Antara Pencemaran dan Kesejahteraan
SANG Kepala Kampung ingin, daerah-daerah yang berpotensi tambang dikelola oleh warga. Ada beberapa daerah yang akan diusulkan menjadi wilayah pertambangan rakyat (WPR). Alasan yang paling mendasar, WPR bakal menstimulasi pergerakan ekonomi dan kesejahteraan warga.
Sementara untuk aktivitas tambang yang sudah ada –karena tak
berizin, harus ditutup. Ada juga yang dulu digembar-gemborkan ditutup, beberapa
bulan kemudian beroperasi kembali.
Kini angin segar muncul, WPR bakal diusulkan. Jika
diizinkan, warga yang selama ini menggantungkan hidupnya pada tambang bakal
dapat sandaran.
Belajar dari beberapa tambang rakyat, baik yang ilegal
maupun legal, Sang Kepala Kampung harus mempertimbangkan dampak buruk tambang
terhadap lingkungan, dan kesejahteraan (yang belum tentu) didulang.
Meskipun aktivitas
pertambangan dapat menopang kebutuhan hidup, namun dalam praktiknya banyak yang
tidak memperhatikan berbagai pencemaran lingkungan.
Masih terpatri dalam ingatan warga, akibat aktivitas tambang
yang dilakukan rakyat kebanyakan tidak menerapkan baku mutu lingkungan dalam
melindungi dan mengelola pelestarian lingkungan. Apa yang terjadi? Longsor,
banjir, bahkan limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) menghantui
warga—termasuk yang tidak terlibat aktivitas tambang. Tidak jauh-jauh, malah di
kampung ini pernah terpublikasi hasil penelitian ikan di teluk yang tercemar
limbah B3, sampel rambut warga yang diambil secara acak juga mengandung B3.
Longsor dan banjir juga terjadi di beberapa tempat
pertambangan yang dikelola rakyat secara ilegal.
Dengan embel-embel legal sekalipun, potensi pencemaran dan
kerusakan lingkungan diprediksi sangat tinggi. Kenapa? Karena teknologi
lingkungan sering menjadi nomor kesekian bagi warga. Persoalan nomor satu,
bagaimana hari ini mendapat hasil.
Belum lagi birokratisasi perizinan saat ini yang serba
terpusat, juga akan memberikan dampak kepada tambang rakyat. Perizinan tambang
rakyat tidak lagi diberikan oleh kepala daerah, melainkan permohonan diajukan
kepada menteri terkait. Ini akan membuat semakin sulit masyarakat kecil untuk
mengajukan perizinan. Selanjutnya bisa ditebak, tambang tanpa izin akan marak
di WPR.
Konsekuensi dari perizinan ini, Pemerintah Pusat yang akan
melakukan pengawasan, pembinaan dan penindakan. Permasalahan yang akan dihadapi
dalam tataran teknis Pemerintah pusat tidak mungkin mampu bekerja sendirian.
Padahal peran Sang Kepala Kampung dalam aspek regulasi tidak
cukup memliki kewenangan secara langsung untuk melakukan pengawasan, pembinaan
dan penindakan terhadap pertambangan rakyat.
Kepala Kampung tidak dapat serta merta secara langsung
mengambil tindakan hukum, tanpa instruksi Pemerintah Pusat. Permasalahannya,
eksploitasi pertambangan dan dampaknya dirasakan warga kampung.
Seyogyanya Kepala Kampung, memikirkan dan memiliki
alternatif peningkatan ekonomi dan kesejahteraan warga. Kampung ini memiliki
potensi ekonomi biru yang luar biasa, perikanan, pertanian, dan peternakan yang
menjanjikan. Jika potensi itu digarap optimal, bukan hal mustahil mampu meraup
pundi-pundi melebihi tambang.
Jangan sampai lembah biru menghasilkan debu. Jangan sampai
gunung, pegunungan, dan bukit sebagai pasak bumi menggeliat karena digaruk
manusia.
Niat menyejahterakan adalah mulia. Namun jika dilakukan
dengan merusak lingkungan, itu sebuah petaka.
Akankah Sang Kepala Kampung mampu menata tambang untuk rakyatnya? Wallahualam bishawab. ***
Komentar
Posting Komentar