‘Membunuh’ Tuhan di Ujung Jari
MERCUSUAR-Pagi yang cerah. Tonakodi menghadiri undangan diskusi
sekelompok mahasiswa. Temanya cukup menarik, tantangan gerakan mahasiswa di era
society 5.0.
Menarik. Ya, karena tema diskusi sangat kontemporer dan
bersesuaian dengan kondisi saat ini dan masa depan.
Di hadapan peserta diskusi, Tonakodi berbicara sedikt
ilmiah- (dan sedikit sok pintar. ..hehehe). Tidak seperti
biasanya bicara ala rakyat kecil di dego-dego tua bawah
pohon Talise.
“Menyambut era society 5.0, karakter era Revolusi Industri
4.0 masih relevan. Setiap orang dituntut berpikir kritis, kreatif, dan inovatif
agar mampu memecahkan masalah yang rumit, masalah yang sangat komplek,” Tonakodi
mulai mengantar diskusi yang menurut dia sendiri, akan sangat membosankan.
Maklum, Tonakodi lebih akrab dengan isu harga cabai, ikan,
atau mahalnya harga beras.
Bukan hanya itu, era 4.0 mengharuskan orang memiliki
kemampuan manajerial, bisa berkoordinasi dengan orang lain, mapan dalam
kecerdasan emosional, mampu mengambil keputusan, berorientasi pada pelayanan,
dan memiliki kemampuan negosiasi.
Society 5.0 akan ditandai dengan penyatuan ruang maya dan
ruang fisik yang dilengkapi dengan kecerdasan buatan. Aktivitas manusia akan
difokuskan pada human centered yang berbasis pada teknologi.
Di era society 5.0, era disrupsi masih akan berlangsung.
Ini seperti pisau bermata dua. Pada satu sisi teknologi informasi akan
memudahkan kerja seseorang, namun juga mampu menciptakan kehampaan jiwa dalam
pekerjaan.
“Dalam konteks inilah, kecerdasan spiritual perlu hadir.
Ada ruang hampa era 4.0 hingga 5.0 yang harus diisi dengan nilai moral, etika,
rasa empati, simpati, cinta kasih yang itu makin samar saat ini,” kata
Tonakodi.
Bahkan, hari ini banyak manusia telah ‘membunuh’ Tuhan
dengan ujung jarinya. Tuhan hilang saat jemari manusia memainkan gadget.
Sontak peserta diskusi kaget.
“Kenapa bisa Tonakodi. Mustahil Tuhan mati, bukankah Dia
Maha Kuasa,” seru salah seorang peserta diskusi.
Tonakodi tersenyum.
Benar. Tuhan akan selalu ada. Manusia mengakui atau tidak,
menyembah atau meninggalkannya, Tuhan akan selalu ada, karena keberadaan Tuhan
tidak memerlukan pengakuan dan penyembahan manusia.
Tuhan adalah Yang Maha Ada. Tuhan ada dengan zat-Nya
sendiri, dan Dia ada bukan karena ada yang mengadakan atau yang menciptakan.
Semua yang ada di alam ini akan binasa. Dia tetap kekal, Dialah Tuhan yang
mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
Namun, hari ini Tuhan hanya ada dalam hati manusia saat di
tempat ibadah. Tuhan ada hanya di mihrab persembahyangan. Jauh dari itu, Tuhan
tidak dirasakan kehadirannya.
“Saat manusia berselancar di dunia maya, berapa banyak
orang yang tidak merasa berdosa saat menembakkan berondongan peluru ujaran
kebencian? Berapa banyak orang yang mengungkap aib orang lain, permasalahan
rumah tangga, rasis, dan membully orang lain atau postingan-postingan seronok?
Manusia banyak yang lupa, perbuatan di dunia maya pertanggungjawabannya sama
dengan dunia nyata. Tuhan selalu mengawasi, tidak peduli dunia nyata ataupun
dunia maya.”
Kenapa ini terjadi? Karena hilangnya nilai spiritual dan
ada kegagapan budaya pada sebagian besar orang.
“Teknologi hanya alat, manusia yang memberikan warna.
Jadi, nilai-nilai spiritual dan budaya harus hadir mewarnai. Hanya dengan
cara itu etika, rasa empati, simpati, cinta kasih, dan nilai-nilai kemanusiaan
tidak hilang saat jemari kita menggenggam dunia lewat gadget.”
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence akan
mentransformasi jutaan data yang dikumpulkan melalui internet dari segala
bidang kehidupan. Artinya, kecerdasan buatan akan sangat bergantung pada big
data yang disetting para programmer. Jika progammer dan
kita semua tidak mewarnainya dengan nilai spiritual dan budaya pada big
data, maka kecerdasan buatan juga akan lalai dari spiritualitas.
“Lagi-lagi, manusia perlu menghadirkan Tuhan di ujung
jarinya. Jika tidak, mungkin Tuhan akan ‘mati’ selamanya dari kehidupan manusia
karena teknologi buatan manusia sendiri.”
Hanya dengan langkah ini, perkembangan teknologi yang luar
biasa dalam kehidupan manusia, akan bermakna pada nilai-nilai kemanusiaan.
Jelang zuhur, diskusi selesai. Tonakodi bersyukur hari itu
dapat menghadiri undangan kelompok kajian mahasiswa, meski hanya sekadar
berbagi cerita. ***
Komentar
Posting Komentar