Celoteh Ramadan
BANYAK JALAN MENDEKATI TUHAN
BEBERAPA hari terakhir, cuaca terasa panas luar biasa. Kota
Palu yang saban harinya panas, bertambah panas. Tak pelak, sebagian orang
mengeluhkan cuaca ektrem itu. Apalagi di tengah puasa, cuaca makin terasa
menyengat. Tidak sedikit pula orang-orang yang memaknai cuaca ektrem itu
sebagai ujian dari Allah di tengah ibadah puasa Ramadan.
Cuaca panas ini mengingatkan kita pada kisah Pengembala
dengan Nabi Musa.
Pada masa lalu, ada seorang pengembala yang hati dan
pikirannya dipenuhi rasa cinta pada Allah SWT. Suatu hari, di tengah padang
gembala yang gersang dan panas, Pengembala melantunkan doa, seakan-akan
berdialog langsung dengan Allah. Dia tidak memperdulikan cuaca padang gembalaan
yang panas.
“Ya Allah! Di manakah
Engkau akan bertemu dengan hamba? Jika Engkau bertemu dengan hamba, aku akan
menjadi hambaMu, menjahit pakaianMu, menyisir rambutMu. Jika Engkau sakit ya
Allah, aku akan menghiburMu.”
“Ya Allah, Jika aku melihat rumahMu, aku akan membawakan
susu dan mentega untukMu siang dan malam. Aku akan mencium tanganmu dan memijat
kakimu.”
“Ketika waktuMu untuk tidur tiba, Aku akan menyapu tempat
tidurMu. Ya Allah! Semua dombaku dikorbankan untukMu.”
Kata-kata Pengembala didengar Nabi Musa yang kebetulan
lewat.
“Wahai Penggembala,
menurutmu apakah Allah Ta’ala membutuhkan seorang hamba? Apakah Dia berkepala
sehingga kamu bisa menyisir rambut-Nya? Apakah Dia bisa lapar sehingga kamu
bisa memberinya susu kambing untuk diminum? Apakah Dia menjadi sakit sehingga
kamu dapat merawatnya dengan simpatik?”
“Tahukah engkau,
Allah bebas dari segala kesalahan dan kebutuhan. Cepat bertobat! Allah
sama sekali tidak membutuhkan layananmu.”
Mendengar seruan nabi Musa, Pengembala menjadi sedih dan
menangis. Ia segera pergi meninggalkan
padang gembalaan.
Kemudian Allah Ta’ala mengirimkan wahyu kepada Nabi Musa,
“Wahai Musa, bukankah Aku mengutusmu agar mereka menyembah kepadaKu, bukan
membuat mereka menjauh dariKu.”
“Wahai Musa, di dalam
cinta, kata-kata hanyalah bungkus luar yang tidak memiliki makna. Aku
tidak memerhatikan keindahan kata-kata.
Ingatlah, yang Aku perhatikan adalah lubuk hati yang paling dalam dari
orang itu. Dengan cara itulah Aku mengetahui ketulusan hambaKu, walaupun
kata-katany bukan kata-kata yang indah. Buat mereka yang dibakar api cinta,
kata-kata tidak mempunyai makna.”
Mendengar firman Allah, Nabi Musa pergi mencari Pengembala
tadi. Setelah sekian lama, akhirnya Nabi Musa menemukan Pengembala yang masih
bersedih hatinya.
“Aku punya pesan penting untukmu. Tuhan telah berfirman
kepadaku, tidak diperlukan kat-kata yang indah bila kita ingin berbicara
kepadaNya. Kamu bebas berbicara kepadaNya dengan cara apa pun yang kamu sukai,
dengan kata-kata apa pun yang kamu pilih. Apa yang aku duga sebagai kekafiranmu
ternyata adalah ungkapan dari keimanan dan kecintaan yang menyelamatkan dunia.”
Belajar dari kisah Pengembala dengan Nabi Musa, cuaca panas
ini dapat menjadi sarana mendekatkan diri pada Allah. Lidah yang dipenuhi
pujian dan hati yang diselimuti cinta, membuat cuaca panas tak lagi berarti.
Kita dapat memilih, mengeluhkan cuaca panas atau sebaliknya tetap memuji Allahu al ‘Aziiz al Jabbar. Mungkin Allah ingin hambaNya tahu, banyak cara mendekatinya. Termasuk menyikapi cuaca panas, dengan tetap sabar dan bertasbih kepadaNya.
Kita juga bisa turut serta melakukan aksi nyata mengurangi pemanasan global dengan menanam pohon, meski sebatang.
Dalam perspektif iman pengembala di atas, toh cuaca ekstrem ini
belum seberapa, tidak sebanding dengan kondisi padang mahsyar di akhir
kehidupan atau api neraka. Cinta pada Allah mengalahkan segalanya. Wallahualam bishawab.***
Palu, 14 April 2023
TMU
Komentar
Posting Komentar