“Mencurigai” Rakyat Sendiri
MERCUSUAR-Seorang nenek mengeluhkan harus bolak-balik dari kantor kelurahan ke Puskesmas, balik lagi ke kantor kelurahan.
Nenek itu harus menunjukkan surat rapid antigen negatif
untuk mendapatkan pelayanan di kantor kelurahan. Kebijakan itu dibuat Wali Kota
Palu, menyusul status Palu PPKM Level 4.
Bisa jadi, Wali Kota berniat baik untuk kemaslahatan orang
banyak. Ia tidak ingin kantor-kantor pelayanan publik di Palu menjadi klaster
baru penyebaran COVID-19.
Namun Wali Kota tidak boleh mengabaikan keluhan rakyat,
semisal nenek tadi.
Apalagi jika rapid tidak diberlakukan secara setara diantara
semua warga Kota Palu.
Patut dipertanyakan, apakah rapid juga diberlakukan untuk
seluruh pejabat atau aparat yang melakukan pelayanan? Jika asas kesetaraan
diterapkan, seharusnya Wali Kota, Wakil Wali Kota, beserta seluruh jajarannya
juga harus dirapid dan menunjukkan hasil negatif sebelum bertemu dan/atau
melayani warga kota.
Tidak boleh ada perbedaan perlakukan, karena potensi
penghantar penyebaran COVID-19 tidak melihat posisi orang dilayani atau
melayani.
Rasa-rasanya belum pernah tersiar kabar, jika Wali Kota
beserta aparat jajarannya tiap hari dirapid saat bertemu atau melayani
masyarakat.
Jika benar demikian, maka kebijakan itu mengabaikan asas
kesetaraan, asas universalitas yang diberlakukan kepada semua orang. Atau
memang Wali Kota hanya ‘mencuigai’ rakyat yang berpotensi sebagai penghantar
penyebaran COVID-19?
Jika mau adil, rapid harus diberlakukan pada orang yang
datang minta pelayanan dan mereka yang melayani. Dua pihak harus menunjukan
hasil rapid saat melayani dan dilayani, agar semua aman dari penghantar dan penular
COVID-19.
Apalagi jika di instansi-instansi layanan publik tersedia
tenaga dan alat rapid, kasus nenek-nenek bolak-balik dari kelurahan ke
Puskesmas, ke kelurahan lagi tidak akan terjadi. Pelayanan lebih efektif, aman,
dan berkeadilan. *
(Tulisan ini telah terbit di edisi Mercusuar cetak, Jumat (10/9/2021), dengan judul “Rapid yang tak Setara”)
Komentar
Posting Komentar