Polda-Kejati harus Belajar pada Justice Bao

KASUS perambahan hutan di kawasan Cagar Alam Tinombala, telah mengendap selama dua tahun. Keseriusan penyidik Polda Sulteng dalam melakukan penyidikan terhadap tersangka kasus dugaan ilegal loging Ogobayas, yang melibatkan Ir Bambang Tedjo (mantan Plt Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi/Disnakertrans Sulteng), dan Saadon Lawira (Kepala Disnakertrans Parmout), menjadi pertanyaan publik.
Terlebih lagi, sesuai keterangan Kejati Sulteng, penyidik Polda sampai saat pelimpahan berkas perkara tersebut, tidak dilengkapi Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Pelimpahan berkas perkara tanpa SPDP, adalah mekanisme yang sangat aneh dan baru pertama kali ditemui di Sulteng. Sehingga wajar saja jika perkara tersebut, tidak dapat diproses lanjut. Kejati tidak punya dasar untuk menunjuk jaksa yang akan menjadi peneliti dan mengawal berkas perkara tersebut.
Kejati mengklaim telah melayangkan surat ke penyidik Polda Sulteng sejak bulan lalu, meminta agar dibuatkan SPDP saat pelimpahan terhadap berkas perkara kasus Ogobayas ke Kejati. Namun sampai saat ini, surat permintaan SPDP itu, tidak ditanggapi penyidik Polda Sulteng. Sehingga sampai kapanpun berkas perkara itu tidak dapat diproses lebih lanjut di pengadilan, jika SPDP belum disertakan. Sikap apatis penyidik Polda Sulteng tersebut membuat Kejati tidak bisa berbuat banyak dalam menindaklanjuti kasus Ogobayas.
Dibalik serangan Kejati, Polda Sulteng meradang. Polda menolak jika dikatakan tidak serius menuntaskan kasus Ogobayas. SPDP yang diminta Kejati, telah dilampirkan saat penyerahan berkas perkara. Tidak mungkin Polda melakukan pemeriksaan saksi dan tersangka tanpa SPDP. Tanpa surat sakti itu, Polda dapat dituntut balik orang-orang yang diperiksa.
Sikap saling elak dan serang yang dilakukan Polda dan Kejati, walhasil makin memperlamban penegakan hukum, yang selama ini telah dinilai pincang oleh publik. Publik makin bertanya-tanya, ada apa dengan Polda dan Kejati. Adakah keuntungan kedua lembaga penegak hukum itu, dengan proses hukum kasus perambahan Cagar Alam Tinombala yang terkatung-katung. Pertanyaan itu wajar dilempar, karena kasus ilegal loging secara nasional menjadi perhatian pemerintah dan diprioritaskan penyelesaiannya. Proses hukum yang menggantung, secara tidak langsung juga menyiksa pihak yang dijadikan tersangka. Polda dan Kejati, telah membangun dosa kolektif atas beban pikiran para tersangka, yang tidak mendapatkan kepastian hukum. Bukan hanya itu, karir mereka sebagai PNS mandeg, karena kasus tersebut. Baperjakat berhitung, untuk menaikkan pangkat dan golongan mereka. Apatah lagi jabatan strategis, yang harusnya layak mereka sandang. Terkatung-katungnya kasus Tinombala, juga berpengaruh pada status sosial dan kondisi keluarga tersangka. Tidak enak hidup dengan masalah tanpa kepastian hukum. Tidur tidak nyenyak, makanpun tidak enak.
Polda dan Kejati, harusnya belajar banyak pada Justice Bao, tokoh penegak keadilan versi Film Mandarin. Jangan sekali-kali menggantung masalah tanpa kepastian hukum, apalagi terbersit niat mengeruk keuntungan dari kasus yang ditangani. Yang salah diputus bersalah, yang benar dibebaskan. Kasus Tinombala harus diteruskan, apapun situasinya. Jalankan proses hukum seadil-adilnya, secara transparan. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

KARAKTERISTIK ILMU DAN TEORI HUKUM