Tak Asa Investasi Senilai Nyawa
ADAGIUM keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi atau Salus Populi Suprema Lex Esto, seharusnya menjadi pedoman utama atau bahkan menjadi prinsip dasar bagi semua komponen bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.
Pemikiran Marcus Tullius Cicero (106 SM-43 SM), dua ribu tahun silam tentang bagaimana negarawan seharusnya menimbang berbagai persoalan kenegaraan tersebut rasanya masih relevan. Keselamatan rakyat hendaknya selalu ditempatkan di atas segalanya.
Prinsip ini sempat mengemuka dan trending di awal penanganan pandemi Covid-19.
Seharusnya prinsip bernegara seperti ini juga berlaku untuk dunia usaha. Investasi hendaknya memerhatikan suara, hak, dan keselamatan rakyat. Tidak ada investasi senilai nyawa. Tidak boleh ada investasi di negeri ini, atas nama apapun mengorbankan nyawa rakyat.
Di era keterbukaan seperti saat ini, sudah tak pantas lagi pemerintah dan aparat keamanan menggunakan pendekatan represif terhadap masyarakat yang berbeda pendapat soal investasi di daerahnya. Dalam sebuah negara demokrasi, masyarakat memiliki hak untuk berpendapat. Sikap penolakan harus dipandang sebagai hak konstitusi warga negara. Bukan dibalas dengan tindakan represif, apalagi rentetan senjata. Bukan saatnya lagi perbedaan pendapat di masyarakat diselesaikan atau ditumpas dengan pengerahan kekuatan.
Perbedaan pendapat tersebut sejatinya bisa diselesaikan melalui musyawarah dan dialog. Bukankah, Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi musyawarah. Bahkan, Republik ini bisa berdiri hingga saat ini adalah hasil dari musyawarah dan dialog para pendiri bangsa.
Boleh jadi, pemerintah dan para investor menempatkan kesejahteraan di balik semuanya. Namun tidak semua kesejahteraan harus diartikan secara materiil, pengusaaan terhadap sumber-sumber ekonomi semata.
Rasa-rasanya pemerintah harus belajar dari kasus Raja Midas.
Konon, Raja Midas yang selalu terobesesi dengan penguasaan sumber ekonomi, meminta kepada Dewa agar tangannya dianugerahi kekuatan, sehingga benda apa pun yang disentuhnya berubah menjadi emas.
Akhirnya, restu dari langit turun mengisyaratkan bahwa permohonan Raja Midas dikabulkan Dewa.
Maka Raja Midas bergegas pulang ingin segera menyulap istananya dengan tangan magisnya agar menjadi istana emas dan menjadi raja terkaya di muka bumi.
Sampai di istana, Raja Midas mulai menyentuh dan mengusap pagar. Seketika pagar istana berubah menjadi emas. Dengan semangat dan muka sangat ceria, lalu disentuhlah bangunan istana seisinya satu per satu sehingga berubah menjadi istana emas.
Dengan bangga dan pongah dipandanglah bangunan istana emasnya itu. Raja Midas merasa puas dan yakin tak ada lagi orang lain di negerinya yang mampu menandingi kekayaannya.
Setelah puas memandangi istana emasnya yang sangat megah dengan tamannya yang luas, Raja Midas mulai merasa haus dan lapar. Raja Midas ingin segera mengisi perutnya yang kosong dan membasahi tenggorokannya yang kering.
Apa yang terjadi? Begitu makanan dan minuman tersentuh tangannya, semuanya berubah menjadi emas.
Raja Midas kaget, lapar, haus, dan bingung sehingga berteriak- teriak minta tolong. Dengan tergopoh-gopoh, datanglah sang permaisuri. Begitu berjumpa Raja memeluk sang permaisuri.Kebingungan Raja Midas semakin menjadi-jadi ketika mendapatkan kenyataan, sang permaisuri menjadi patung emas akibat sentuhan tangannya.
Sejak saat itu Raja Midas pun merasa kesepian, bingung, sedih,menyesal, mengutuk dirinya, dan akhirnya menjadi gila. Keinginan terhadap kekuasaan dan kekayaan mengantarkan dirinya pada kesengsaraan.
Raja Midas kini sebagai sebuah karakter, bisa muncul pada diri siapa saja. Mungkin diri kita sendiri. Tipologi Raja Midas mungkin saja melekat pada karakter penguasa dan investor rakus, yang menempatkan kemewahan, popularitas, tahta, dan harta sebagai tujuan hidupnya.
Sindrom Raja Midas bisa menimpa siapa saja yang sangat bangga pada kekuasaan dan kekayaan. Dalam skala kecil, sekali lagi, bisa saja karakter Raja Midas itu bersemayam pada diri kita, dan setiap orang. Wallahualam Bishawab. ***
Komentar
Posting Komentar