Menjaga Hak Orang-orang yang Lemah

Oleh: Temu Sutrisno

SEBULAN terakhir (September 2009), kita diperhadapkan dengan pemberitaan media cetak dan elektronik, gelandangan dan pengemis (Gepeng) dirazia. Mereka diburu, dikejar dan ditangkap aparat trantib ibukota Jakarta. Berita itu menambah daftar panjang penggusuran rakyat miskin di ibukota Jakarta. Kemiskinan diperhadapkan dengan kekuasaan.
Pada saat bersamaan kita juga disuguhkan pemeriksaan kasus korupsi. Anehnya para terdakwa dan tersangka diperlakukan sopan, halus dan bahkan begitu dihormati. Para tersangka dan terdakwa masih bias tertawa dibawah sorotan kamera. Dua perlakuan yang sangat kontradiktif.
Bagaimana sebenarnya Islam memandang orang yang lemah? Allah SWT dengan hikmah-Nya telah menciptakan manusia berbeda-beda status sosialnya. Ada yang menjadi pemimpin dan ada yang dipimpin. Ada yang ditakdirkan kaya, ada pula yang miskin. Bahkan ada yang menjadi budak sahaya dan ada yang merdeka. Semuanya dijadikan sebagai ujian bagi hamba-Nya. Sebagaimana firman-Nya:
“Dan Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain, maukah kamu bersabar? Dan adalah Rabb kalian Maha Melihat.” (Qs. Al-Furqan: 20)
Dalam firman-Nya yang lain, “Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Qs. Az-Zukhruf: 32)
Manusia sebagai makhluk sosial tentunya tidak bisa lepas dari ketergantungan dengan orang lain. Orang kaya tidak akan terpenuhi kebutuhannya dengan baik tanpa bantuan orang miskin. Pemerintah tidak akan bisa mewujudkan berbagai program secara sempurna bila tidak mendapat dukungan dari rakyat. Oleh karenanya, jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, antara pemerintah dengan rakyatnya, sudah semestinya dikubur. Dengan ini akan terwujud kehidupan yang dinamis, di mana masing-masing tahu peranannya agar tercapai kemaslahatan bersama.
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kalian.” (Qs. Al-Hujurat: 13)
Kezaliman dalam bentuk apapun dan terhadap siapapun adalah kejahatan yang pelakunya berhak mendapat hukuman di dunia ini sebelum di akhirat kelak. Sahabat Abu Bakrah ra, meriwayatkan Rasulullah SAW bersabda, “Tiada suatu dosa yang lebih pantas Allah SWT segerakan hukuman bagi pelakunya di dunia, di samping azab yang Allah sediakan untuknya di akhirat, daripada kezaliman dan memutuskan hubungan silaturahim.” (HR. Ahmad dan Bukhari)
Berbuat zalim kepada siapapun akan membawa petaka yang tiada hentinya. Terlebih bila yang dizalimi adalah orang-orang lemah, seperti wanita, anak-anak, budak sahaya, orang-orang miskin, rakyat jelata, dan semisalnya. Ketidakberdayaan mereka tidak bisa dianggap remeh, karena Islam telah menjamin hak mereka. Jangan sampai ada orang yang berpikir ingin menzalimi mereka. Karena Allah Dzat yang Maha Kuasa, Maha Kaya dan tak terkalahkan, akan membalaskan bagi mereka dan membinasakan orang-orang yang berbuat aniaya. Kalau begitu, siapa gerangan yang mampu melawan Allah SWT? Tiada seorang pun, meskipun dia orang yang kuat dan memiliki banyak pasukan.
Lihatlah kesudahan Fir’aun dan bala tentaranya yang menzalimi Bani Israil dengan membunuh anak-anak yang tidak berdosa, memberlakukan kerja paksa dan setumpuk kezaliman lainnya. Allah SWT tenggelamkan Fir’aun dan tentaranya di lautan. Mana kerajaan yang penuh kemewahan? Mana bala tentara yang banyak dan berlapis-lapis? Semuanya sirna dan binasa. Semuanya kecil di hadapan Allah Dzat yang Maha Adil dan Maha Kaya lagi Maha Perkasa. Adakah kiranya orang yang mau mengambil pelajaran darinya?
Merupakan kewajiban pemerintah untuk memberikan hak-hak rakyat, dengan menebarkan perasaan aman dan nyaman, menjunjung tinggi keadilan, serta menindak orang-orang yang jahat. Kekuasaan merupakan amanah untuk mewujudkan kemaslahatan dalam perkara agama dan dunia. Sehingga manakala pemerintah menyia-nyiakan hak rakyatnya dan tidak peduli terhadap tugasnya, maka kesengsaraan dan azab telah menunggu mereka. Rasulullah SAW bersabda, “Tiada seorang hamba yang diserahkan kepadanya kepemimpinan terhadap rakyat lalu dia mati di hari kematiannya dalam keadaan berkhianat kepada rakyatnya, kecuali Allah haramkan surga baginya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Keadilan akan terwujud dengan menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan petunjuk Allah SWT dan Rasulullah SAW. Pemerintah yang adail adalah mereka yang memenuhi hak kaum lemah dan menyintai orang miskin. Bukan yang mengabaikan hak dan bertindak semena-mena pada orang miskin. Bukankah Rasul sangat mencintai orang miskin? Maka marilah memberi dengan cinta.
"Cintailah kaum miskin dan dekatlah kepada mereka. Jika kamu mencintai mereka, Allah akan mencintai kamu. Jika kamu dekat kepada mereka, Allah akan dekat kepada kamu.jika kamu memberi pakaian kepada mereka, Allah akan memberi pakaian kepada kamu. Jika kamu memberi makanan kepada mereka, Allah akan memberi makan kepada kamu. Dermawanlah kamu, niscaya Allah akan membalas kedermawanan kamu." (HR. Dailami).
Patut diingat, tidak satupun orang lahir ke muka bumi berkeingan miskin dan berniat mngemis. Bukankah menjadi tanggungjawab Negara dan pemerintah untuk memberdayakan mereka? Bukankah masih ada jalan lain untuk memerangi kemiskinan dan pengemis tanpa harus menistakan dan menghinakan mereka? Negara dan pemerintah bertanggungjawab menciptakan lapangan kerja yang banyak, membantu permodalan dan meningkatkan keahlian mereka dengan pendidikan tambahan.
Tanpa itu semua, jangan sampai perlakuan tidak adil pada orang miskin dan pengemis bagian dari tindakan mendustakan agama, sebagaimana firman Allah SWT, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin”. (Qs. Al maa’uun 1-3). ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM