Bukan Sekadar Populisme
MERCUSUAR-Pagi yang cerah. Tonakodi menyempatkan diri berolahraga ringan, berjalan
santai naik ke bukit kecil di ujung kampung.
Jangan bayangkan Tonakodi olahraga pagi itu dengan pakaian seperti
lazimnya orang olahraga. Ia berjalan santai masih dengan pakaian yang ia
kenakan untuk salat subuh.
Satu kilo meter menuju perbukitan, Tonakodi menyaksikan orang lalu
lalang. Sebagian berolahraga, sebagian mengejar waktu untuk bekerja.
Sampai di atas bukit, sudah ada beberapa orang di sana. Menyaksikan
panorama pagi selain menentramkan jiwa, juga membuat raga semakin sehat.
Betapa indah kampungku, batin Tonakodi.
Namun ada yang mengganjal dalam pikiran Tonakodi. Semakin matanya jauh
memandang, keindahan alam makin pudar. Perbukitan jauh di seberang kampung,
mulai gundul di sana-sini. Aktivitas tambang telah menodai keasrian alam.
Di tengah gejolak pemikiran seputar aktivitas tambang, Tonakodi
menangkap pembicaraan yang tak kalah menarik dari beberapa orang di atas bukit.
Tonakodi pun menyimak, tanpa mencampuri pembicaraan itu.
“Bagus juga kepala kampung kita le.
Rencana mau buat program bertemu rakyat secara berkala,” kata salah satu dari
mereka.
Apa bagusnya? Aspirasi zaman (dan mungkin hingga zaman kedepan), tidak
lagi menginginkan sekat terlalu tebal antara rakyat dan pemimpin. Komunikasi
antara kepala kampung dengan warga harus cair dan egaliter. Suasana seperti itu
diharapkan berujung positif pada partisipasi warga dalam pembangunan.
“Bagus, sepanjang praktiknya merupakan cermin dari pemikiran dan
paradigma pemimpin memandang eksistensi dan peran warganya,” sahut orang
satunya.
Kenapa? Karena banyak pemimpin terjebak pada jerat populisme.
Banyak yang mendekati rakyat bertujuan hanya untuk memelihara popularitas. Bagi tokoh politik, popularitas sangat
penting dan malah mungkin menjadi nomor satu dari sekian banyak hal. Persoalan
lain boleh lewat, popularitas harus terjaga.
“Kalau saya, populisme harus paralel dan seiring dengan
realisme program. Untuk apa membangun populisme, kalau program tidak rasional,
tidak realistis, tidak mendatangkan kemanfaatan untuk warga? Pemimpin kampung
sebagai arsitek pembangunan harus mampu mendefinisikan cetak biru pembangunan,
berdasarkan targat maksimal yang realistis. Dia juga harus memosisikan diri
sebagai dirigen yang bisa mengolaborasikan peran semua pihak, sehingga simponi
pembangunan tidak sumbang,” cerocos pria ketiga panjang lebar.
“Tapi kita juga sering menemukan fakta, beda standar
nilai dalam pemerintahan dan nilai yang dipersepsi masyarakat. Akhirnya pilihan
populisme menjadi tren, karena para pemimpin lebih senang mendapatkan tepuk
tangan masyarakat daripada bekerja mengedepankan tata kelola pemerintahan yang
membawa manfaat,” sambungnya.
Tonakodi tersenyum. Tersirat pancaran kebahagiaan dari
wajahnya pagi itu.
“Seandainya semua warga di kampung ini seperti mereka
semua, betapa indahnya politik di kampong ini. Kualitas demokrasi, juga akan
semakin meningkat,” batin Tonakodi.
Mentari pagi mulai menghangat, Tonakodi pun beringsut
menuruni perbukitan. ***
Komentar
Posting Komentar