Antara Adipura dan Singapura

 


PEKAN lalu, rombongan pejabat di Kota Palu ramai-ramai melakukan perjalanan dinas untuk studi tiru kebersihan di Kota Batam. Tentu saja ini dibumbui dengan kata pemanis, untuk Palu Adipura.

Berdasarkan data reservasi hotel yang beredar, rombongan dipimpin langsung Wali Kota bersama istri, diikuti seluruh Lurah, Camat, Sekretaris Kota, dan beberapa pejabat eselon II lainnya.

Tak pelak, perjalanan ini mendapat respon negatif dari beberapa anggota DPRD dan warga di beragam platform media sosial.

Bagaimana tidak, di tengah upaya penanggulangan bencana yang tak kunjung usai, Wali Kota memimpin para pegawai menghabiskan sekian banyak anggaran hanya untuk sebuah piala dan piagam bernama Adipura, dengan kegiatan bertajuk studi tiru.

Bukan hanya Batam. Rombongan pun ramai-ramai memamerkan dokumen perjalanan dalam beragam gaya swafoto di beberapa tempat yang mudah dikenali masyarakat, Singapura dan Malaysia melalui media sosial.

Apakah perjalanan dinas bagi pejabat haram dilakukan? Tentu saja jawabannya, tidak.

Namun para pejabat semestinya berpikir jernih, apakah dengan melakukan perjalanan ke Batam dalam rombongan besar, dilanjutkan menyeberang ke Singapura dan Malaysia merupakan jalan strategis dan rasional membangun budaya bersih di Kota Palu?

Perjalanan ini juga dirasakan menyesakkan dada para pegawai kategori Pegawai dengan Perjanjian Kontrak Kerja ataupun honorer yang sudah menjadi rahasia umum, sering kali kerjanya lebih banyak daripada ASN dengan status PNS. Tidakkah, keterlambatan gaji atau honor mereka dua bulan terakhir menyentuh sisi terdalam kemanusiaan para pejabat itu?

Pun demikian dengan petugas kebersihan sebagai jng tombak mimpi meraih Adipura, juga mencuatkan rasa iba. Tidak asing di telinga masyarakat, mereka juga kerap terlambat menerima hasil keringat.

Belajar ke Batam, sah-sah saja karena kota tersebut pernah meraih Adipura. Namun rasa-rasanya kurang tepat, membandingkan Palu dengan Batam. Tahun 2013 lalu Batam meraih Adipura kategori Kota Besar. Nah, Palu?

Apalagi jika terselip pikiran belajar dari pengelolaan kebersihan Singapura atau Malaysia. Bukan hanya kultur berbeda, Singapura dan Malaysia jelas tidak pernah menerima Adipura.

Mungkin ini tidak akan dipersoalkan banyak pihak, jika perjalanan dilakukan bergelombang dan ke kota-kota yang setara dengan Palu.

Rasa-rasanya para pejabat itu sesekali membersihkan pikiran imajinernya, bahwa apa yang dilakukan perlu ditapis sesuai skala prioritas, dan tentu saja menangkap suasana hati masyarakat. Jangan sampai perjalanan dinas menjadi dinas jalan-jalan. Wallahualam bishawab.***


https://mercusuar.web.id/tonakodi/antara-adipura-dan-singapura/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

Negeriku Makin Lucu