MAKNA KETUPAT


Oleh: Temu Sutrisno
Peminat budaya dan penikmat seni, Wakil Sekretaris Paguyuban Kesenian Eko Wandowo Sulawesi Tengah.



Salah satu yang paling menarik dari persiapan acara Halal bi halal, membuat ketupat. Kenapa setiap lebaran, syawalan, atau halal bihalal selalu ada ketupat?
Ketupat sejatinya merupakan makanan yang telah ada di Nusantara, khususnya Jawa jauh sebelum berkembangnya agama Islam. Berdasarkan penelitian dari H.J. de Graaf dalam buku Malay Annual, ketupat merupakan simbol perayaan hari raya Islam pada masa kesultanan Demak yang dipimpin Raden Patah awal abad ke-15.

Ketupat bagi masyarakat Jawa sebagaimana dakwah Sunan Kalijaga, dimaknai secara filosofis dengan Laku Papat (empat tindakan), yakni Lebaran, Leburan, Luberan, dan Laburan.
Pertama, Lebaran berarti akhir puasa Ramadan dan bersiap menyongsong hari kemenangan. Kemenangan apa? Kemenangan terhadap diri sendiri mengendalikan hawa nafsu selama Ramadan.
Kedua, Luberan berarti meluber (melimpah). Masyarakat Jawa muslim diajarkan untuk berbagi atas kelebihan rejeki (harta) pada sesama, khususnya sanak saudara fakir miskin. Mudik, biasanya juga dibarengi tradisi membagi rejeki ke sanak saudara di kampung, setelah sebelumnya bekerja keras dan mengumpulkan pundi rejeki di kota atau kampung orang.
Ketiga, Leburan. Leburan dimaknai sebagai sikap saling mengakui kesalahan dan melebur dosa dengan saling maaf-memaafkan.
Keempat, Laburan. Laburan inilah yang selanjutnya menjadi tradisi mengecat rumah atau secara umum bersih-bersih rumah menjelang Idul Fitri. Pada masa lalu saat cat belum populer atau (mungkin) belum ada. Masyarakat menggunakan kapur untuk melabur (mengecat) rumah. Kapur yang putih mampu menutupi noda pada dinding rumah yang dilabur. Laburan dimaknai, bahwa hati seorang muslim harus kembali jernih putih seputih kapur dan suci usai puasa Ramadan, saling maaf-memaafkan dan memohon ampunan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa.
Ketupat umumnya terbuat dari daun kelapa muda dikenal juga sebagai janur, singkatan dari sejatining nur atau cahaya sejati. Dalam bahasa Jawa, janur diartikan sebagai hati nurani. Di dalam janur, diisi dengan beras menjadi perlambang nafsu manusia dan kemakmuran. Beras yang diisi dalam janur, kemudian menjadi nasi kempel (menggumpal padat namun lembut). Kempel diartikan, kebersamaan, saling terikat kuat antara manusia satu dengan yang lain. Untuk merekatkan hubungan kekeluargaan dan sesama manusia, dibutuhkan kebersihan hati dan sikap lemah lembut.
Beras yang dipakai harus beras putih, bukan beras merah atau beras hitam. Hal itu dimaknai sebagai manusia yang bersih dari nafsu, setelah melakukan puasa selama bulan Ramadan. Manusia dalam menggapai kemakmuran, tidak boleh terikat dan dikendalikan nafsu.
Selanjutnya, ketupat berbentuk segi empat dan dirangkai dalam bentuk anyaman bermakna hidup manusia penuh dengan liku-liku, tak luput dari kesalahan. Anyaman pada ketupat sangat kuat, diharapkan memberikan penguatan satu sama lain antara jasmani rohani, antara yang material dan spiritual. Untuk memandu jalannya hidup agar senantiasa mengikuti kebenaran, kebaikan, dan keindahan, manusia dituntun kepada sejatining nur atau fitrah manusia yang hanif. Dengan kehanifan itulah, manusia dituntun menuju kepada Tuhan.
Bentuk persegi empat dalam filosofi Jawa dimaknai kiblat papat lima pancer. Artinya, ketupat memiliki empat arah mata angin utama yakni barat, timur, utara, dan selatan, tapi hanya ada satu pusat yakni kiblat.
Dalam agama Islam, kiblat adalah arah untuk beribadah kepada Allah SWT. Filosofi ini sekaligus menggambarkan ke mana pun manusia pergi, hanya ada satu tempat kembali yakni pada Allah.
Memaknai ketupat hanya sekadar makanan pelengkap lebaran, syawalan, dan halal bihalal tanpa makna filosofis, hanya akan mengenyangkan tanpa nilai spritual. Wallahualam bishawab. ***


Palu, 6 Mei 2023


Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

Negeriku Makin Lucu