Celoteh Ramadan
PERAMPOK PUN BISA JADI PAHLAWAN
Alexander Matrosov, salah satu pahlawan paling terkenal di Uni Soviet era 1940-an. Dia mengorbankan dirinya dengan menyumbat senapan mesin Jerman dengan tubuhnya. Namanya identik dengan kepahlawanan di Uni Soviet dan Rusia modern.
Namun, tak banyak yang tahu bahwa Matrosov bergabung dengan Tentara Merah langsung dari kamp buruh, tempat ia ditahan akibat perampokan. Matrosov, dari pencundang menempati singgasana tinggi sebagai pahlawan.
Kepahlawanan Matrosov melawan kekuatan asing dalam perang, mungkin hal biasa. Di banyak negara, dalam beragam pertempuran selalu muncul sosok yang dinobatkan sebagai pahlawan tanpa melihat latar belakang yang bersangkutan, siapa dan dari mana asalnya. Meskipun (awalnya) yang bersangkutan perampok, perompak, koruptor, dan atau terpidana/pelaku tindak kejahatan lainnya.
Di era digital (saat ini), menjadi pahlawan juga tidak terlalu sulit. Sepanjang dia punya banyak follower di beberapa platform media digital, tidak sulit membangun citra "pahlawan". Metode amplifikasi dan glorifikasi melalui media sosial sangat ampuh untuk mendudukkan orang sebagai idola baru--dan bahkan mungkin jadi pahlawan baru-, dengan isu melawan rezim, korban kriminalisasi, dihalang-halangi hak politiknya, dan lain-lain korban ketidakadilan. Kenapa? Karena di negeri ini, orang mudah mendapatkan empati, saat dia pada posisi menjadi korban, orang yang dizalimi.
Jika pada masa lalu sejarah kepahlawanan selalu ditorehkan kekuasaan, sepertinya kini ditentukan kekuatan jari netizen berselancar di media sosial.
Rasa-rasanya kita perlu berdialog dengan hati di bulan Ramadan ini, benarkah mereka pahlawan bagi bangsa atau orang-orang di sekitarnya? Ataukah ambisi terselubung yang membuat glorifikasi menjadi senjata memahkotai diri sendiri?
Mungkin, kita juga layak disebut pahlawan yang berhasil menundukkan musuh dalam perang melawan nafsu dalam diri dan nafsu sosial? Wallahualam bishawab. ***
Palu, 11 April 2023
TMU
Komentar
Posting Komentar