Tangis Kyai di Hari Santri

Oleh: Temu Sutrisno

 


Udara pagi di halaman Rumah Sakit terasa sejuk, seolah ikut merayakan Hari Santri Nasional. Bendera merah putih berkibar tenang di antara pohon ketapang yang daunnya mulai menguning. Dari kejauhan, suara lantunan salawat terdengar sayup dari masjid dekat rumah sakit. Hari itu, 22 Oktober adalah hari yang istimewa bagi umat pesantren di seluruh negeri.

Tonakodi melangkah perlahan menyusuri lorong rumah sakit. Lelaki berusia menjelang lima puluhan tahun itu mengenakan sarung dan peci hitam sederhana, tapi wajahnya tampak bersih dan teduh. Di dadanya, tersimpan kerinduan mendalam kepada sosok guru yang telah membentuk jalan hidupnya, seorang ulama sepuh yang tak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga menanamkan makna hidup dan rasa syukur dalam setiap tarikan napas.

Kyai yang begitu dihormati oleh masyarakat dan santri di pesantrennya. Kini tubuhnya yang renta terbaring di ranjang rumah sakit setelah beberapa hari dirawat karena gangguan pernapasan. Namun, pagi itu, kabarnya beliau sudah diizinkan pulang.

Tonakodi mengetuk pintu ruang perawatan pelan. Dari dalam terdengar suara lembut mempersilakan masuk. Saat pintu terbuka, matanya langsung tertuju pada sosok yang duduk bersandar di ranjang, dengan wajah yang tampak pucat namun bercahaya. Di sekelilingnya ada putri sulungnya, dua cucu kecil, dan menantu yang setia mendampingi.

“Assalamualaikum, Yai…” suara Tonakodi bergetar menahan haru.

“Waalaikumussalam, Nak . Masya Allah, kau datang di Hari Santri. Hatiku senang sekali,” jawab Kyai dengan senyum tipis yang membuat ruangan itu serasa terang.

Tonakodi mencium tangan gurunya dengan penuh hormat, lalu duduk di kursi di samping ranjang. Ada keheningan hangat yang menyelimuti. Di luar, suara azan zuhur berkumandang, mengingatkan semua yang hadir bahwa waktu berjalan, tapi hikmah kehidupan selalu abadi.

Setelah berbincang sebentar, Kyai memanggil petugas kesehatan yang sedang berjaga.

“Anakku, tolong mintakan rincian biaya perawatan saya selama dirawat di sini,” ucapnya lembut.

Putrinya, segera menatap sang ayah dengan heran. “Lho, Ayah… bukankah semua biaya sudah kami lunasi kemarin? Untuk apa Ayah masih minta rinciannya?”

Kyai hanya tersenyum, menatap anaknya penuh kasih. “Tidak apa-apa, Nak. Ayah hanya ingin melihat saja.”

Petugas itu pun segera pergi ke bagian administrasi. Tak lama kemudian, ia kembali membawa selembar kertas berisi rincian biaya biaya kamar, obat-obatan, dokter, hingga transportasi ambulance. Dengan tangan bergetar, Kyai menerima dan mulai membaca satu per satu baris yang tertera di situ.

Beberapa menit berlalu dalam diam. Hanya suara mesin pendingin yang terdengar lembut. Tiba-tiba, air mata Kyai menetes, jatuh ke atas kertas itu. Tangisnya makin deras, bahunya bergetar. Semua yang ada di ruangan itu tertegun.

Putri segera memegang tangan ayahnya. “Ayah, jangan dipikirkan. Kami sudah melunasi semuanya. Jangan sedih begitu, Yah. Yang penting Ayah sehat…”

Kyai menggeleng pelan. “Bukan soal biayanya, Nak… bukan soal uang. Tapi ada dua hal dalam rincian ini yang membuat Ayah tak kuasa menahan tangis.”

Tonakodi yang sedari tadi menunduk, kini bertanya lirih, “Apa itu, Yai?”

Dengan suara yang pelan namun penuh getaran makna, Kyai mengangkat kertas itu dan menunjuk dua baris tulisan kecil.

“Ini, Nak. Biaya ambulance… dan biaya oksigen. Dua hal sederhana, tapi membuat hati Ayah remuk redam.”

Semua menatapnya, belum mengerti. Lalu suara Kyai kembali terdengar, kali ini seperti mengalun dari kedalaman batin yang penuh kesadaran.

“Usiaku sudah lebih dari delapan puluh empat tahun. Selama itu pula, Allah memberi oksigen tanpa pernah menagih bayaran. Setiap hari, setiap detik, paru-paruku diisi udara segar yang tak pernah habis. Tapi lihatlah, di rumah sakit ini… hanya beberapa hari, dan untuk setiap liter oksigen kita harus membayar mahal. Betapa besar kasih sayang Allah yang telah memberi segalanya secara cuma-cuma. Bagaimana mungkin kita masih sering lupa bersyukur?”

“Tidakkah kita semua sadar, betapa Allah sangat mencintai kita. Oksigen diberikan gratis. Karbondioksida yang beracun disaring, sehingga udara tidak membunuh manusia."

Tangisnya pecah lagi. “Ya Allah, ampunilah hamba-Mu yang sering lalai mensyukuri napas yang Engkau berikan. Jika udara-Mu harus dibayar seperti di rumah sakit ini, sungguh kami semua tak akan sanggup hidup.”

Ruangan itu hening. Tonakodi menunduk, menatap lantai yang mulai buram oleh air matanya sendiri. Di dadanya bergemuruh rasa malu dan haru.

Kyai melanjutkan, suaranya makin lirih tapi penuh getar keikhlasan.

“Dan lihatlah item yang satu lagi, biaya ambulance. Hanya untuk menjemput saya dari rumah ke rumah sakit, sudah ada harga yang tertera. Maka saya menangis lagi… teringat pada Ibumu, pada semua ibu di dunia.”

Ia menatap putrinya, lalu memejamkan mata sejenak.

“Sejak dalam kandungan, ibu membawa kita ke mana pun tanpa keluhan. Ia menanggung beban, nyeri, dan letih tanpa pernah menghitung ongkosnya. Setelah lahir, ia menggendong, menyusui, menimang di kala malam, bahkan rela tidak tidur agar kita bisa terlelap. Kalau semua jasa itu harus dihitung seperti ambulance ini, bisakah kita membayarnya?”

Putri terisak. Kedua cucu kecilnya ikut menangis tanpa mengerti sepenuhnya makna yang diucapkan sang kakek. Mereka hanya merasakan getaran kasih yang sangat dalam.

Kyai membuka mata, menatap semua yang hadir.

“Tidak ada hitungan yang bisa membalas kasih sayang seorang ibu. Begitu pula seorang ayah. Ia mengantar anaknya ke sekolah, ke pesantren, ke mana pun, tanpa pamrih. Kalau semua perjalanan itu harus dibayar, berapa banyak harta yang akan habis? Tidak ada anak yang sanggup menandingi kasih sayang orang tua, cinta ayah dan ibu.”

Air mata menetes dari mata renta itu, deras seperti hujan pertama di musim kemarau.

Tonakodi tak kuasa lagi menahan haru. Ia berdiri, mencium tangan gurunya, lalu berbisik, “Yai, saya baru benar-benar memahami makna syukur hari ini. Selama ini saya sibuk mencari rezeki, kadang lupa menghitung nikmat yang sudah Allah beri. Napas, kasih ibu, pengorbanan ayah… semua tak ternilai.”

Kyai memegang tangan muridnya erat. “Nak, hidup bukan soal seberapa banyak kita memiliki, tapi seberapa dalam kita menyadari pemberian Allah dan bersyukur atasnya. Itulah inti dari iman dan santri sejati. Bersyukurlah sebelum nikmat itu diambil.”

Suasana di ruang perawatan berubah menjadi majelis hikmah yang hening dan khidmat. Tak ada ceramah panjang, tapi setiap kata Kyai terasa menembus dada. Putri dan kedua cucu bersimpuh di kaki sang Kyai, mencium lututnya dengan air mata yang tak berhenti mengalir.

“Ya Allah,” bisik Kyai dengan suara bergetar.

“Jangan Engkau cabut kasih sayang-Mu dari kami. Jadikan kami hamba yang tahu berterima kasih atas nikmat kecil maupun besar. Ajari kami mensyukuri oksigen-Mu, kasih ibu kami, dan cinta ayah kami.”

Tonakodi menutup wajahnya dengan kedua tangan. Bayangan kedua orang tuanya yang telah tiada muncul di benaknya, wajah lembut ibunya yang dulu sering menunggu di pintu setiap sore, mengingatkan untuk salat di musala, dan sosok ayahnya yang bekerja keras tanpa banyak bicara.

“Ya Allah…” ucapnya lirih, “ampuni dosa kedua orang tua kami. Limpahkan rahmat-Mu pada mereka seperti mereka menyayangi kami sejak kecil.”

Ruangan itu tenggelam dalam keheningan panjang. Hanya suara tangis yang tertahan dan detak jam di dinding yang seolah berzikir pelan.

Di luar, matahari condong ke barat. Sinar keemasan menembus jendela, membasuh wajah Kyai yang masih basah air mata. Tangisnya bukan tanda lemah, melainkan bukti betapa lembutnya hati seorang hamba yang menyadari kebesaran Tuhannya.

Di hari santri itu, bukan hanya Kyai yang menangis. Tapi juga langit yang seakan ikut berlinang, meneteskan gerimis kecil di atas kepala mereka.

Di tengah rinai lembut itu, Tonakodi memandang sosok gurunya yang termakan usia tapi cahaya di wajahnya memancar. Ia tahu, hari itu bukan sekadar Hari Santri—tapi hari pelajaran tentang syukur, cinta, dan pengakuan kecil manusia di hadapan kebesaran Ilahi.

Di dalam hati yang paling dalam, Tonakodi berbisik,“Terima kasih, Yai. Engkau telah mengajarkan arti napas, arti kasih, dan arti hidup.”

Hari itu, Tonakodi pulang dari rumah sakit dengan hati yang berbeda. Ia merasa baru saja mengikuti pengajian paling dalam sepanjang hidupnya, pengajian tentang syukur, cinta, dan kehidupan.

Kyai yang tubuhnya mulai renta, masih juga sempat memberi pelajaran terakhir: bahwa setiap napas adalah nikmat, setiap langkah orang tua adalah pengorbanan, dan setiap tangis yang disertai kesadaran adalah bentuk tertinggi dari sujud seorang hamba.***

 

Tana Kaili, 22 Oktober 2025

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dewi Themis Menangis

Kedudukan DPRD Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014

Dursala; Cinta di Antara Angkara