Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2025

Kaktus dan Karui Terakhir

Gambar
Oleh: Temu Sutrisno Minggu pagi itu, Tonakodi berangkat jalan-jalan ke kebun milik sahabatnya, Akhlis, di Layana , daerah sebelah utara Lembah Palu. Udara terasa berbeda dari biasanya. Matahari tidak terik seperti hari-hari sebelumnya, awan kelabu menutupi langit, membuat suasana lebih teduh dan sejuk. Angin lembut berhembus dari arah barat, membawa aroma tanah yang lembap. “Pas sekali buat bersih-bersih kebun,” gumam Tonakodi sambil melangkah pelan di antara rumput basah. Kebun Akhlis cukup luas, mungkin se kira lapangan bola. Di sana tumbuh berbagai macam tanaman , ada cabai merah yang sedang berbuah, pohon pisang yang daunnya bergoyang pelan tertiup angin, dan beberapa pohon mangga yang buahnya masih kecil-kecil. Di bagian pojok selatan, tampak hamparan ubi jalar merambat di tanah, sementara di dekat pagar tumbuh pohon M aku yang rindang. Setiap akhir pekan, jika tidak ada acara keluarga atau tugas kantor, Akhlis pasti datang ke kebun ini. Baginya, berkebun bukan sekadar ho...

Pitutur Luhur: Tan Ngendhak Gunaning Janma

Gambar
Oleh: Temu Sutrisno /Wakil Sekretaris Paguyuban Kesenian Eko Wandowo Sulawesi Tengah   Tan ngendhak gunaning janma . Secara sederhana, kalimat ini berarti tidak merendahkan kelebihan orang lain. Namun jika kita menelusuri lebih jauh, pitutur ini menyimpan nilai-nilai luhur tentang penghormatan terhadap sesama, kesadaran diri, dan keseimbangan hidup dalam masyarakat. Secara etomologis, tan berarti tidak. Ngendhak berasal dari kata endhak yang berarti menurunkan atau merendahkan, dan gunaning berarti guna, peran, manfaat, atau keutamaan. Sementara janma berarti manusia. Jadi secara harfiah, tan ngendhak gunaning janma bermakna tidak merendahkan, (karena) setiap manusia punya  kelebihan atau peran masing-masing. Makna yang lebih dalam, pitutur ini bukan hanya ajakan agar kita tidak menjelekkan orang lain, tetapi juga peringatan agar kita tidak menutup mata terhadap potensi dan keunggulan sesama. Setiap manusia memiliki peran yang berbeda-beda dalam hidup. Ketika kita merend...

Pitutur Luhur: Kencana Katon Wingka

Gambar
 Oleh: Temu Sutrisno / Wakil Sekretaris Paguyuban Kesenian Eko Wandowo Sulawesi Tengah   Banyak pitutur luhur yang lahir dari pengalaman hidup masyarakat Jawa, diwariskan turun-temurun sebagai panduan etika dan kebijaksanaan. Salah satunya adalah ungkapan Kencana Katon Wingka , yang secara harfiah berarti emas terlihat jelek atau kebaikan tampak buruk. Namun, jika ditelisik maknanya jauh lebih dalam. Pitutur ini menyoroti tabiat manusia yang gemar memuji sesuatu secara berlebihan, hingga menutup mata terhadap kebaikan lain yang ada di sekitarnya. Dalam konteks sosial, perilaku semacam ini melahirkan ketimpangan penilaian dan menciptakan suasana tidak sehat dalam hubungan antar manusia. Jika senang, semua terlihat baik. Sebaliknya jika sudah benci, kebaikan pun terlihat buruk.  Pitutur ini sesungguhnya mengajarkan keseimbangan dalam cara pandang, kesadaran dalam menilai, dan kejujuran dalam menghargai. Ia menjadi peringatan agar manusia berhati-hati terhadap sikap memu...

Tangis Kyai di Hari Santri

Gambar
Oleh: Temu Sutrisno   Udara pagi di halaman Rumah Sakit terasa sejuk, seolah ikut merayakan Hari Santri Nasional. Bendera merah putih berkibar tenang di antara pohon ketapang yang daunnya mulai menguning. Dari kejauhan, suara lantunan salawat terdengar sayup dari masjid dekat rumah sakit. Hari itu, 22 Oktober adalah hari yang istimewa bagi umat pesantren di seluruh negeri. Tonakodi melangkah perlahan menyusuri lorong rumah sakit. Lelaki berusia menjelang lima puluhan tahun itu mengenakan sarung dan peci hitam sederhana, tapi wajahnya tampak bersih dan teduh. Di dadanya, tersimpan kerinduan mendalam kepada sosok guru yang telah membentuk jalan hidupnya, seorang ulama sepuh yang tak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga menanamkan makna hidup dan rasa syukur dalam setiap tarikan napas. Kyai yang begitu dihormati oleh masyarakat dan santri di pesantrennya. Kini tubuhnya yang renta terbaring di ranjang rumah sakit setelah beberapa hari dirawat karena gangguan pernapasan. Namun, pag...

Tetes Air Mata di Ujung Guma

Gambar
Oleh: Temu Sutrisno Kabut lembut bergulung dari lereng pegunungan Kamalisi, menyelimuti dedaunan yang basah oleh embun. Aroma tanah basah berpadu dengan wangi kopi yang baru saja digiling dari dapur bambu. Burung-burung kecil bersahutan di sela-sela ranting, menyambut pagi dengan kicau yang menenangkan. Di kejauhan, sinar mentari malu-malu menembus celah kabut, menyingkap wajah lembah Palu yang hijau dan damai. Tonakodi membuka matanya perlahan. Udara dingin menelusup dari sela dinding papan rumah beratap rumbia, membuat ujung kakinya menggigil. Ia menarik napas panjang, mengucap tahlil dan tahmid dalam hati, tanda syukur bahwa Tuhan masih memberinya kesempatan menapaki hari baru di bumi yang ia cintai. Jam tua di dinding menunjukkan waktu menjelang subuh. Ia bangkit, menyampirkan sarung di pundak, lalu melangkah ke pancuran di samping rumah. Air pancuran dari mata air gunung jatuh deras ke batu, jernih dan dingin, menyentuh kulitnya seperti ujung pisau. Seketika kantuknya lenyap. “Sub...

Pitutur Luhur: Janma Tan Kena Ingina

Gambar
 Oleh: Temu Sutrisno / Wakil Sekretaris Paguyuban Kesenian Eko Wandowo Sulawesi Tengah   Giri lungsi janma tan kena ingina   – Jangan sekali-kali menghina manusia, karena setiap manusia memiliki kelebihan masing-masing . Sebuah pesan sederhana, namun menyimpan makna mendalam tentang kebijaksanaan, kerendahan hati, dan penghargaan terhadap sesama.  Secara filosofis, pepatah ini mengajarkan kita untuk sadar bahwa manusia memiliki keterbatasan dalam menilai. Apa yang kita lihat hanyalah lapisan luar, sementara hakikat seseorang sering tersembunyi di balik sikap dan perbuatannya. Dalam filsafat Jawa, manusia ibarat samodra luas, dalam, dan penuh misteri. Kita tidak pernah tahu apa yang ada di dasar lautan hati dan pikiran orang lain. Menghina orang berarti menempatkan diri kita seolah paling tahu, paling benar, dan paling tinggi. Padahal, bisa jadi orang yang kita remehkan justru memiliki ilmu, pengalaman, atau kebijaksanaan yang jauh melampaui kita. Pitutur ini...