Lebih Percaya Keledai?
PILKADA telah usai. KPU secara berjenjang telah melakukan perhitungan suara. Meski secara umum, pemilihan berjalan aman, lancar, dan damai, namun ada catatan merah Pilkada. Catatan itu telah terjadi berulang kali, saban perhelatan politik dilakukan. Apalagi kalau bukan politik uang.
Bawaslu RI, menemukan adanya berbagai dugaan politik uang pada pemilihan gubernur, bupati dan wali kota pada Pilkada 2020. Hasil ini merupakan laporan dari pengawas pemilu di seluruh Indonesia.
Data pengawasan Bawaslu hingga Rabu (9/12/2020) pukul 14.00 WIB, penanganan di pengawas pemilu terdapat 109 laporan dan 96 temuan yang kemudian diteruskan ke penyidik sebanyak 34 laporan. Masih proses di pengawas pemilu sebanyak 55 laporan dan dihentikan pengawas pemilu sebanyak 116 laporan.
Catatan Bawaslu, bagi sebagian kalangan dianggap kecil, sepele. Fakta ini bisa jadi seperti fenomena gunung es, belum menggambarkan kondisi sebenarnya. Fakta di lapangan, politik uang jauh lebih besar-dan mungkin massif- dari angka catatan Bawaslu.
Ambil contoh di Sulteng. Sejauh ini baru ada satu putusan pengadilan terhadap praktik politik uang. Pelaku yang merupakan tim pemenangan atau relawan salah satu pasangan calon wali kota Palu dijatuhi vonis 36 bulan penjara dan denda Rp200 juta subsider 2 bulan.
Di media sosial, ramai beredar tayangan bagi-bagi uang, sembako, kartu tertentu yang menjajikan materi, dan lain-lain barang yang bisa dikategorikan sebagai praktik politik uang.
Praktik politik uang telah menodai demokrasi sejak lama, dan terus terjadi sepanjang iven pemilihan dilaksanakan. Sangat disayangkan praktik itu masih terjadi hingga kini.
Siapa yang harus bertanggungjawab, memperbaiki dan membersihkan noda demokrasi bermerek politik uang? Setidaknya ada tiga aktor utama pemilihan yang harus bertanggungjawab.
Pertama, partai politik. Partai politik adalah sumber awal kualitas demokrasi. Partai politik berperan besar dalam pendidikan politik masyarakat dalam mewujudkan demokrasi tanpa politik uang. Partai politik dalam mewujudkan antipolitik uang, dapat memulai dari rekruitmen pasangan calon kepala daerah hingga upaya memenangkan calon yang diusung.
Secara realistis, celah untuk praktik politik uang selalu terbuka. Maka, pendidikan politik masyarakat tetap merupakan elemen yang penting dan vital untuk membangun kesadaran kolektif bahwa politik uang berisiko menodai demokrasi.
Kedua, pasangan calon kepala daerah. Harus dipastikan bahwa pasangan calon, merupakan orang-orang berintegritas yang tidak menghalalkan segala cara untuk menang. Keinginan menggebu untuk menang, akan mendorong orang melakukan segala hal, termasuk praktik politik uang. Bahkan kadang mengabaikan tuntunan moral dengan beragam alasan.
Ketiga, penyelenggara pemilihan. KPU dan Bawaslu sebagai pemegang mandat rakyat untuk melaksanakan pemilihan, selain ditopang regulasi atau hukum yang ‘mengharamkan’ poltik uang, juga harus memiliki keberanian bersikap tegas dan jujur menegakkan aturan. Tanpa kejujuran dan ketegasan penyelenggara, sebaik apapun hukum penyelenggaraan pemilihan, tak akan mampu meredam praktik politik uang. Meminjam pemikiran Lawrence M. Friedman, efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum.
Kala praktik politik uang masih merajalela, proses demokrasi ternoda, sesungguhnya pemimpin terpilih terlahir dengan dosa moral-politik yang kelak harus dipertanggungjawabkan pada Tuhan.
Budaya antipolitik uang, harus terus digemakan dan dibangun sejak dini. Jangan pernah merasa lelah membangun budaya politik di atas moral kemanusiaan. Gerakan antipolitik uang menjadi tugas besar bersama seluruh elemen bangsa mewujudkan demokrasi berkualitas. Demokrasi yang melahirkan pemimpin tanpa beban ‘dosa’ politik uang.
Keledai pun tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Tapi kita melihat ‘dosa’ politik terulang setiap masa. Haruskah kita lebih percaya pada keledai? ***
Sumber: www.mercusuar.web.id
Komentar
Posting Komentar