memiliki kemampuan maka ia datang pada hari kiamat dengan bekas cakaran atau garukan di wajahnya”. Ada yang bertanya, “Apakah batas kecukupan itu ya Rasulullah?” Belum berkata, “50 dirham atau emas yang seharga dengan itu.” (HR Abu Dawud Tirmidzi, Nasa'i , Ibnu Majah , Ahmad dan Ad Darimi)
Secara tegas Rasulullah SAW melarang ummatnya meminta-minta (jadi pengemis), tatkala memiliki kemampuan untuk berusaha dan memiliki kemampuan fisik yang baik. Selain itu, ada hadist lain yang menyatakan Rasulullkah melarang meminta-minta bagi mereka yang memiliki kekayaan 40 dirham atau setara 28 gram perak. (HR Abu Dawud)
Dari Sahl bin Hanzhaliyah, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa meminta-minta sementara ia memiliki kecukupan maka sesungguhnya ia sedang memperbanyak bagian dari neraka. Ia (Sahl) bertanya, “Apakah batasan kecukupan itu wahai Rasulullah?” Rasulullah berkata, “Sekedar kecukupan untuk makan siang dan makan malam.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Sebagian ulama berpendapat hadits Sahl mansukh, sebagian lagi berpendapat barangsiapa yang memiliki kebutuhan pokok sehari-hari tidak boleh meminta-mintam sebagian lagi berpendapat hadits Sahl berlaku atas orang yang secara kontinyu memiliki kebutuhan pokok.
Syaikh Salim bin Ied Al Hilaly mengatakan, “Klaim mansukh atas hadits Sahl tidak benar, sementara proses jama’ masih bisa dilakukan. Baransiapa memiliki harta mencapai nishab sementara ia masih memiliki tanggungan keluarga maka ia boleh menerima shadaqah tanpa meminta, maka ia tergolong fakir, wallahu ‘alam.”
Dari Qabishah bin Al Mukhariq Al Hilaly, Rasulullah SAW bersabda, “Hai Qabishah, meminta-minta tidak dihalalkan kecuali bagi tiga orang : Pertama, seorang yang memikul tanggungan hamalah (hutang yang ditanggung dalam usaha mendamaikan 2 pihak yang bertikai), maka ia boleh meminta bantuan hingga ia dapat menutupi hutangnya kemudian berhenti meminta. Kedua, seorang yang tertimpa musibah yang meludeskan seluruh hartanya, maka ia boleh meminta bantuan hingga ia memperoleh apa yang dapat memenuhi kebutuhan pokoknya. Ketiga, seseorang yang ditimpa kemelaratan, hingga 3 orang yang berakal dari kaumnya membuat persaksian : “Si Fulan telah ditimpa kemelaratan”, maka ia boleh meminta bantuan hingga ia memperoleh apa yang dapat memenuhi kebutuhannya. Selain dari 3 itu hai Qabishah, hanya barang haram yang dimakan oleh si peminta-minta sebagai barang haram.” (HR Muslim)
Fatwa MUI merupakan landasan normatif dalam kehidupan sosial keagamaan. Pada sisi lain, fatwa tersebut juga harus diikuti pertanyaan kritis, sejauhmana negara telah memainkan perannya menyejahterakan masyarakat? Langkah apa yang bisa dilakukan untuk membantu seseorang, namun tidak membuat mereka menjadi peminta-minta permanen?
Perlu diketahui, Islam tidak melarang memberi sedekah kepada mereka. Akan tetapi, sebagai seorang muslim yang peduli akan nasib sesama saudara seakidah, maka mengeluarkan sedekahpun, semestinya dilakukan secara cerdas, demi untuk mengantisipasi apa yang telah kita singgung di atas. Dikisahkan, seorang pernah datang kepada salah seorang ahli hikmah dan mengadukan akan kekurangan harta dan belitan hutang. Ahli hikmah itu lantas memberinya sebuah kapak, lalu menyuruhnya kembali beberapa minggu kemudian. Berangkatlah orang tersebut menuju hutan dan mengumpulkan kayu bakar untuk dijual. Dan ternyata benar, orang itu telah dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, melunasi hutang serta memiliki sedikit simpanan untuk hari esok.
Inilah yang dikatakan cerdas dalam bersedekah. Sebab, ia melihat, bahwa laki-laki yang datang mengeluh tersebut, sebenarnya masih sangat kuat untuk berusaha. Akan tetapi, kondisilah yang membuatnya terpaksa harus mengeluh dan meminta bantuan kepada orang lain.
Sungguh, malas bekerja dan hanya menengadahkan tangan kepada orang lain, termasuk perbuatan yang dapat melahirkan dampak buruk di dalam masyarakat. Diantara dampak tersebut adalah:
Pertama, pengangguran dan peminta-minta menyebabkan tenaga manusia bersifat konsumtif dan tidak produktif. Akibatnya, mereka hanya menjadi beban masyarakat.
Kedua, pengangguran dan peminta-minta adalah sumber kemiskinan. Sedang kemiskinan merupakan lahan subur bagi tumbuh dan berjangkitnya berbagai macam tindak kriminal.
Karena itulah Islam sangat menentang pengangguran dan mencela orang-orang yang tidak mau berusaha padahal sebenarnya mereka mampu bekerja. Umar bin al-Khattab ra. pernah memukul seorang pemuda dengan tongkatnya lantaran hanya menghabiskan waktunya duduk-duduk di masjid dan tidak mau bekerja, seraya berkata: "Sesungguhnya langit tidak pernah menurunkan hujan dari emas".
Negara dalam hal ini diwakili pemerintah, juga memiliki andil besar munculnya peminta-minta. Bisa jadi meminta-minta merupakan jalan termudah mencari rejeki, karena negara tidak mampu menyejahterkan dan menyiapkan lapangan kerja. Untuk itu ulil amri (pemimpin) sebuah negeri diwajibkan untuk menyelesaikan urusan ummatnya, termasuk memberdayakan mereka, sehingga para peminta-minta bisa hidup mandiri tanpa harus menegadahkan tangan lagi. Satu hal yang pasti, tidak ada seorang anak manusiapun lahir ke muka bumi bercita-cita jadi peminta-minta.Prinsip tangan diatas lebih baik dari dibawah, menjadi harapan setiap anak manusia. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM