Tonakodi-HAM Itu Fastabikul Khairat
Oleh: Temu Sutrisno
Sore Itu Tonakodi sowan ke salah satu gurunya. Setelah
saling sapa dan tanya kabar, keduanya terlibat dalam perbincangan laiknya guru
dan murid. Tonakodi lebih banyak mendengar dan sesekali menimpali atau
bertanya.
Sang Guru menyatakan keprihatinannya, atas perkembangan
masyarakat akhir-akhir ini. Atas nama demokrasi, kebebasan berpendapat, dan bersembunyi di
balik nama besar hak asasi manusia (HAM), orang per orang ataupun antar kelompok
masyarakat, kelompok kepentingan sangat mudah menghakimi orang dan kelompok
lain, menghujat, mencerca, dan bahkan menyatakan ujaran kebencian secara
terang-terangan.
“Iya Guru. Itu kondisi masyarakat kita saat ini. Masyarakat mudah
terbelah dan menyerang, menghujat kelompok lain. Tidakkah ini ekspresi
kebebasan berpendapat yang keliru?” tanya Tonakodi.
Kebebasan berpendapat bukan untuk menistakan orang dan
kelompok lain. Kebebasan berpendapat harus dalam kerangka menghormati hak orang
lain, perasaan orang lain. Dalam perspektif orang Jawa disebut tepo seliro. Kalau tidak seperti itu, yang terjadi adalah chaos,
kekacauan, kata Sang Guru.
Tidak ada konsep HAM yang sempurna di dunia ini. Banyak
negara bicara HAM dan berkiblat ke negara-negara seperti Amerika. Apa benar HAM
di sana cocok untuk kita? Apa benar tidak ada pelanggaran nilai kemanusiaan
atas nama HAM di sana?
Di Amerika tutur Sang Guru, apapun bisa dilakukan asal tidak
menyerang kepentingan Yahudi. Prinsip universal HAM yang mereka ekspor ke
berbagai negara, tidak berlaku di hadapan Yahudi. Bagi Amerika, Yahudi di atas
nilai HAM. Yahudi yang terbaik.
Kita coba lihat Jerman. Orang Jerman sampai hari ini, di
hati mereka masih mengakui dan mengunggulkan ras Arya. Di Prancis, Belanda,
Italia, tidak bisa orang jadi presiden atau perdana menteri kalau tidak
menganut agama tertentu. Di negara Eropa lainnya, bahkan agama tertentu
dilarang. Lucunya, negara dan masyarakat kita selalu berkiblat soal demokrasi,
HAM dan modernitas ke negara-negara itu, kata Sang Guru.
Tonakodi manggut-manggut.
HAM universal itu lanjut Sang Guru, sederhana. Hak dasar
untuk hidup dan selanjutnya menggunakan kehidupan untuk berbuat baik. Manusia
dituntut untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, fastabikul khairat. Artinya, siapa manusia yang berbuat baik itulah
yang mengakui dan menjalankan HAM. HAM harus dimaknai sebagai perbuatan baik.
Jangan perbuatan buruk disandarkan atas nama hak asasi. Hak dasar itu cuma satu,
hak untuk hidup. Selebihnya itu hak turunan, kata kunci hak-hak turunan itu bagaimana
bisa menjalani hidup dengan baik dan dipenuhi kebaikan.
“Masing-masing, orang, kelompok dan bahkan tiap peradaban kan
punya batasan baik yang berbeda, Guru”.
“Benar. Tapi ada kebaikan yang tidak berbeda satu sama
lain. Tanya nilai kebaikan itu pada dirimu, tanya pada setiap hati anak manusia
pasti sama. Karena manusia itu diciptakan dengan bekal hanif, hati yang lurus. Hati yang terpaut pada Tuhan,” jelas Sang
Guru.
Ambil contoh soal kebebasan berpendapat, tidak ada manusia
satupun di dunia ini yang suka di caci maki, dicemooh, dihujat, dilecehkan.
Artinya, kalau kita tidak suka diperlakukan sama, jangan berbuat seperti itu.
“Tabe Guru, di luar sana orang beranak pinak dengan
berhubungan bebas, atas nama hak dan kebebasan. Di sini, karena masih nilai
religius, tidak seperti itu. Artinya batasan kebebasan berbeda. Padahal Guru
sampaikan tadi, kebaikan itu definisinya sama,” sambung Tonakodi.
Bebas harus dimaknai dalam prinsip kemanusiaan. Beranak
pinak dan hidup dalam kebebasan tanpa ikatan, itu bukan prinsip kemanusiaan.
Kita ini manusia, Bani Adam. Harus bisa membedakan mana batas yang dijunjung
dan dilakukan Bani Adam. Jangan manusia menurunkan derajatnya menjadi Bani
Ayam. Tahu kelakukan ayam? Bahkan, ayam tidak tahu batasan mana saudara satu
penetasan digauli juga. Ayam bebas seperti itu, tapi manusia tidak. Kalau
manusia lakukan itu, maka dia sendiri menjatuhkan derajatnya seperti binatang.
“Tanyalah pada al hanif dalam hatimu yang cnderung pada
kebaikan dan kebenaran. Itu titik awal untuk berlomba dalam kebaikan, fastabikul khairat. Sekali lagi, kebebasan dan HAM harus kita maknai dalam
kerangka fastabikul khairat, sehingga HAM kita tidak perlu
meniru Amerika dan negara lainnya. Mereka yang harus menengok HAM di negeri
ini,” kata Sang Guru.
Suara takhrim di
masjid terdengar mengalun. Tonakodi undur diri, pamitan pada Gurunya. ***
Tana Kaili, 5 Desember 2018
Komentar
Posting Komentar