Kemiskinan dan Tanggungjawab Negara

LAGI, kita dikejutkan berita kelaparan yang melanda dataran Yahukimo Papua. Ratusan orang telah meninggal dan ribuan warga lainnya dalam kondisi terancam. Beberapa tahun berselang, kelaparan juga melanda wilayah itu. Sementara di wilayah lain, kita menemukan kasus kemiskinan, busung lapar dan gizi buruk. Dalam kondisi seperti itu, apa peran negara dan apa yang harus dilakukan seorang pemimpin?
Jika kita mau menengok sejenak ke belakang sejarah Islam tentang khalifah Umar bin Khattab, rasanya kasus mati kelaparan, busung lapar atau kekurangan gizi tidak akan terjadi. Dikisahkan, bagaimana khalifah Umar sangat memperhatikan rakyat kecil. Umar rela mengambil sekarung gandum, sebotol minyak, gula, mentega dan segala macam bahan pangan lainnya dari Baitul Maal. Kemudian, Umar sendiri yang memasakkan dan menghidangkannya untuk seorang wanita tua dan anak-anaknya yang sudah tiga hari tidak makan.
Kejadian itu dialaminya, saat malam hari Umar meronda ke perkampungan penduduk, bersama seorang sahabatnya. Tiba-tiba di sebuah gubuk reyot, Umar menemukan seorang wanita sedang merebus sesuatu dalam periuk yang dijaringkan di atas tungku. Di dekat wanita itu, tiga orang anak kecil merengek kelaparan. Didapati Umar, saat Umar memasuki rumahnya, ternyata yang direbus dalam periuk itu adalah batu kerikil. Hal tersebut semata dilakukan wanita tua itu untuk meredakan tangis anak-ankanya yang kelaparan, hingga mereka tertidur dan melupakan rasa laparnya.
Selesai berkunjung, memasak dan menghidangkan makanan untuk wanita tua dan tiga orang anaknya itu, Umar memohon maaf, karena sebagai amirul mukminin (pemimpin orang beriman) telah berbuat tak layak, menelantarkan rakyatnya kelaparan. Zaman sekarang, pernahkah kita melihat pemimpin sepeduli khalifah Umar Bin Khattab? Jangankan manusia, binatang pun Umar perhatikan, karena kelak, di akhirat akan diminta pertanggungjawabannya.
Dalam kisah lainnya, Imam Ali bin Abi Thalib, menyatakan tidak dapat tidur nyenyak dalam kondisi kenyang, sebelum ummatnya tidur dengan perut kenyang. Pertanyaannya, masihkan adakah pemimpin saat ini sekelas Umar dan Ali? Atau paling tidak berusaha untuk memerhatikan rakyatnya sebagaimana kedua tauladan tersebut?
Negara dalam pandangan Islam adalah melindungi kepentingan warga negara baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Negara menjamin keselamatan setiap warga negara yang ada di luar negeri dengan politik luar negerinya, baik warga negera sedang menjalankan tugas negara maupun untuk kepentingan pribadi, seperti sedang belajar, perjalanan dagang, untuk misi kebudayaan dan kemanusiaan, dan lain-lain. Dengan demikian negara membuat berbagai hubungan luar negeri dalam koridor syari’at Islam.
Di dalam negeri, negara secara praktis bertanggung jawab atas kesejahteraan warga negara, baik muslim maupun non muslim. Dalam sistem negara Islam, negara menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok (al hajat al asasiyah), baik sandang, pangan, maupun papan. Tidak boleh ada rakyat yang lapar, telanjang, atu tak punya tempat tinggal. Banyak ayat dan hadits yang menyebut tentang itu. Di antaranya:
“Penduduk negeri mana saja, dimana terdapat orang yang lapar, dan mereka membiarkan, maka telah lepas tanggungan Allah atas mereka.”
Hadits tersebut memberikan pengertian bahwa negara wajib menjamin jangan sampai ada orang yang mati kelaparan. Juga, adalah menjadi kewajiban kaum muslimin secara keseluruhan, manakala kas negara sedang kosong, mengeluarkan sebagian hartanya untuk memenuhi kebutuhan itu. Artinya, negara berhak menarik pajak —secara insidental— kepada kaum muslimin yang memiliki kelebihan harta untuk memenuhi kekurangan dana kas negara (baitul maal) bagi kepentingan memenuhi kebuhan pokok masyarakat yang tak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri.
Disamping itu negara dalam pandangan Islam harus menjamin hak umum masyarakat, dengan memberikan pendidikan, pelayanan kesehatan, dan jaminan keamanan secara gratis kepada seluruh warga negara, tanpa pandang bulu, miskin ataupun kaya. Termasuk yang tidak pandang bulu ini, adalah kedudukan warga negara di depan hukum syari’at Islam. Antara pejabat dan rakyat jelata, kedudukannya sama. Antara sipil dan militer kedudukannya sama. Antara kaya dan miskin kedudukannya sama.
Akhirnya, kelaparan yang terjadi menjadi salah satu tolok ukur, kemampuan negara menyejahterakan masyarakat dan pemimpin peduli atau tidak terhadap rakyatnya. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM