Dewi Themis Menangis
Oleh: Temu Sutrisno
DEWI Themis duduk bersimpuh di hadapan Ratu Shima. Dewi
keadilan Yunani itu menumpahkan isi hatinya pada ratu adil tanah Nusantara yang
bertahta di Kalingga.
“Duh Sang Ratu, aku tak sanggup lagi mengemban tugas sebagai simbol keadilan universal. Di Negara lain mungkin aku bisa jadi dewi keadilan, tapi tidak dengan negeri Nusantara,” keluh Dewi Themis bercucuran air mata.
Bagaimana tidak, lanjut Dewi Themis, aku yang lahir dari
peradaban Yunani tidak mampu menembus kepribadian para penegak hukum di negeri
ini.
“Kepadamu wahai Ratu Shima yang adil dan bijaksana, aku
serahkan tutup mataku, pedang, dan timbangan keadilan ini,” kata Dewi Themis.
“Mengapa engkau lakukan itu, wahai dewi. Bukankah engkau
perlambang ketulusan, kelemahlembutan, dan nurani luhur?” sahut Ratu Shima.
“Di negeriku Yunani dan banyak negara mungkin karakterku
bisa dipahami. Tapi di sini aku rasakan tidak seperti itu. Mungkin lebih tepat
engkau yang menjadi simbol keadilan di Nusantara ini wahai Ratu,” jawab Dewi
Themis.
Aku hari ini membuka tutup mataku, karena hukum di Nusantara
ini mulai diberlakukan secara tidak obyektif. Bukankah engkau wahai Sang Ratu,
biasa mendengar hukum tajam ke bawah tumpul ke atas. Hukum hanya untuk orang
tak berpunya, hanya untuk mereka yang tidak mampu membeli keadilan. Sementara
yang punya kuasa, yang punya harta tak tersentuh hukum. Malah mereka memainkan
hukum.
"Equality Before
The Law yang berarti semua mendapat perlakuan yang sama di muka hukum,
hanya jadi slogan tanpa arti wahai Ratuku,” keluh sang putri Uranus.
Hari ini aku serahkan timbangan ini padamu, karena aku
merasakan hukum di Nusantara pada praktiknya berat sebelah, selalu bersisian
dengan pemegang kuasa dan pemilik pundi-pundi usaha.
Hari ini aku kembalikan pedang ini padamu, karena hukum di
Nusantara menjadi alat bagi sebagian kelompok untuk kelompok lainnya. Hukum
hanya menjadi milik orang dan kelompok tertentu, hukum begitu mudah
dipermainkan. Jika Sang Ratu ingin bukti, silakan kumpul seluruh aparat penegak
hukum di negeri ini, suruh acungkan jari mereka yang tidak bermain dengan
hukum. Wahai Sang Ratu, engkau akan mendapatkan sedikit dari mereka yang
benar-benar menjalankan filosofi dewi keadilan, hanya sedikit.
Ratu Shima menghela nafas panjang, mendengar curahan hati
Dewi Keadilan.
“Dewi, aku juga tidak yakin bangsaku saat ini mampu
menjalankan kejujuran yang kuajarkan. Aku tidak yakin ketegasanku menghukum
anakku bisa mereka jalankan. Jangankan jadi simbol keadilan, seandainya waktu
diputar kembali dan aku harus menghukum semua orang, aku akan hukum mereka
semua,” sabda Sang Ratu.
Jangan bersedih Dewi. Yakinlah, dalam keadaan apapun akan
selalu lahir orang-orang baik. Akan selalu tumbuh orang-orang yang memegang
teguh nurani, mereka akan terus menggenggam kebenaran dan keadilan, walau
seperti bara api di tangan mereka.***
Tana Kaili, 17 September 2020
Adakah goresan. Goresan penuh tatap. Penuh harap tak merayap.
BalasHapus