Pitutur Luhur: Janma Tan Kena Ingina

 Oleh: Temu Sutrisno/Wakil Sekretaris Paguyuban Kesenian Eko Wandowo Sulawesi Tengah

 

Giri lungsi janma tan kena ingina – Jangan sekali-kali menghina manusia, karena setiap manusia memiliki kelebihan masing-masing. Sebuah pesan sederhana, namun menyimpan makna mendalam tentang kebijaksanaan, kerendahan hati, dan penghargaan terhadap sesama. 

Secara filosofis, pepatah ini mengajarkan kita untuk sadar bahwa manusia memiliki keterbatasan dalam menilai. Apa yang kita lihat hanyalah lapisan luar, sementara hakikat seseorang sering tersembunyi di balik sikap dan perbuatannya. Dalam filsafat Jawa, manusia ibarat samodra luas, dalam, dan penuh misteri. Kita tidak pernah tahu apa yang ada di dasar lautan hati dan pikiran orang lain.

Menghina orang berarti menempatkan diri kita seolah paling tahu, paling benar, dan paling tinggi. Padahal, bisa jadi orang yang kita remehkan justru memiliki ilmu, pengalaman, atau kebijaksanaan yang jauh melampaui kita. Pitutur ini mengajarkan introspeksisebelum menilai orang lain, pandanglah diri sendiri terlebih dahulu.

Filsafat janma tan kena ingina juga berkaitan dengan konsep ajining diri ana ing lathi, ajining raga ana ing busana - harga diri seseorang terletak pada ucapan dan perilakunya, bukan pada kemewahan tampilan luar. Maka, menghina orang lain justru merendahkan martabat diri sendiri.

Dari sisi sosiologis, pitutur ini menjadi fondasi penting dalam menjaga harmoni sosial. Dalam masyarakat Jawa yang dikenal menjunjung tinggi tata krama dan unggah-ungguh, menghina orang lain dianggap perbuatan yang melanggar etika sosial. Sikap merendahkan akan menciptakan jarak, menimbulkan luka batin, bahkan bisa menyalakan api permusuhan.

Pitutur ini seakan menegaskan bahwa kehidupan bersama memerlukan rasa saling menghormati, meski berbeda pandangan, status, atau penampilan. Masyarakat Jawa percaya bahwa setiap manusia memiliki kadang sinarawedi - hubungan batin yang menjadikan kita sesama makhluk ciptaan Tuhan. Maka menghina orang lain dapat diartikan menodai kemanusiaan.

Dalam konteks zaman sekarang, pesan ini semakin relevan. Di era media sosial, banyak orang dengan mudah mencaci, menghina, atau merendahkan tanpa berpikir panjang. “Janma tan kena ingina” menjadi pengingat agar kita tidak terjebak dalam budaya saling menjatuhkan. Setiap orang punya latar cerita, pergulatan, dan potensi yang tidak selalu tampak di permukaan.

Di media sosial, banyak orang dengan mudah mengomentari, menertawakan, atau merendahkan orang lain tanpa mengenal siapa mereka sebenarnya. Body shamingcyberbullying, dan caci maki di ruang maya adalah bentuk modern dari ngina janma. Pitutur luhur ini menjadi pengingat agar kita menahan diri, tidak ikut-ikutan menghina, karena satu kata bisa melukai lebih dalam dari sejuta senjata.

Selain itu, dalam konteks sosial yang majemuk seperti Indonesia, sikap tidak menghina berarti juga menjaga toleransi dan menghormati perbedaan. Apa pun agama, suku, atau keyakinan seseorang, semuanya merupakan ciptaan Tuhan. Maka menghormati sesama berarti juga merawat keberagaman dan keutuhan bangsa.

Pitutur ini mengandung kesadaran teologis bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki derajat dan kehormatan. Menghina manusia berarti tidak menghargai karya Sang Pencipta. Dalam budaya Jawa maupun ajaran agama apa pun, manusia diciptakan dengan kehendak dan takdir masing-masing. Maka siapa pun tak berhak merendahkan yang lain.

Seperti ajaran Islam, Allah berfirman dalam Al Qur'an surah Al-Hujurat ayat 11, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, karena boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain, karena boleh jadi perempuan (yang diperolok-olok) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok).”

Dari sisi spiritual, janma tan kena ingina berakar pada kesadaran bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan. Menghina manusia berarti merendahkan Sang Pencipta. Dalam pandangan budaya Jawa, setiap makhluk memiliki kautaman - keutamaan dan perannya sendiri di dunia. Tidak ada yang diciptakan tanpa tujuan. Maka menghina sama saja dengan tidak menghargai kehendak Ilahi.

Orang yang memahami nilai spiritual ini akan bersikap rendah hati, tidak sombong, dan selalu menghormati sesama. Ia menyadari bahwa di hadapan Tuhan, semua manusia sama; yang membedakan hanyalah ketakwaan, amal, dan ketulusan hatinya.

Pepatah ini juga mengajarkan bahwa Tuhan sering “menyembunyikan” keistimewaan seseorang di balik kesederhanaan. Ada orang yang tampak biasa saja, tapi doanya mustajab. Ada orang berpenampilan sederhana, justru menjadi sumber kebaikan bagi banyak orang. Maka, jangan pernah menilai dari kulit luar, sebab Tuhan bisa meninggikan siapa pun yang dikehendaki-Nya.

Sebagaimana disebut dalam ajaran Jawa: Sapa nandur bakal ngundhuh, sapa ngina bakal kinasih lara, siapa menanam akan menuai, siapa menghina akan menuai derita.

Artinya, setiap perbuatan buruk akan kembali kepada pelakunya. Menghina orang lain tidak akan membuat kita lebih tinggi, justru menurunkan martabat diri sendiri. Orang yang benar-benar berilmu biasanya tidak suka merendahkan orang lain, karena ia paham bahwa semua manusia memiliki peran dan jalan hidupnya sendiri. Dalam ajaran spiritual Jawa, orang yang suka menghina justru sedang memperlihatkan kekosongan batinnya, sementara yang menghormati sesama menunjukkan kejernihan hatinya.

Pitutur janma tan kena ingina tetap hidup dan relevan dalam masyarakat modern. Dunia yang serba cepat dan penuh persaingan sering membuat orang mudah menilai berdasarkan tampilan: siapa yang sukses, siapa yang gagal, siapa yang tampak hebat, siapa yang sederhana. Namun pepatah ini mengajak kita berhenti sejenak dan melihat dengan hati.

Betapa banyak orang bijak yang tampil sederhana, tapi memiliki pengaruh besar. Betapa banyak pula orang yang tampak mewah, tapi jiwanya rapuh. Maka jangan terburu-buru menghina, apalagi meremehkan. Sebab yang kelihatan kecil belum tentu tak berarti, yang tampak besar belum tentu berisi.

Pitutur luhur ini bukan sekadar larangan moral, tapi ajaran hidup yang menuntun manusia agar lebih bijak, lembut, dan peka terhadap sesama. Janma tan kena ingina adalah panggilan untuk menghargai kemanusiaan - bahwa di balik setiap wajah, ada cerita yang tidak kita tahu; di balik setiap penampilan, ada potensi yang bisa membuat kita kagum suatu hari nanti.

Peringatan agar tidak menghina manusia, setali dengan pepatah Jawa lainnya berkata, aja dumeh-jangan sok. Jangan sombong karena kecantikan, ketampanan, kekayaan, kepintaran, atau kekuasaan. Harus disadari semua bisa lenyap, tetapi kebaikan hati dan penghormatan terhadap sesama akan selalu dikenang. Wallahualam bishawab.***

 

Tana Kaili, 19 Oktober 2025

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dewi Themis Menangis

Kedudukan DPRD Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014

Dursala; Cinta di Antara Angkara