Tetes Air Mata di Ujung Guma
Oleh: Temu Sutrisno
Kabut lembut bergulung dari lereng pegunungan
Kamalisi, menyelimuti dedaunan yang basah oleh embun. Aroma tanah basah berpadu
dengan wangi kopi yang baru saja digiling dari dapur bambu. Burung-burung kecil
bersahutan di sela-sela ranting, menyambut pagi dengan kicau yang menenangkan.
Di kejauhan, sinar mentari malu-malu menembus celah kabut, menyingkap wajah
lembah Palu yang hijau dan damai.
Tonakodi membuka matanya perlahan. Udara dingin
menelusup dari sela dinding papan rumah beratap rumbia, membuat ujung kakinya
menggigil. Ia menarik napas panjang, mengucap tahlil dan tahmid dalam
hati, tanda syukur bahwa Tuhan masih memberinya kesempatan menapaki hari baru di
bumi yang ia cintai.
Jam tua di dinding menunjukkan waktu menjelang subuh.
Ia bangkit, menyampirkan sarung di pundak, lalu melangkah ke pancuran di
samping rumah. Air pancuran dari
mata air gunung jatuh deras ke batu, jernih dan dingin, menyentuh kulitnya
seperti ujung pisau. Seketika kantuknya lenyap. “Subhanallah,” gumamnya lirih,
merasakan kesejukan yang menembus hingga relung jiwa. Sisa-sisa air wudu
mengalir di pipinya, seolah membasuh segala lelah yang menumpuk dalam perjalanan
panjangnya mendaki bukit ke rumah Mangge
Udi.
Di rumah panggung yang sederhana, Mangge Udi, tuan rumah yang juga sahabat lamanya, telah menunggu. Mereka salat berjamaah, khusyuk dalam
hening yang hanya ditemani kokok ayam, cericitan burung, dan desir angin dari jendela bambu. Usai
wirid, keduanya duduk di teras kayu, menatap lembah yang mulai diterangi sinar
jingga.
“Lihatlah, Tonakodi,” ujar Mangge sambil menatap ke
kejauhan. “Gunung Kamalisi itu seolah hidup. Setiap pagi, kabut turun seperti
selimut, lalu hilang pelan-pelan, menyisakan hijaunya daun. Alam ini seperti
berdoa.”
Tonakodi mengangguk. “Iya, Mangge. Alam selalu berzikir
dengan caranya. Tapi manusialah yang sering lupa bersyukur.”
Tak lama, Tinai Arif istri Mangge Udi datang
membawa nampan rotan berisi kopi hitam, pisang rebus, dan kasubi atau singkong
yang masih mengepulkan uap. Aroma kopi tumbuk tradisional menyeruak, berpadu
dengan semerbak kayu bakar dari dapur.
“Silakan diminum dulu, Tonakodi,” kata Tinai Arif lembut sambil tersenyum.
Tonakodi menyeruput pelan. Pahitnya kopi itu seolah
menghidupkan seluruh sarafnya. “Alhamdulillah,” katanya, “ini bukan sekadar
kopi, ini cinta tanah yang tumbuh dari kebun sendiri.”
Mereka bertiga larut dalam obrolan ringan, ditemani
suara gemericik air dari pancuran dan kokok ayam jantan Mangge Udi yang mulai turun dari kandang, mengarungi
kehidupan. Saat kabut mulai menipis, Mangge masuk ke rumah lalu
keluar membawa dua bilah parang dan satu bilah panjang Guma, senjata tradisional khas suku Kaili.
Tonakodi menerima Guma itu dari Mangge. Besinya
berurat indah, berkilau samar tertimpa cahaya pagi. Ukiran pada gagangnya
menceritakan kisah lama: tentang keberanian, kehormatan, dan pengorbanan para
leluhur yang menjaga tanah ini dari penjajahan.
Tanpa sadar, mata Tonakodi berkaca-kaca. Air matanya
menetes, jatuh di ujung bilah Guma yang dingin. Tangannya bergetar. Ia seolah
melihat bayangan masa lalu, para
pejuang yang berlarian membawa
Guma di tangan, menerjang musuh demi kemerdekaan.
“Kenapa Tonakodi?” tanya Mangge dengan lembut.
Tonakodi terdiam sejenak. “Mangge,” ujarnya pelan,
“pagi ini Tuhan menegur saya dengan cara yang indah. Melalui kopi ini, melalui
kasubi, melalui Guma ini, saya kembali diingatkan betapa kaya dan mulianya
negeri ini.”
Ia mengangkat Guma, memandangi bilahnya yang berkilau.
“Lihatlah, Mangge. Di ujung senjata ini, ada sejarah panjang bangsa. Ada air
mata, darah, dan doa yang tertanam di tanah ini. Tapi lihatlah ke bawah sana, di lembah yang ramai itu, apa yang masih tersisa dari
kebanggaan kita?”
Mangge memandang ke lembah Palu yang kini mulai
dipenuhi rumah-rumah modern, toko berneon, dan deretan kendaraan yang hilir
mudik.
“Kendaraan itu,” lanjut Tonakodi, “semuanya buatan
luar negeri. Bahkan warung-warung kita yang dulu bangga memakai nama lokal,
kini memajang tulisan asing. Kopi-kopi kita diberi nama Italia, Amerika, atau
Arab. Seolah nama dari rahim negeri sendiri sudah tidak pantas untuk dipakai.”
Mangge menarik napas panjang. “Iya, sekarang semuanya
serba asing. Bahkan anak-anak muda sudah lebih mengenal latte daripada kopi
tumbuk.”
Tonakodi tersenyum pahit. “Padahal kopi seperti buatan
Tinai Arif ini,
racikan yang lahir dari tangan sendiri, jauh lebih jujur. Tak dicampur, tak
dikemas dengan kemewahan palsu. Cuma kesederhanaan dan doa yang mengiringinya.”
Ia lalu memandangi pisang dan kasubi di atas nampan.
“Mangge, dulu kita dijajah karena emas dan rempah. Sekarang kita dijajah karena
pikiran dan gaya hidup. Kita membiarkan lidah kita lupa rasa asli negeri
sendiri. Lihatlah, pisang dan ubi yang dulu jadi kebanggaan kini tergeser roti
keju dan kue mentega. Anak-anak muda lebih suka pizza daripada roti tunu atau tetu, lebih kenal steak daripada sate dari tanah mereka
sendiri.”
Mangge mengangguk lirih. “Mungkin karena kita kalah bangga,
Tonakodi. Kalah cinta pada milik sendiri.”
“Kita bahkan menganggap sawit lebih mulia dari kelapa,
padahal kelapa memberi kehidupan dari akar sampai ujung daun,” sambung
Tonakodi.
“Kita memaksa
menanam kubis dan wortel di pegunungan membabat hutan yang tak seharusnya, padahal alam sudah memberi kelor,
singkong, dan bayam yang tumbuh tanpa banyak minta. Kita menghina makanan
sendiri, dan memuja makanan dari negeri yang tak mengenal rasa tanah ini. Penjajahan kuliner dan budaya negeri.”
Angin gunung berhembus lembut. Suara daun bambu
bergesekan, seperti turut meratapi kata-kata Tonakodi. Di langit, matahari
sudah tinggi, membelah kabut dan menyorot puncak Kamalisi yang gagah.
“Dulu,” lanjut Tonakodi, “leluhur kita bertempur
dengan Guma di tangan, melindungi tanah ini tanpa pamrih. Tapi sekarang, kita
melawan siapa? Musuh kita tak lagi datang dengan senjata, tapi dengan iklan,
gaya hidup, dan kemalasan berpikir.”
Ia menatap Guma itu sekali lagi. “Saya takut, Mangge.
Suatu hari nanti, anak cucu kita tidak mengenal lagi senjata ini. Mereka tak
tahu bahwa di ujung Guma ada harga diri. Bahwa dari Guma inilah darah dan air
mata para pejuang mengalir untuk menegakkan Merah Putih.”
Mangge menunduk. “Kita tak boleh membiarkan itu
terjadi, Tonakodi.”
“Benar,” jawabnya. “Kita harus menjaga warisan ini.
Tak harus dengan perang, tapi dengan mengajarkan nilai. Dengan menanamkan cinta
pada tanah, pada bahasa, pada makanan, pada budaya sendiri. Mungkin cuma
secangkir kopi dan sepotong kasubi, tapi di situ ada roh bangsa.”
Tinai Arif keluar
lagi membawa air hangat. Ia mendengar percakapan mereka, lalu berkata pelan,
“Anak saya sekarang sekolah di kota. Kadang saya takut, nanti dia lupa cara
menanam kopi atau mengupas kasubi. Tapi saya selalu kirimkan bubuk kopi buatan
sendiri padanya. Biar dia tahu, ini aroma rumah.”
Tonakodi tersenyum haru. “Itulah perjuangan yang
sesungguhnya, Tinai Arif.
Menjaga aroma rumah. Karena jika rumah hilang dari ingatan, bangsa pun
kehilangan jiwa.”
Hening sejenak menyelimuti mereka. Hanya suara
gemericik air pancuran yang terdengar.
Tonakodi menatap jauh ke lembah, di mana bendera merah
putih berkibar di halaman sekolah dasar yang atapnya masih dari seng karatan.
Hatinya bergetar. Dalam keheningan itu, ia berjanji pada dirinya sendiri, bahwa perjuangan hari ini bukan lagi tentang melawan
penjajah bersenjata, melainkan melawan lupa.
Ia mengangkat Guma, menatap pantulan cahaya matahari
di bilahnya. “Mangge,” katanya dengan suara bergetar, “selama Guma ini masih
ada, selama kopi ini masih diseduh, selama kasubi masih ditanam, Indonesia tak
akan pernah hilang. Apalagi yang
dapat kita banggakan hari ini, kecuali budaya kita sendiri?”
Air matanya menetes lagi, membasahi ujung Guma. Ia
menyelipkannya kembali ke dalam sarung. Kabut pagi telah sirna, berganti langit
biru cerah. Di bawah sana, sawah-sawah berkilau seperti cermin memantulkan
cahaya matahari.
Mangge menepuk bahu sahabatnya. “Mari, Tonakodi. Kita
ke kebun. Alam menunggu untuk disyukuri.”
Tonakodi berdiri. Ia melangkah mantap menuruni jalan
tanah, membawa parang di pinggang dan semangat yang membara di dada. Setiap
langkahnya seperti menghidupkan kembali semangat leluhur. Di setiap embun yang
jatuh, di setiap daun yang bergoyang, ia mendengar bisikan yang sama: “Cintailah negerimu. Jaga budayamu. Karena dari
sanalah jati dirimu tumbuh.”
Di ujung jalan, di bawah sinar matahari yang mulai
hangat, Tonakodi tersenyum. Ia tahu, perjuangan belum selesai. Tapi selama
masih ada cinta kopi cita rasa Nusantara olahan ina-ina, Kasubi, Tetu, Guma dan rindu pada rumah, Indonesia akan selalu hidup di dada
anak-anaknya.***
Tana Kaili,
20 Oktober 2025

Komentar
Posting Komentar