Dibutuhkan Pemimpin Humanis, Bukan Sok Manis
Namun kini,
PPKM telah banyak diplesetkan.
Dibutuhkan
Pemimpin Humanis, Bukan Sok ManisBukan Aksi Korporasi Biasa, Holding Ultra
Mikro Punya Tujuan MuliaPembatasan Jam malam- Legislator: Penyebaran Covid-19
Bukan Hanya Malam Hari
Saat
ditanya apa PPKM, orang tidak lagi menyebut Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan
Masyarakat. PPKM bagi sebagian orang diplesetkan dengan Pelan Pelan Kami Mati,
Para Pejabat Kenyang Makan, Para Pejabat Korupsi Miliaran, Pinter Pinter
Kibulin Masyarakat, dan plesetan lain yang sepintas kocak namun menggelitik
bagi pihak yang tahu dirinya dikritik.
Di tengah
pandemi Covid-19 yang menahun, wajar masyarakat mulai merasakan efek jenuh.
Covid-19
oleh negara telah ditetapkan sebagai penyakit menular yang membahayakan rakyat
melalui Keppres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat Covid-19.
Namun
penyebarannya sampai dengan saat ini belum juga usai. Selama satu tahun lebih,
rakyat diliputi ketidakpastian yang bisa dibilang menyangkut hak-hak asasinya.
Bukan hanya
kesehatan dan nyawa, ekonomi juga dilanda ketidakpastian. Pandemi telah membuat
orang yang tadinya punya pekerjaan dan penghasilan, kini menjadi tidak
berpenghasilan. Banyak orang kehilangan pekerjaan dan di-PHK. Jika sebelum
pandemi, yang tadinya tercukupi kebutuhan gizinya, kini bisa makan kenyang
Alhamdulillah.
Salah satu
upaya penanggulangan Covid-19 yang sedang dan masih dilakukan oleh negara
sampai saat ini adalah dengan cara pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM.
Terhitung
tanggal 21 Juli 2021, negara memberlakukan PPKM Level 3-4 yang merupakan
kelanjutan dari varian PPKM Darurat. Dasar hukum PPKM Level 3-4 adalah
Instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Instruksi tersebut ditujukan kepada
Gubernur dan Bupati/ Wali Kota yang merupakan pimpinan rakyat di daerahnya
masing-masing, bukan ditujukan kepada rakyatnya.
Salah satu
poin Instruksi Mendagri, menginstruksikan kepada Gubernur dan Bupati/ Wali Kota
untuk melakukan penegakan hukum kepada rakyat yang melanggar protokol kesehatan
(Prokes) dalam bentuk kerumunan sehubungan dengan adanya kegiatan ekonomi ataupun
keagamaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berbekal
instruksi itu, pemerintah daerah lantas menyusun berbagai kebijakan dan
regulasi. Lucunya, yang menonjol dilakukan adalah penegakkan hukum dengan
beragam sanksi. Padahal PSBB dan PPKM tidak dikenal dalam UU Nomor 6 Tahun 2018
tentang Kekarantinaan Kesehatan dan UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah
Penyakit Menular.
Lucu? Iya
memang lucu. Kita dengan misalnya kepala daerah mendenda warung hingga Rp2
juta. Karena mungkin takut tidak terpilih kembali, akhirnya denda dikembalikan.
Ada pula sanksi berupa sanksi sosial memberi makan pasien Isoman, membeli
masker, menyapu jalan, dan sebagainya. Sanksi itu ada dalam norma hukum atau
tidak?
Pelaku UMKM
dibatasi operasionalnya, tapi pajak dan retribusi jalan terus. Ekonomi makin
sulit, kegiatan dibatasi, tapi pajak dan retribusi masuk ke pundi-pundi masuk
ke Negara dan/atau daerah. Ini bukan lucu, tapi horor bagi rakyat kecil.
Wajar saat
ada penertiban yang dilakukan aparat, rakyat bilang “Bapak, ibu enak gajian
tiap bulan. Kami kalau tidak jualan tidak makan”.
Protes
lembut pelaku usaha kecil ini, mencerminkan para pengelola Negara tidak
sepenuhnya menjalankan tata Negara dan administrasi Negara dengan baik. Para
pejabat pemerintahan, mengabaikan tata pemerintahan. Artinya apa? Rakyat di
tengah himpitan ekonomi karena pandemi, benar-benar membutuhkan kehadiran
Negara beserta aparatus pemerintahan, tidak sekadar menuntut kewajiban rakyat,
tapi juga memenuhi seluruh hak rakyat.
Kenapa
pilihannya PSBB lalu berubah jadi PPKM, karena memang Negara tidak mampu
memenuhi hak seluruh rakyat. Jika
istilah karantina sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan dan UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit
Menular dijalankan, Negara harus menjamin rakyat mendapatkan pelayanan
kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan
kehidupan sehari-hari sebagaimana diatur Pasal 8 UU Kekarantinaan Kesehatan. Di
sisi lain, Pasal 9 UU Kekarantinaan Kesehatan mengatur, rakyat diwajibkan
mematuhi upaya penanggulangan tersebut dengan baik.
Menyadari
Negara tidak mampu memenuhi hak rakyat, mestinya dicari titik temu. Sanksi yang
diterapkan seyogyanya mengedukasi, mendidik untuk taat protokol kesehatan
Covid-19. Bukan malah membebani dan memberatkan kondisi yang sebenarnya sudah
sangat berat dijalani.
Asas salus
populi suprema lex esto, keselamatan rakyat harus menjadi hukum tertinggi bukan
sekadar ilusi. Jangan sampai rakyat sakit bukan karena Covid, tapi terbebani
sanksi.
Pandemi ini
pada akhirnya menjadi pembelajaran, Negara secara substansi telah berupaya
untuk menyelamatkan rakyat, meski praktiknya masih banyak yang bolong di
sana-sini.
Komentar
Posting Komentar