Tobat dan Tazkiyah

SEJAK Indonesia merdeka, salah satu penyakit sosial bangsa yang belum sepenuhnya dapat disembuhkan adalah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Penyakit sosial yang begitu kronis telah memorakporandakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Imbasnya, kekayaan Indonesia hanya berputar pada segelintir orang dan kemiskinan menjerat mayoritas anak bangsa.
Bulan Ramadhan yang secara substansial mendidik orang untuk jujur, adil dan sensitif terhadap penderitaan orang lain, bisa dijadikan pijakan untuk merubah mentalitas bangsa dan budaya KKN yang telah menggurita hingga jantung pemerintahan terendah. Ramadhan menjadi momentum seluruh anak negeri untuk meninggalkan sikap dan budaya mungkar dan maksiat yang selama ini mewarnai hidupnya.
Langkah pertama yang harus dilakukan bangsa dan seluruh warga adalah muhasabah (instropeksi diri) secara mendalam dan mengakui segala kekurangan dan dosa sosial politik yang ada. Selanjutnya melakukan pertaubatan secara individu dan kolektif (nasional), dengan tobat nasuha, sebagaimana firman Allah SWT dalam At Tahrim ayat 8.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah engkau pada Allah dengan tobat yang sesungguh-sungguhnya”.
Yang dimaksud tobat nasuha adalah sikap mengakui dan menyesali perbuatan yang keliru, menjauhi dan tidak akan mengulanginya lagi. Tobat seperti inilah yang diterima Allah dan memiliki nilai transformatif secara sosial. Bukan tobat asal-asalan atau meminjam istilah orang Jawa ‘kapok lombok’. Menyesal makan lombok karena pedas, tapi pada waktu berbeda memakannya kembali.
Jika tobat nasuha dilakukan, maka secara individu maupun kolektif bangsa ini tidak akan lagi mengulangi kesalahan masa lalu dan kembali membudayakan KKN, yang telah terbukti merusak dan meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan.
Rasulullah SAW pernah mengirim surat kepada Wahsyi, sang pembunuh Hamzah, paman Rasul, untuk kembali kepada Allah SWT. Wahsyi menjawab, ”Bagaimana mungkin aku kembali kepada Allah, padahal aku ini pembunuh, pezina, dan menyekutukan Tuhan yang akan disiksa dan dilipatgandakan siksanya pada hari kiamat serta abadi di dalamnya dengan terhina. Aku termasuk orang seperti itu. Apakah ada pengecualian bagiku?” kata Wahsyi, menjawab ajakan Rasulullah.
Keraguan Wahsyi direspons Allah dalam Surat Maryam ayat 60 dan Surah Alfurqan ayat 70, bahwa taubatnya seorang hamba yang tulus dan diikuti dengan perbuatan baik, Allah akan mengganti seluruh kejahatan yang dilakukannya dengan kebajikan dan tidak akan dirugikan sedikit pun.
Wahsyi masih menawar, dia pun berkata, ”Syarat itu terlalu berat bagiku, aku tidak bisa melakukannya.” Allah pun menjawab dalam Surat An-Nisa' ayat 48 dan 116, ”Hanya dosa syirik yang tidak diampuni.”
Wahsyi tidak puas, dia pun berkata, ”Aku ragu, apakah aku termasuk orang yang diampuni Allah? Apakah ada ketentuan lain selain ini?”
Maka Allah memanggilnya dengan penuh kasih sayang, ”Wahai hamba-hamba-Ku yang dosanya tidak bisa dihitung dengan deret ukur, jangan berputus asa dari kasih sayang Allah. Allah akan mengampuni semua dosa yang telah kamu kerjakan.” (QS Al Zumar: 53).
Kisah tersebut dapat dilacak dalam kitab Lubab an Nuqul fi Asbab an Nuzul karya Jalaluddin as Suyuthi.
Dosa manusia sebesar apa pun akan diampuni Tuhan. Luasnya langit dan bumi Tuhan masih sangat longgar untuk menutupi padatnya dosa-dosa hamba-Nya yang telah menggunung. Dosa-dosa itu akan kita bakar pada bulan Ramadhan, karena Ramadhan itu sendiri berasal dari kata ramdla yang artinya membakar, kemudian kita mencucinya atau bertazkiyah, yaitu bagi seorang yang memulai perjalanan hidupnya dari hal-hal yang buruk, namun di sisa akhir hidupnya, ia merintis jalan kesucian. Gelar khusnul khatimah berhak disandangnya. Allah menghapus dosa-dosa yang telah dikerjakan sebelumnya.
Tazkiyah atau penyucian diri adalah proses yang harus dijalani tanpa batas sampai pada tingkat yang tak terhingga. Bagi setiap muslim tazkiyah adalah keperluan yang sangat mendesak sampai akhir hayatnya.
Salah satu gangguan tazkiyah yang paling berbahaya yaitu ketika mendekati Tuhan dengan kepuasan diri. Perasaan kagum akan kesucian diri yang telah dicapai merupakan awal kejatuhan manusia pada tingkat yang paling dasar. Jangan merasa dirimu suci, demikian kata Allah dalam Surat An-Najm ayat 32.
Tazkiyah pendosa yang tulus dan terus menerus lebih disukai Allah daripada orang saleh yang menjalani proses penyucian diri lalu berhenti dan melepaskannya sehingga jatuh pada kesesatan.
Dalam tafsir At Thabary, tentang Surah Al A’raf ayat 175-176, Sayyar menginformasikan tentang orang saleh pada zaman Bani Israil bernama Bal’am yang pernah mencapai kedudukan tinggi di sisi Allah karena proses tazkiyah yang dilakukan. Karena kesalehannya, dia dihormati banyak orang, reputasinya yang tinggi, dan doanya yang senantiasa diperkenankan Tuhan. Dia mempunyai jabatan tinggi di pemerintahan.
Suatu saat Fir’aun menyuruhnya untuk mendoakan kaum Nabi Musa agar jatuh dalam kecelakaan, Bal’am pun memenuhinya. Bal’am yang saleh telah terjatuh dalam kesesatan karena silau dengan kilatan dunia, memulai hidupnya dengan kesalehan, perjuangan atas nama Islam, akan tetapi dalam perjalanan akhir hidupnya, ia mengalami perubahan yang drastis, karena terbuai dengan ambisi duniawi.
Kisah Bal’am, ulama saleh yang semula melakukan tazkiyah, tetapi jatuh pada kenikmatan dunia, Alquran Surat Al A’raf ayat 176 menyebutnya seperti seekor anjing.
Belajar dari sejarah Bal’am, kita tidak boleh merasa aman dan tentram dengan tazkiyah diri kita. Orang saleh yang banyak amalnya saja dapat terjerumus dalam kesesatan, apalagi yang sedikit amal salehnya.
Mari berlomba untuk bertobat dan bertazkiyah pada Ramadhan dengan penuh ketulusan. Pasti Allah menerimanya. Semoga Ramadhan kali ini berhasil mengeluarkan diri dan bangsa kita dari budaya mungkar dan maksiat.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM