Pitutur Luhur: Eling, Percaya, Mituhu
Oleh: Temu Sutrisno / Wakil Sekretaris Paguyuban Kesenian Eko Wandowo Sulawesi Tengah
Pitutur luhur dalam kebudayaan Nusantara selalu lahir dari pengalaman panjang manusia memaknai hidupnya. Salah satu ajaran yang masih dijaga oleh masyarakat Jawa dan banyak komunitas budaya lainnya adalah tiga ungkapan sederhana namun mendalam: Eling, Percaya, Mituhu.
Tiga kata ini sepintas tampak seperti anjuran
moral biasa, tetapi jika ditelusuri secara etimologis, sosiologis, dan
filosofis, ia adalah rangkuman dari sebuah cara pandang hidup yang menempatkan
manusia sebagai makhluk spiritual yang terus berupaya menyatu dengan kehendak
Tuhan Yang Maha Esa. Ajaran ini sejalan dengan nilai-nilai Islam tentang
kesadaran, keimanan, dan ketaatan dalam menjalani kehidupan.
Secara
etimologis, kata Eling
berasal dari bahasa Jawa Kuno yang bermakna ingat, sadar, dan terjaga. Dalam
konteks budaya, Eling
bukan sekadar ingat secara intelektual, tetapi sebuah kesadaran batin untuk
selalu merasakan kehadiran Yang Maha Kuasa dalam setiap denyut kehidupan.
Ketika seseorang eling,
ia tidak hanya mengingat bahwa Tuhan ada, tetapi ia merasa sedang berada dalam
pengawasan dan kasih sayang-Nya. Dalam ajaran Islam, kondisi ini mirip dengan
konsep dzikrullah,
yaitu mengingat Allah secara terus-menerus, baik melalui ucapan maupun rasa.
Al-Qur’an menekankan bahwa dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang. Pitutur
eling
merupakan pintu bagi ketenangan hidup, sebab seseorang yang sadar akan
kehadiran Tuhan tidak mudah terombang-ambing oleh godaan, ketakutan, atau
amarah.
Kata Percaya
dalam pitutur ini dapat dipahami sebagai kelanjutan alami dari eling.
Setelah seseorang sadar sepenuhnya akan keberadaan Tuhan, maka tumbuhlah
keyakinan yang teguh bahwa segala sesuatu berada dalam kekuasaan-Nya.
Kepercayaan dalam konteks budaya Jawa bukan
hanya sikap batin, melainkan juga landasan moral yang membimbing seseorang
untuk berserah diri dan tetap tegar menghadapi kesulitan. Etimologinya merujuk
pada keyakinan yang tidak setengah-setengah, sebuah bentuk iman yang tidak mudah goyah.
Dalam Islam, iman tidak hanya
berarti percaya kepada Allah, tetapi percaya dengan sepenuh hati, yang kemudian
terwujud dalam perkataan dan perbuatan. Oleh karena itu, percaya adalah
jembatan antara kesadaran spiritual dan tindakan nyata. Seseorang yang sungguh
percaya kepada Tuhan akan menjalani hidup dengan optimisme, kesabaran, dan rasa
syukur.
Selanjutnya,
Mituhu
adalah kata yang memiliki makna taat, patuh, dan mengikuti tuntunan yang
dianggap benar. Secara etimologis, tuhu berarti benar, lurus, atau
setia pada prinsip. Dalam tradisi budaya, mituhu menggambarkan sikap
seseorang yang tidak hanya mengerti dan percaya, tetapi juga menjalankan ajaran
yang diyakini. Dengan demikian, mituhu adalah manifestasi dari eling
dan percaya
dalam tindakan sehari-hari. Dalam perspektif Islam, konsep ini sangat selaras
dengan ajaran taat
kepada Allah dan Rasulullah, yang bukan hanya dilakukan
melalui ibadah ritual, tetapi juga melalui perilaku sosial, seperti bersikap
jujur, adil, berbuat baik, dan menghindari perbuatan yang merugikan orang lain.
Dilihat dari
pendekatan sosiologis, pitutur Eling, Percaya, Mituhu memiliki
peran penting dalam menjaga tatanan sosial masyarakat. Ketiga nilai ini
membentuk karakter dan kepribadian yang stabil, sehingga menciptakan
individu-individu yang dapat dipercaya, disiplin, dan berperilaku baik.
Masyarakat Jawa mengenal istilah tata tentrem karta raharja, yaitu
keadaan tertib dan makmur, yang salah satu fondasinya adalah kemampuan setiap
individu untuk menjaga dirinya sendiri melalui kesadaran dan ketaatan pada
nilai-nilai luhur.
Di tengah berbagai perubahan sosial yang
cepat, pitutur ini menjadi pegangan agar masyarakat tidak kehilangan jati diri.
Mereka yang memegang ajaran eling tidak mudah terprovokasi.
Mereka yang memegang ajaran percaya tidak mudah putus asa.
Mereka yang memegang ajaran mituhu tidak mudah melanggar
aturan yang disepakati bersama.
Secara
filosofis, pitutur ini mencerminkan pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang
harus bergerak dari pengetahuan menuju keyakinan, dan dari keyakinan menuju
tindakan.
Filosofi Jawa sering menekankan keselarasan
antara cipta,
rasa,
dan karsa.
Eling
berhubungan dengan cipta atau kesadaran, percaya berkaitan dengan rasa
atau keyakinan batin, dan mituhu berkaitan dengan karsa
atau kehendak untuk menjalankan sesuatu. Keselarasan tiga unsur ini
menghasilkan pribadi yang seimbang, yang dapat hidup selaras dengan alam,
sesama manusia, dan Sang Pencipta. Inilah yang oleh banyak filosof Jawa disebut
sebagai urip manfaat,
hidup yang bermanfaat.
Dalam
perspektif ajaran Islam, pitutur ini sejalan dengan prinsip iman, islam,
dan ihsan. Eling adalah bentuk dzikir dan
kesadaran ihsan bahwa Tuhan selalu melihat apa pun yang dilakukan manusia. Percaya
adalah inti dari iman. Mituhu adalah manifestasi
keislaman dalam bentuk amal saleh. Ketika ketiga nilai ini dipraktikkan, seseorang
tidak hanya menjalani agama sebagai kewajiban, tetapi sebagai jalan hidup yang
menghadirkan kedamaian bagi dirinya dan orang-orang di sekitarnya.
Makna Eling, Percaya, Mituhu pada
akhirnya adalah aktualisasi kesadaran total akan keberadaan Tuhan dalam diri
seseorang. Dari kesadaran itu lahirlah rasa percaya yang sungguh-sungguh, dan
dari kepercayaan itu tumbuh dinamika hidup yang selaras dengan tuntunan-Nya.
Ajaran ini kemudian diwujudkan dalam sikap taat beribadah sesuai keyakinan
masing-masing, serta berperilaku baik mengikuti aturan dan nilai kepercayaan
yang dianut. Pitutur luhur ini bukan hanya nasihat, tetapi kompas moral yang
mampu membimbing manusia menjalani hidup dengan penuh makna, keteguhan hati,
dan kebijaksanaan. Wallahualam bishawab. ***
Tana
Kaili, 12 Desember 2025

Komentar
Posting Komentar