Pitutur Luhur: Tan Ngendhak Gunaning Janma
Oleh: Temu Sutrisno/Wakil Sekretaris
Paguyuban Kesenian Eko Wandowo Sulawesi Tengah
Tan ngendhak gunaning janma. Secara sederhana, kalimat ini berarti tidak merendahkan kelebihan orang lain. Namun jika kita menelusuri lebih jauh, pitutur ini menyimpan nilai-nilai luhur tentang penghormatan terhadap sesama, kesadaran diri, dan keseimbangan hidup dalam masyarakat.
Secara
etomologis, tan berarti tidak. Ngendhak berasal dari kata endhak yang berarti
menurunkan atau merendahkan, dan gunaning berarti guna, peran, manfaat, atau
keutamaan. Sementara janma berarti manusia. Jadi secara harfiah, tan ngendhak
gunaning janma bermakna tidak merendahkan, (karena) setiap manusia punya kelebihan atau peran masing-masing.
Makna yang lebih dalam, pitutur ini bukan hanya ajakan agar kita tidak
menjelekkan orang lain, tetapi juga peringatan agar kita tidak menutup mata
terhadap potensi dan keunggulan sesama. Setiap manusia memiliki peran yang berbeda-beda dalam hidup. Ketika kita merendahkan orang lain, sesungguhnya kita sedang
merusak harmoni kehidupan yang telah diatur oleh alam dan Gusti Allah.
Dunia
pewayangan, memberi pengajaran agar kita menghormati sesama, seperti lakon
Sukrasana, yang berwujud raksasa cebol atau berwajah buruk rupa. Meski
demikian, Sukrasana berhati baik dan memiliki kesaktian. Sukrasana sering
digambarkan memiliki cara bicara yang sederhana, polos, dan kurang cerdas.
Walaupun
memiliki penampilan yang buruk, Sukrasana adalah sosok sakti mandraguna dan selalu menyayangi kakaknya, Sumantri. Kisahnya sering digunakan sebagai pengajaran moral
tentang kesombongan dan pentingnya menghargai orang-orang terdekat, tidak
peduli bagaimana penampilan mereka.
Dalam salah satu lakon wayang, Sumantri yang ambisius tidak berhasil menyelesaikan tugas besar dari Prabu Arjuna Sasrabahu, yaitu memindahkan taman kerajaan. Sukrasana akhirnya membantu dengan kekuatannya dan berhasil menyelesaikan tugas kakaknya dengan gemilang. Namun, karena Sumantri malu dan gengsi dengan rupa adiknya, ia kemudian membunuh Sukrasana secara tidak sengaja.
Kesadaran Diri
Dalam
pandangan filosofis Jawa, kehidupan diibaratkan seperti untaian gamelan. Setiap
bilah memiliki nada sendiri-sendiri, dan jika semuanya berbunyi sesuai
perannya, tercipta harmoni.
Pitutur tan
ngendhak gunaning janma mengajarkan agar kita sadar bahwa tidak ada manusia
yang tidak berguna. Seorang petani, guru, pedagang, seniman, atau pejabat,
semuanya memiliki kelebihan dan peran dalam harmoni kehidupan bersama.
Menghormati orang lain berarti juga mengakui keberadaan dan fungsi mereka dalam kehidupan kita. Sebaliknya, orang yang suka merendahkan sesama biasanya lupa diri; ia menilai hidup hanya dari satu ukuran: status, kekayaan, kerupawanan, atau jabatan. Padahal, filosofi Jawa menempatkan manusia dalam keseimbangan antara rasa, cipta, lan karsa. Nilai seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh lahiriah, melainkan niat dan manfaat yang ia berikan.
Fondasi Keharmonisan Sosial
Secara
sosiologis, masyarakat Jawa dibangun di atas prinsip tepa slira -tenggang rasa dan ajining dhiri saka lati, ajining raga saka busana.
Pitutur tan
ngendhak gunaning janma menjadi fondasi penting dalam membentuk sikap sosial
yang beradab, yakni menghargai orang lain tanpa memandang strata.
Ketika
masyarakat mampu menjaga sikap saling menghormati, tidak saling merendahkan,
maka kehidupan sosial menjadi seimbang dan harmonis. Tidak ada iri hati yang
berlebihan, tidak ada permusuhan karena perbedaan.
Dalam
konteks kekinian, nilai ini sangat relevan di tengah derasnya arus media sosial
yang sering menjadi ruang untuk saling menjatuhkan. Banyak orang dengan
mudahnya menghakimi, mencemooh, atau menertawakan kekurangan orang lain.
Padahal, budaya Jawa mengajarkan ngajeni lan ngurmati sapadha-padha,
menghormati dan menghargai sesama manusia apa adanya.
Dengan memegang nilai tan ngendhak gunaning janma, kita belajar menahan diri dari perilaku meremehkan. Kita diajak untuk memandang manusia lain sebagai sesama ciptaan Tuhan yang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Kesadaran Kemanusiaan dan Ketuhanan
Dalam dimensi
spiritual, tan ngendhak gunaning janma mengandung kesadaran bahwa setiap
manusia adalah titipan Tuhan. Merendahkan orang lain berarti juga tidak
menghargai karya Sang Maha Pencipta. Sesungguhnya tidak ada yang sia-sia dalam ciptaan Gusti Allah, Tuhan yang Maha Esa.
Ajaran ini
selaras dengan pandangan spiritual Jawa tentang manunggaling kawula Gusti,
kesatuan antara manusia dan Tuhan dalam kesadaran batin. Ketika kita menyadari
bahwa setiap orang memiliki percikan Ilahi di dalam dirinya, maka kita tidak
akan berani merendahkan siapa pun. Jangan lihat hanya lihat orangnya, lihat yang menciptakannya.
Tindakan menghormati sesama menjadi wujud ibadah. Sebab dalam pandangan spiritual Jawa, menghargai manusia sama dengan menghargai kehendak Tuhan yang telah menciptakan keragaman hidup ini.
Keselarasan Hidup
Tujuan akhir
dari pitutur ini adalah keselarasan dan keharmonisan kehidupan. Orang Jawa
percaya, harmoni bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba, melainkan hasil dari
kesadaran bersama untuk saling menghormati.
Tan ngendhak
gunaning janma mengajarkan bahwa kehormatan sejati tidak lahir dari usaha
menjatuhkan orang lain, melainkan dari kemampuan menjaga keluhuran budi. Orang
yang bisa menghpargai sesama akan dihormati pula oleh lingkungannya. Sebaliknya,
orang yang suka meremehkan akan dijauhi, karena ia telah melanggar tata nilai
kemanusiaan.
Di tengah kehidupan modern yang sering menonjolkan kompetisi dan individualisme, pitutur ini menjadi pengingat agar kita tidak kehilangan rasa kemanusiaan.
Pitutur tan
ngendhak gunaning janma adalah ajaran universal yang melampaui zaman. Pitutur
ini bukan hanya pesan moral, tetapi juga panduan spiritual dan sosial agar
manusia hidup dengan hati yang halus, pikiran jernih, dan sikap yang rendah
hati.
Ketika kita
mampu menghargai sesama tanpa membeda-bedakan, sesungguhnya kita sedang menjaga
keseimbangan semesta. Dari rumah tangga, lingkungan kerja, hingga kehidupan
bangsa, semuanya akan damai jika setiap orang menahan diri untuk tidak
merendahkan orang lain.
Sebagaimana
pepatah Jawa lainnya mengatakan, sapa ngajeni bakal kinajenan, sapa ngurmati
bakal kinurmatan. Barang siapa menghargai, akan dihargai; siapa menghormati,
akan dihormati. Wallahualam bishawab.***
Tana Kaili,
23 Oktober 2025

Komentar
Posting Komentar