Jangan Buat Rakyat Bersitegang
RAKYAT Indonesia mungkin tidak banyak yang mengenal Cornelis Speelman. Tapi hampir semua tahu istilah devide et impera, siasat adu domba antar rakyat ataupun antar kerajaan-kerajaan di Nusantara. Cornelis Speelman merupakan sang pencetus strategi tersebut.
Cornelis Speelman yang merupakan
Gubernur Jenderal VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) ke-14 sukses
memecah-belah Nusantara. Speelman merupakan orang yang paling bertanggungjawab
atas penaklukkan sejumlah wilayah di Nusantara.
Orang per orang dan wilayah-wilayah
yang ada di Nusantara tidak bersatu, dan saling sikut berkat kelihaian mantan
boekhouder atau kepala tata administrasi di kongsi perdagangan Belanda
tersebut.
Cornelis Speelman telah tiada. Ia
mangkat 11 Januari 1684 silam di Kastil Batavia. Tapi benturan antar
masyarakat, sikap saling mencurigai antarkelompok, pro-kontra antara pejabat,
politisi, atau tokoh masyarakat satu dengan yang lainnya yang berpotensi
merenggangkan ikatan sosial, bahkan tenun kebangsaan tidak hilang dengan meninggalnya
Speelman.
Bahkan dalam lingkup yang kecil,
seperti manajemen perparkiran di sebuah kampung. Konon Sang Kepala Kampung
membuat imbauan kepada seluruh masyarakat, agar tidak melayani atau membayar
parkir tanpa karcis. Bisa jadi imbauan Kepala Kampung benar. Kepala Kampung
ingin masyarakat tidak dirugikan atas ulah juru parkir ilegal (dalam versi
pemerintah).
Namun di balik imbauan itu, ada
potensi masyarakat terbelah. Pemilik kendaraan dan juru parkir akan bersitegang
hanya karena urusan dua ribu perak. Jika pemerintah berkeinginan menertibkan
juru parkir tanpa karcis, beban tugas ada pada aparat. Bukan membenturkan
pemilik kendaraan dengan juru parkir.
Agar terhindar dari Syndrome
Speelman, sejatinya Kepala Kampung dapat mengambil kebijakan yang (mungkin)
lebih baik, dari pada sekadar imbauan tidak bayar parkir. Apa itu? Pertama,
lakukan
pendataan seluruh titik-titik
parkir dan juru parkir yang ada. Kedua, legalkan seluruh juru parkir, dan beri
mereka karcis. Selanjutnya lakukan monitoring dan kontrol secara rutin.
Monitoring dan kontrol menjadi tugas pemerintah. Bukan sebaliknya meminta
masyarakat ‘adu mulut’ dengan juru parkir.
Dengan cara seperti ini,
setidaknya ada tiga keuntungan. Pertama, masyarakat pemilik kendaraan tidak
perlu bertengkar dengan juru parkir. Ada kedamaian, ada rasa aman, nyaman.
Kedua, berkurangnya angka pengangguran. Juru parkir, merupakan pekerjaan halal
dan memiliki nilai ekonomi, yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan
masyarakat dan daerah.
Lebih baik melegalkan seluruh juru parkir agar berbuah berkah, dari pada menciptakan ketegangan hanya persoalan doi kodi. Nasihat bijak nenek moyang mengatakan, berpikirlah sebelum bicara, perhitungkan dampak sebelum bertindak. Wallahualam bishawab. ***
Komentar
Posting Komentar