Jurnalisme Siber; Mendahulukan Kecepatan di atas Ketepatan?

 Oleh: Temu Sutrisno

 

Era teknologi informasi yang serba cepat, juga memengaruhi perilaku wartawan. Wartawan yang dituntut bekerja cepat menyajikan berita secara real time, sering mengabaikan sisi akurasi dan etika pemberitaan.

Pada satu sisi, Kode Etik Jurnalistik tidak membedakan antara jurnalisme media siber dengan platform jurnalisme lainnya. Tidak ada perbedaan Kode Etik Jurnalistik  untuk jurnalisme konvensional dengan jurnalisme siber. Kenapa? Karena yang diatur dalam kode etik adalah perilaku wartawan, bukan platform medianya.

Beberapa permasalahan etik yang sering muncul dalam jurnalisme siber di era digital diantaranya plagiarisme, rentan kesalahan, penyembunyian identitas atau identitas ganda, gambar palsu atau gambar layak sensor, dan pemilihan diksi menarik namun kurang etis.

 Kondisi ini menjadi lebih komplek permasalahannya, karena kemajuan teknologi informasi juga melahirkan jurnalisme dua arah, dimana netizen bisa melakukan kerja-kerja reportase sebagaimana wartawan, namun tidak terikat pada peraturan perundang-undangan pers dan Kode Etik Jurnalistik.

Berkaitan dengan kecepatan, Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Media Siber sesungguhnya mengatur secara ketat ketentuan verifikasi dan keberimbangan berita. Meski demikian, masih banyak pelaku jurnalisme siber yang belum menerapkan dalam kerja-kerja jurnalistik. 

Pada poin kedua Pedoman Media Siber, diatur bahwa setiap berita harus melalui verifikasi untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan.

Ketentuan tersebut dapat dikecualikan, dengan syarat berita benar-benar mengandung kepentingan publik yang bersifat mendesak, sumber berita yang pertama adalah sumber yang jelas disebutkan identitasnya, kredibel dan kompeten, serta subyek berita yang harus dikonfirmasi tidak diketahui keberadaannya dan/atau tidak dapat diwawancarai.

Saat berita tayang, media wajib memberikan penjelasan kepada pembaca bahwa berita tersebut masih memerlukan verifikasi lebih lanjut yang diupayakan dalam waktu secepatnya. Penjelasan dimuat pada bagian akhir dari berita yang sama, di dalam kurung dan menggunakan huruf miring.

Jika Kode Etik Jurnalistik secara tegas mengatur verifikasi, akurasi, dan keberimbangan sebagai syarat mutlak berita sebagaimana diatur dalam Pasal 1 dan Pasal 3, maka Pedoman Media Siber membuat pengecualian secara limitatif, sebagaimana syarat di atas.

Selanjutnya, Pedoman Media Siber juga mewajibkan media meneruskan upaya verifikasi. Setelah verifikasi didapatkan, hasil verifikasi dicantumkan pada berita pemutakhiran (update) dengan tautan pada berita yang belum terverifikasi.

Pada beberapa kasus--pembaca sering mendapatkan suguhan berita yang terputus, dan tidak terkonfirmasi lagi--karena banyak media yang hanya menaruh Pedoman Media Siber di bagian bawah chanel berita sekadar menenuhi aturan secara administratif. Pun, wartawan juga tidak semuanya mau tahu, soal Pedoman Media Siber ini.

Pokoknya lebih cepat lebih mantap, soal tepat urusan berikutnya. Kira-kira begitu jalan pikiran mereka yang mengabaikan Pedoman Media Siber. Sama dengan sebagian wartawan (apapun platform medianya) yang memandang sebelah mata Kode Etik Jurnalistik. Mereka berprinsip, tulis dulu konfirmasi kemudian. Kalau keliru? Ah, urusan nanti, toh ada hak jawab dan hak koreksi.

Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik dan (juga) Pedoman Media Siber menunjukkan bahwa pelaku pers (wartawan dan pemilik media), dapat dikategorikan pihak yang tidak sungguh-sungguh menjunjung kemerdekaan pers.

Kenapa? Karena guna menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik beserta pedoman-pedoman turunannya.

Dengan demikian, Kode Etik Jurnalistik dan pedoman-pedoman turunannya merupakan perangkat untuk mewujudkan kemerdekaan pers itu sendiri.

Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Media Siber adalah wujud volonte generale (kehendak umum), bukan volonte de corps (kemauan atau kehendak golongan). Sebagai kehendak umum, Kode Etik Jurnalistik dan pedoman-pedoman turunannya berfungsi  sebagai  tatanan  yang  melindungi  kepentingan  publik dan wartawan.

Seperti diketahui, Kode Etik Jurnalistik berfungsi untuk melindungi keberadaan pelaku pers dalam berkiprah di bidangnya, melindungi masyarakat dari malpraktek oleh pelaku pers yang kurang professional, mendorong persaingan sehat antarpelaku pers, mencegah kecurangan antar pelaku pers, dan mencegah manipulasi informasi oleh narasumber.

Patut direnungkan pemikiran Nicholas Johnson, mantan komisioner komunikasi AS, jurnalisme online sebagaimana jurnalisme lainnya dilarang untuk merusak reputasi atau pembunuhan karakter, mencemarkan nama baik seseorang, dan menyerang kepentingan pribadi. Olehnya jurnalisme siber tetap harus mengutamakan ketepatan di samping kecepatan.

Pada akhirnya, para ahli komunikasi tetap meyakini bahwa keberhasilan jurnalisme siber bukan terletak pada kecepatan, tetapi kata-kata, model penulisan suara, gambar, dan video yang baik, dengan akurasi yang tetap disandarkan pada moralitas umum sebagai kehendak publik.***

 

Penulis adalah Wakil Ketua Bidang Pendidikan PWI Provinsi Sulawesi Tengah


Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

Negeriku Makin Lucu