Celoteh Ramadan: Merawat Silaturahmi dari Alam Barzah
DUA hari jelang Ramadan tahun lalu, sore pulang dari tempat kerja, saya dihentikan seorang teman lama. Motor menepi ke pinggir jalan. Teman tadi beranjak dari tempat duduknya bersama beberapa orang, menghampiri saya.
“Mas gimana kabar? Masih ingat saya,” sapanya.
Ya ingatlah, jawabku. “Masa dengan teman lupa”.
Seperti kebanyakan teman yang lama tak jumpa, perbincangan pendek sore itu seputar kabar keluarga dan pekerjaan. Di akhir perbincangan, teman tadi menyampaikan untuk jalan-jalan ke tempat kerjanya. “Saya buka studio foto. Kalau ada waktu jalan-jalan Mas, biasa teman-teman fotografer ngumpul di situ,” katanya.
“Insya Allah.” Saya pun pamitan.
Malam harinya, saya kembali ke tempat kerja. Pertemuan dengan teman tadi saya sampaikan ke Amar, fotografer di kantor, “Mar, kenal Piet?”
“Iya, kenal Mas. Kenapa Om Piet, Mas,” tanya Amar.
“Saya tadi ketemu. Katanya ada usahanya di jalan J depan sekolah. Teman-teman komunitas fotografi sering kumpul di situ.”
“Ah...yang betul Mas. Om Piet sudah meninggal tiga tahun lalu. Mas ini bikin takut,” kata Amar kaget.
Saya pun tak kalah kaget. “Bah, yang betul? Saya baru ketemu sore tadi.”
Frank, teman di sebelah menimpali. “Betul Mas. Piet sudah meninggal tiga tahun lalu.”
“Saya yang angkat almarhum waktu sakit dan meninggal, Mas,” lanjut Amar. “Sekarang tempat untuk studio sudah jadi toko waralaba Mas. Bolah dicek,” Amar mencoba meyakinkan saya.
Kalau teman tadi sudah meninggal, siapa yang berbincang dengan saya sore tadi?
Saat saya berhenti di pinggir jalan dan berbincang, seperti tidak ada yang aneh. orang-orang di sekitar tempat kami bertemu juga tidak menegur saya. Ataukah mereka juga merasa aneh, saat melihat saya bicara sendiri. Ah entahlah.
Penasaran, esoknya saya menuju jalan J. Benar yang dibilang Amar dan Frank. Tidak ada studio di situ. Hanya ada toko waralaba dan ruko lainnya.
Sungguh, saya pun merenung atas kejadian itu. Apa hikmah di balik itu? Mungkinkah itu bentuk silaturahmi seorang teman, meski sudah berbeda alam? Wallahualam.
Bisa jadi Tuhan ingin memberi pesan, bahwa menjaga silaturahmi itu penting. Jangan karena beda pendapat, beda pilihan politik, dan beragam perbedaan lainnya membuat silaturhami putus.
Saya pun teringat kebiasaan waktu kecil. Orang tua dan nenek sering mengajak ziarah ke makam para tokoh, ulama, dan aulia.
Di makam-makam itu, bukan hanya tahunan, tapi tiap hari
orang berziarah. Semua peziarah khusu’ melantunkan doa, tiada perbedaan
pandangan dan pilihan politik. Tidak peduli warna kulitnya, partainya, pilihan
saat Pemilu atau Pilkada, semua peziarah berdoa yang intinya untuk kebaikan
dunia akhirat.
Orang yang sudah meninggal saja, punya peran merekatkan
silaturahmi dan mendamaikan orang. Bagaimana mungkin orang yang masih hidup
segar bugar, tak kepikiran untuk merajut silaturahmi, berangkulan, dan
menyatukan orang yang beda pilihan.
Artinya apa? Orang yang telah meninggal sekalipun, masih
berkontribusi pada kebaikan dan kedamaian-setidaknya untuk peziarah.
Bagaimana yang masih hidup? Harusnya kita malu, jika harus memutus silaturahmi, merobek kebersamaan, membangun keterbelahan, dan tidak mendamaikan. Wallahualam bishawab. ***
Palu, 12 April 2023
TMU
Komentar
Posting Komentar