Kaktus dan Karui Terakhir
Oleh: Temu Sutrisno
Minggu pagi itu, Tonakodi berangkat jalan-jalan ke kebun milik sahabatnya, Akhlis, di Layana, daerah sebelah utara Lembah Palu. Udara terasa berbeda dari biasanya. Matahari tidak terik seperti hari-hari sebelumnya, awan kelabu menutupi langit, membuat suasana lebih teduh dan sejuk. Angin lembut berhembus dari arah barat, membawa aroma tanah yang lembap.
“Pas sekali buat bersih-bersih kebun,” gumam
Tonakodi sambil melangkah pelan di antara rumput basah.
Kebun Akhlis cukup luas, mungkin sekira lapangan bola. Di sana
tumbuh berbagai macam tanaman,
ada cabai merah yang sedang berbuah, pohon pisang yang daunnya bergoyang
pelan tertiup angin, dan beberapa pohon mangga yang buahnya masih kecil-kecil.
Di bagian pojok selatan, tampak hamparan ubi jalar merambat di tanah, sementara
di dekat pagar tumbuh pohon Maku
yang rindang.
Setiap akhir pekan, jika tidak ada acara
keluarga atau tugas kantor, Akhlis pasti datang ke kebun ini. Baginya, berkebun
bukan sekadar hobi, tapi juga cara untuk menenangkan pikiran.
Tonakodi berjalan terus hingga sampai ke batas
timur kebun. Di sana matanya terpaku pada sesuatu yang berbeda, sekelompok kaktus
berduri dan tiga batang pohon karui
yang menjulang tidak terlalu tinggi, tapi tampak kokoh.
Pohon karui itu aneh tapi menarik. Daunnya
kecil-kecil, hampir tak terlihat dari jauh, dan batangnya dipenuhi duri kecil tajam. Sekilas mirip
pohon klampis yang sering tumbuh di tanah kering.
Tonakodi berdiri cukup lama di situ,
memandangi dua jenis tanaman itu. Entah kenapa, ada semacam perasaan haru yang
menyelinap di dadanya.
Tiba-tiba suara dari belakang memecah
lamunannya. “Nakuya le, Tonakodi!”
panggil Akhlis dengan logat Kailinya yang khas.
Tonakodi menoleh. “Oh, Tuwei! Aku lagi lihat
ini, kaktus dan karui di pojok kebunmu.”
Akhlis mendekat sambil mengelap keringat di
dahi. “Kenapa? Ada yang menarik dari dua tanaman itu?”
Tonakodi tersenyum tipis. “Entah kenapa,
rasanya seolah mereka berbisik kepadaku: tolong
jangan tebang kami. Mungkin mereka adalah pohon terakhir di daerah ini.”
Akhlis mengangguk pelan.
“Tuwei... bisa jadi. Coba lihat sekitar kita. Masih ada daerah lain
yang punya kaktus dan karui alami seperti ini? Sepertinya sudah jarang sekali.”
Tonakodi menatap jauh ke arah lembah. “Dulu kampus di sebelah sana terkenal dengan sebutan ‘kampus kaktus’
karena banyak tanaman kaktus tumbuh di sekitar area itu. Tapi sekarang?” Ia
mengangkat bahunya. “Sudah tidak ada lagi.”
Akhlis tertawa kecil. “Iya, seperti ‘kampus
bumi nyiur’ itu, sekarang juga sudah habis kelapanya.”
Tonakodi menimpali, “Aku juga tinggal di
daerah yang dulu dikenal sebagai Bumi Sagu.
Tapi sekarang? Tak satu pun pohon sagu tersisa. Semua tergusur oleh perumahan
dan jalan baru. Rasanya sedih melihat pohon-pohon khas yang dulu jadi penanda
daerah, kini hilang begitu saja.”
Mereka berdua terdiam sesaat, memandangi kebun
yang hijau tapi terasa kehilangan sesuatu.
Lalu Akhlis bertanya, “Jadi bagaimana,
Tonakodi? Menurut komiu, kaktus dan karui ini kita biarkan saja atau dipindahkan?”
Tonakodi menatap Akhlis, lalu kaktus dan karui
di depannya. “Kalau pendapatku, biarkan mereka tetap di sini. Bersihkan saja
rumput liar di bawahnya. Siapa tahu nanti anak-anak kita bisa belajar dari
tanaman ini, bahwa di daerah kita dulu pernah ada kaktus dan karui khas gurun
seperti ini. Ini bisa jadi pelajaran, bahkan mungkin penanda sejarah.”
Akhlis manggut-manggut, matanya menatap batang
karui yang berduri tapi tampak kuat. “Benar juga. Di Sulawesi Tengah ini,
setahuku jarang sekali ada tanaman seperti itu.”
Tonakodi menambahkan, “Sebenarnya bukan cuma
kaktus dan karui. Banyak pohon di lembah ini menjadi nama daerah, tapi sekarang sudah tak dikenal
lagi. Kita bahkan tak tahu seperti apa rupa pohon Kaili, Kalora, atau Sidondo.
Nama-nama itu sekarang hanya tinggal nama tempat, padahal dulu mereka hidup di
sekitar kita.”
Ia menarik napas panjang. “Anak-anak sekarang
mungkin juga tak tahu apa itu Siranindi atau Roviga. Kalau kaktus dan karui ini
juga hilang, artinya kita mematikan satu bagian dari identitas dan sejarah
daerah kita sendiri.”
Akhlis termenung lama. Ia kemudian berkata
pelan, “Iya le Tonakodi, betul. Kadang kita sibuk menanam tanaman baru dari
luar daerah, tapi lupa menjaga yang asli dari tanah kita sendiri.”
Tonakodi tersenyum. “Itulah pentingnya kita
menjaga yang sedikit ini. Mungkin tidak banyak yang peduli, tapi paling tidak,
kita berdua tahu maknanya.”
Akhlis lalu mengambil cangkul dan mulai
menyiangi rumput di sekitar batang karui. Ia menyingkirkan daun-daun kering
yang menumpuk di bawah kaktus. Sementara Tonakodi membantu, mencabut rumput kecil satu per satu dengan sube di tangannya.
Sinar matahari mulai menerobos awan tipis di
langit. Udara hangat kembali menyelimuti kebun itu. Daun-daun basah mulai
mengering, dan aroma tanah segar tercium semakin kuat.
“Lihat,” kata Akhlis sambil tersenyum, “kebun
ini jadi lebih lapang. Kaktus dan karui terlihat jelas sekarang.”
Tonakodi mengusap tangannya yang kotor oleh
tanah. “Iya, seolah mereka bisa bernapas lega.”
Mereka berdua berdiri sejenak di depan rumpun
kaktus itu. Duri-duri kecilnya berkilat terkena cahaya matahari, sementara
daun-daun karui bergoyang halus tertiup angin.
“Kadang,” kata Tonakodi pelan, “yang tampak
sederhana justru menyimpan makna paling dalam. Kaktus dan karui mungkin
kelihatan biasa saja, tapi mereka punya filosofi besar: kuat di tengah panas,
bertahan di tanah yang keras, hidup walau tak banyak air.”
Akhlis tersenyum mendengar kata-kata
sahabatnya. “Iya, seperti hidup manusia juga. Harus kuat, meski lingkungan
berubah dan kadang tak mendukung.”
Tonakodi menatap karui yang berduri itu. “Dan
tetap rendah hati, meski bisa bertahan di mana pun. Tidak semua yang tangguh
harus keras, kuat tidak harus kasar. Kadang, kekuatan justru datang dari kesederhanaan dan kelembutan.”
Matahari kini sepenuhnya keluar. Langit biru
terbentang lagi di atas kepala mereka.
Akhlis menatap Tonakodi dan berkata, “Baiklah,
le. Kita biarkan kaktus dan karui di sini. Biarlah mereka tumbuh apa adanya.
Mungkin suatu hari nanti, orang akan datang ke kebun ini dan berkata: ‘di sinilah tumbuh pohon terakhir yang menjadi
saksi sejarah Lembah Palu.’”
Tonakodi tersenyum puas. “Itu sudah cukup
bagiku, Tuwei. Yang penting kita menjaga apa
yang tersisa.”
Mereka kembali bekerja, menata ranting dan
membersihkan sekitar pohon. Suara cangkul beradu dengan tanah, diselingi kicau
burung dari kejauhan.
Hari itu, di bawah langit Palu yang cerah
kembali, dua sahabat itu tak hanya membersihkan kebun. Mereka sedang menjaga
kenangan, merawat identitas, dan menanam kesadaran - bahwa menjaga alam, sekecil apa pun
bentuknya, berarti juga menjaga diri sendiri dan sejarah tempat kita berpijak.***
Tana Kaili, 26 Oktober 2025

Komentar
Posting Komentar