Kedudukan DPRD Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014
Oleh: Temu Sutrisno
UUD NRI 1945 adalah konstitusi negara Indonesia yang merupakan hasil kesepakatan
seluruh rakyat, yang keberlakuannya berlandaskan pada legitimasi kedaulatan
rakyat. Sehingga UUD NRI 1945 merupakan hukum tertinggi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Konstitusi menurut William G. Andrews mengatur dua hubungan yang saling
berkaitan satu sama lain, yaitu: Pertama, hubungan antara
pemerintahan dengan warga negara; dan Kedua, hubungan antara lembaga
pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain. Karena itu,
biasanya, isi konstitusi dimaksudkan untuk mengatur mengenai tiga hal penting,
yaitu menentukan pembatasan kekuasaan
organ-organ negara, mengatur hubungan antara lembaga-lembaga negara yang satu
dengan yang lain, dan mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara
dengan warga negara.
Dengan demikian, salah satu materi penting dan selalu ada dalam konstitusi
adalah pengaturan tentang lembaga negara. Hal itu dapat dimengerti karena
kekuasaan negara pada akhirnya diterjemahkan ke dalam tugas dan wewenang
lembaga negara. Tercapai tidaknya tujuan bernegara berujung pada bagaimana
lembaga-lembaga negara tersebut melaksanakan tugas dan wewenang
konstitusionalnya serta hubungan antarlembaga negara. Pengaturan lembaga negara
dan hubungan antarlembaga negara merefleksikan pilihan dasar-dasar kenegaraan
yang dianut.
Menarik dikaji, DPRD yang secara kelembagaan ditetapkan dalam UUD NRI 1945
Pasal 18 ayat (3) “Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota
memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui
pemilihan umum.” Dalam praktiknya,
meski lahir dari rahim Pemilu sebagai penanda kedaulatan rakyat, kedudukan DPRD
tidak seperti DPR RI sebagai lembaga legislatif yang juga lahir atas perintah
UUD NRI 1945.
Pada masa Orde Baru, kedudukan DPRD adalah salah satu unsur dari
pemerintahan daerah atau eksekutif
sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU Nomor 5 tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. DPRD diposisikan sebagai mitra Kepala
Daerah dalam perumusan sekaligus implementasi
kebijakan di daerah, daripada sebagai fungsi kontrol dan penyeimbang
kekuatan eksekutif. Dalam kedudukannya yang demikian, DPRD sama sekali tidak
mencerminkan representasi rakyat di daerahnya. Oleh karena itulah dalam Pasal 14
UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kedudukan DPRD dikembalikan
kepada fungsi aslinya, yakni sebagai badan legislatif. Seiring dengan fungsi
barunya ini, DPRD diberikan hak untuk meminta pertanggungjawaban Kepala Daerah,
yang tidak ada dalam UU Nomor 5 tahun 1974. Selanjutnya, UU Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah mengembalikan DPRD sebagai bagian dari
penyelenggara pemerintahan daerah. Kini dengan dikeluarkannya UU Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah, bagaimana Kedudukan dan Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di
Indonesia?
Perdebatan dalam isu kedudukan dan
kewenangan DPRD menyentuh pertanyaan mendasar: apakah DPRD didudukan secara
tegas sebagai lembaga legislatif sebagaimana dikenal dalam konsep Trias
Politica ataukah didudukan sebagai sabagai salah satu unsur pemerintahan
daerah? Perdebatan ini kembali mengemuka ketika konsep yang meletakkan DPRD
sebagai badan legislatif dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 diubah menjadi DPRD sebagai unsur pemerintahan daerah yang
digunakan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor
23 Tahun 2014.
Dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, khususnya dalam ketentuan umum, yang secara
tegas merumuskan DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah. Dan dalam pasal 16 ayat
(1) dan (2) dalam undang-undang yang sama disebutkan bahwa (a) DPRD sebagai
lembaga perwakilan rakyat di Daerah merupakan wahana untuk melaksanakan
demokrasi berdasarkan Pancasila; (b) DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah
berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah.
Penegasan kedudukan DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat dan Lembaga
Legislatif Daerah dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 diikuti dengan penguatan DPRD
dengan memberikan tugas, kewenangan dan hak yang lebih besar pada DPRD. Salah
satunya adalah hak DPRD untuk meminta pertanggungjawaban Gubernur, Bupati dan
Walikota. Bahkan dalam Pasal 20 UU Nomor 22 Tahun 1999 diamanatkan bahwa ketika
dalam menjalankan haknya untuk meminta keterangan tidak diindahkan oleh pejabat
negara, pejabat pemerintah atau warga masyarakat, maka yang bersangkutan bisa
diancam dengan pidana kuruang paling lama satu tahun karena merendahkan
martabat dan kehormatan DPRD (contempt of parliament). Penguatan posisi
DPRD dalam periode 2000-2004 telah memberikan dampak pada hubungan eksekutif
dan legislatif yang lebih setara. Namun, penguatan DPRD menimbulkan reaksi dari
berbagai kalanngan, yang menyebutkan UU Nomor 22 Tahun 1999 melahirkan fenomena
“legislative heavy”.
Beberapa kasus ketegangan atau konflik antara DPRD dengan Kepala Daerah
yang selanjutnya berujung pada impeachment kepala daerah. Munculnya
berbagai reaksi terhadap penguatan DPRD menimbulkan kehendak untuk “mengurangi kekuasaan”
DPRD dengan mempertegas kembali prinsip check and balances dalam
hubungan antara DPRD dengan pemerintah daerah. Keinginan kuat mengurangi kuasa
DPRD mendorong pemerintah dan DPR merevisi UU Nomor 22 Tahun 1999 dengan UU
Nomor 32 Tahun 2004.
Di tengah arus kuat kritik atas fenomena DPRD heavy itu berlangsung
pula proses amandemen kedua Konstitusi. Amandemen kedua UUD menghasilkan
beberapa pasal yang berkaitan dengan DPRD. Dalam pasal 18 ayat (3), disebutkan;
“Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan
umum” Pasal 18 ayat ayat (6) “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan
daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan” serta pasal 18 ayat (7) yang berbunyi “Susunan dan tata cara
penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang”. Tentu akan
muncul pertanyaan atas rumusan amandemen kedua itu; Apakah kalimat
“Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki DPRD” bisa
diartikan sebagai upaya menegaskan DPRD sebagai salah satu unsur pemerintahan
daerah? Paradigma DPRD sebagai bagian pemerintahan daerah nampak dalam UU Nomor
22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Walaupun
dalam Pasal 1 butir (4) yang dimaksud DPRD “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”.
Namun dalam Pasal 60 dan 76 dalam UU Nomor 22 Tahun 2003 disebutkan bahwa
DPRD Provinsi dan Kabupaten atau Kota merupakan lembaga perwakilan rakyat
daerah yang berkedudukan sebagai lembaga pemerintahan daerah. Sementara dalam
bagian penjelasan disampaikan bahwa : “Yang dimaksud dengan lembaga
pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD yang berada di tingkat
Provinsi dan Kota/ Daerah. Sedangkan pemerintah daerah terdiri atas kepala
daerah beserta perangkat daerah”.
Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, DPRD kembali dirumuskan ulang dari kedudukan
sebagai Badan Legislatif Daerah menjadi
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Hal itu juga ditegaskan
kembali dalam Pasal 40 UU Nomor 32 Tahun 2004. Dalam UU Nomor 23 Tahun 2014
Pasal 1 ayat (4) kedudukan DPRD sebagai penyelenggara pemerintahan daerah
kembali dikuatkan. Pergeseran kedudukan DPRD dari Badan Legislatif Daerah ke
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah didasarkan atas beberapa
perspektif dominan yang dianut oleh para perumus UU Nomor 32 Tahun 2004
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 23 Tahun 2014, pertama, dalam
sistem negara kesatuan (unitarian state) tidak dikenal badan legislatif
di tingkat daerah. Badan legsilatif hanya berada di level nasional (pusat).
Oleh karena itu, dalam cara berpikir UU Nomor 23 Tahun 2014, DPRD bukan lembaga
legislatif.
Kedua, karena DPRD
bukan lembaga legislatif daerah maka DPRD harus didudukan sebagai salah satu
unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah bersama-sama kepala daerah. Dengan
demikian, DPRD berada dalam ranah yang sama dengan pemerintah daerah dalam
struktur hubungan dengan pemerintah pusat. Atau dengan kalimat yang lebih
ringkas DPRD berada dalam rejim pemerintahan daerah.
Implikasi dari rumusan kedudukan DPRD sebagai unsur pemerintahan daerah, Pertama, karena rumusan itu lebih menekankan DPRD sebagai unsur penyelenggaraan
pemerintahan, dibandingkan dengan lembaga perwakilan rakyat maka DPRD lebih
kuat dilihat dalam perspektif governance bukan perspektif politik.
Sehingga, DPRD sebagai lembaga perwakilan politik yang seharusnya wahana bagi
masyarakat untuk terlibat dalam proses politik pemerintahan tereduksi.
Kedua, secara
psiko-politis, kedudukan sebagai unsur pemerintahan daerah, membuat posisi DPRD
tidak tegas dihadapan pemerintah daerah, sehingga mekanisme check and
balances tidak bisa berjalan dengan baik.
Ketiga, selain membuat
lemah dihadapan kepala daerah, DPRD juga lemah dihadapan pemerintah pusat.
Kedudukan sebagai unsur pemerintahan daerah, membuat DPRD berada dalam struktur
hierrakis rejim pemerintahan daerah yang berada dibawah pemerintah pusat yang
dipimpin Presiden. Akibat bekerjanya struktur hierrakis ini, DPRD tidak bisa
melepaskan diri dari berbagai proses politik dan produk hukum yang dikeluarkan
oleh pemerintah pusat.***
Penulis
adalah Mahasiswa Program Magister Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Untad
Komentar
Posting Komentar