Surplus, Harga Beras Naik

KONTRADIKTIF! Kata itu yang pas untuk menggambarkan secara singkat produksi beras di Sulteng. Tahun 2008 produksi padi Sulteng mencapai 964.902 Ton Gabah Kering Giling (GKG) atau meningkat 107.394 Ton GKG. Dengan capaian sebesar itu, Sulteng surplus 200. 000 Ton. Anehnya, harga beras di pasaran naik dan mahal bagi rata-rata penduduk Sulteng.
Data tersebut terungkap dalam ekspos program Komisi II DPRD Provinsi (Deprov) dengan instansi teknis yang menjadi mitra kerjanya, Selasa (3/3/2009) kemarin. Harga beras di pasaran saat berkisar Rp5.500-6.200. Mahalnya harga beras semakin terasa dengan kemampuan daya beli masyarakat yang makin menurun, akibat keterpurukan ekonomi global. Dengan angka kemiskinan mencapai 557 ribu jiwa, masyarakat berharap pada pemberian beras miskin (Raskin).
Kondisi itu seharusnya tidak terjadi untuk Sulteng yang memiliki luas sawah produktif 208.820 Ha, dengan rata-rata produksi 46,21 kuintal per hektar. Surplus 200.000 Ton, secara normatif bukan saja menggambarkan terpenuhinya kebutuhan beras masyarakat Sulteng, namun juga kemampuan daerah melakukan ekspor beras atau menjual hasil produksi padi ke luar daerah. Kenyataannya hal itu tidak terjadi. Apa sebenarnya yang menjadi pokok permasalahan pengelolaan produksi padi atau beras di Sulteng?
Pertama, bisa jadi kurangnya koordinasi antara instansi teknis terkait seperti Dinas Pertanian, Dinas Perdagangan, Bulog dan Biro Ekonomi. Idealnya ketika Dinas Pertanian menggenjot produksi padai petani, maka Dinas Perdagangan mencarikan pasar yang tepat, sehingga petani tidak dirugikan dengan permainan harga pedagang. Demikian halnya dengan Bulog dan Biro Ekonomi melakukan pengaturan distribusi beras di pasaran dengan baik, sehingga harga di tingkatan petani tidak jatuh dan di masyarakat konsumen tidak terjadi kemahalan.
Kedua, pemerintah berlepas tangan dan menyerahkan sepenuhnya harga beras pada mekanisme pasar. Menyerahkan sepenuhnya harga beras pada mekanisme pasar, selama ini telah terbukti menyengsarakan petani dan masyarakat konsumen. Kelaziman yang terjadi, saat produksi beras berlimpah (panen), pedagang dan pengusaha memebeli beras dari petani dengan harga sangat murah. Pada sisi lain, beras yang menjadi kebutuhan masyarakat tetap dibutuhkan konsumen. Pada saat itu pengusaha dan pedagang memainkan peran tarik ulur harga, dengan tidak menurunkannya. Walhasil, harga beras tetap mahal.
Penyerahan harga beras pada mekanisme pasar juga terungkap dalam ekspos program yang dilaksanakan Komisi II Deprov. Berdasarkan penuturan dari pejabat Dinas Pertanian, pihaknya atas informasi Bulog melakukan pemantauan pengapalan beras di pelabuhan Banggai yang hendak dikirim ke Gorontalo. Hal yang sama juga disaksikan Ketua Komisi II Ibrahim Timumun di Buol. Anehnya, ungkap Ibrahim, pihaknya menemukan pengiriman beras dari Gorontalo ke Sulteng, lewat Parmout dan Buol. “Itu beras kita, mereka jual ulang ke Sulteng dan harganya makin mahal. Gubernur harus secepatnya melakukan rapat koordinasi dan mencarikan jalan keluarnya. Jangan sampai kita yang hasilkan beras, kita juga yang kekurangan beras. Padahal datanya surplus,” Ibrahim resah.
Usulan Komisi II selayaknya direspon secara cepat oleh Gubernur. Jika jalan keluar tidak secepatnya dicari, angka ramalan I (ARAM I) produksi padi 2009 sebesar 975.130 Ton GKG tidak akan memberikan dampak kesejahteraan petani sekaligus memenuhi kebutuhan masyarakat Sulteng. Jika itu terjadi, akan berlaku pepatah lama di Sulteng, “Tikus Mati di Lumbung Padi”. Surplus, tapi masyarakat kesulitan beras karena mahal.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM