Critical Legal Studies

 Oleh: Temu Sutrisno

 

 

Studi Hukum Kritis atau Critical Legal Studies (CLS), adalah teori yang berisi penentangan terhadap norma-norma dan standard-standard di dalam teori dan praktek yang selama ini telah diterima. Penganut Studi Hukum Kritis percaya bahwa logika-logika dan struktur hukum muncul dari adanya power relationship dalam masyarakat. Moh Mahfud MD menegaskan, doktrin hukum yang selama ini terbentuk sebenarnya berpihak pada mereka yang mempunyai kekuatan (power) secara politik[1]. Moh.Mahfud MD menegaskan dalam disertasinya Politik Hukum di Indonesia bahwa, “Hukum merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai formalisasi atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaingan.” Sementara politik itu sendiri adalah pertarungan kepentingan antar kelompok dalam masyarakat atau negara.[2]

Teori hukum tradisional mengajarkan bahwa hukum merupakan seperangkat aturan dan prinsip-prinsip yang memungkinkan masyarakat mempertahankan ketertiban dan kebebasannya. Hukum harus netral dan dapat diterapkan pada siapa saja. Konsep dan wacana yang ideal dalam hukum yang pada akhir-akhir ini hanya dapat dijadikan sebagai pijakan dan cita-cita saja.

Teoretisi postmodern percaya bahwa hukum pada prinsipnya tidak mempunyai dasar yang obyektif dan tidak ada yang namanya kebenaran sebagai tempat berpijaknya hukum. Hukum adalah kekuasaan dan merupakan alat kekuasaan, sehingga kalangan teoretisi postmodern disebut juga sebagai golongan antifoundationalists, yang mempunyai network pemikiran dan merupakan pembela gerakan Critical Legal Studies.[3]

Gerakan Critical Legal Studies tidak berpijak pada satu model norma tertentu dan tidak pernah bertujuan untuk dapat menemukan model norma tertentu. Gerakan ini mencoba untuk mencermati teori dan praktek hukum yang sepenuhnya antitesis sehingga oposisinya juga tentu memiliki argumennya sendiri. Karena  itu sebagian orang menyebut bahwa gerakan Critical Legal Studies tidak memiliki bentuk hakikatnya tetapi memiliki sejarah.

 

SEJARAH GERAKAN CLS

Critical Legal Studies adalah suatu gerakan oleh akademisi hukum beraliran kiri (leftist), yang lahir karena pembangkangan atas ketidakpuasan terhadap teori dan praktek hukum yang ada pada dekade 1970-an, khususnya terhadap teori dan praktek hukum dalam bidang-bidang:

1.            pendidikan hukum

2.            pengaruh politik yang sangat kuat terhadap dunia hukum

3.            kegagalan peran hukum dalam menjawab permasalahan yang ada

Critical Law Studies mulai eksis dalam dekade 1970-an yang merupakan hasil dari suatu konferensi tahun 1977 tentang Critical Legal Studies di Amerika Serikat, sedangkan di Inggris gerakan Critical Legal Studies dibentuk pada tahun 1984.

Pada koferensi Critical Legal Studies tahun 1974 dibicarakan tentang adanya kesenjangan yang besar antara hukum dalam teori (law in box) dengan hukum dalam keyataan (law in action) dan kegagalan dari hukum dalam merespon masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat.

Latar belakang lahirnya ajaran Critical Legal Studies adalah fokus sentral pendekatan Critical Legal Studies adalah untuk mendalami dan menganalisis keberadaan doktrin-doktrin hukum, pendidikan hukum, dan praktek institusi hukumyang menopang dan mendukung sistem hubungan-hubungan yang oppressive dan tidak egaliter.

Teori kritis bekerja untuk mengembangkan alternatif lain yang radikal, dan untuk menjajaki peran hukum dalam menciptakan hubungan politik, ekonomi dan sosial yang dapat mendorong terciptanya emansipasi kemanusiaan.

 

KONSEP CLS

Aliran Critical Legal Studies meiliki beberapa karakteristik umum sebagai berikut :

1.      Aliran Critical Legal Studies ini mengkritik hukum yang berlaku yang nyatanya memihak ke politik, dan sama sekli tidak netral

2.      Ajaran Critical Legal Studies ini mengkritik hukum yang sarat dan dominan dengan ideologi tertentu

3.      Aliran Critical Legal Studies ini mempunyai komitmen besar terhadap kebebasan individual dengan batasan tertentu, karena aliran ini berhubungan dengan emansipasi kemanusiaan

4.      Ajaran Critical Legal Studies ini kurang mempercayai bentu-bentuk kebenaran yang abstrak dan pengetahuan yang benar-benar obyektif. Karena itu ajaran Critical Legal Studies menolak keras ajaran-ajaran dalam positivisme hukum

5.      Aliran Critical Legal Studies ini menolak perbedaan antara teori dan praktek, dan menolak juga perbedaan antara fakta dan nilai, yang merupakan karakteristik dari paham liberal.[4]

Aliran hukum kritis mempunyai pandangan :

             Hukum mencari legitimasi yang salah

             Hukum dibelenggu oleh kontradiksi-kontradiksi

             Tidak ada yang namanya prinsip-prinsip dasar dalam hukum

             Hukum tidak netral

 

CLS menawarkan analisis kritis terhadap hukum dengan melihat relasi suatu doktrin hukum dengan realitas dan mengungkapkan kritiknya. berbeda dengan kaum legis liberial, gerakan CLS ini memang ingin mengarahkan kritik mereka mempunyai sumbangan bagi transformasi politik dalam masyarakat atau mempunyai implikasi  praksis. Kalangan CLS ingin mengedepankan analisis hukum yang tidak hanya bertumpu semata-mata pada segi-segi doktrinal (internal relation), tapi juga dengan mempertimbangkan berbagai faktor di luar itu seperti preferensi-preferensi ideologis, bahasa, kepercayaan, nilai-nilai, dan konteks politik dalam proses pembentukan dan aplikasi hukum (external relation). CLS menuntut pemahaman terhadap kepustakaan fenomenologi, post-struktualisme, dekonstruksi, dan linguistik untuk membantu memahami relasi eksternal tersebut.

Bagi CLS, hukum adalah sebuah produk yang tidak netral karena disana selalu ada berbagai kepentingan-kepentingan tersembunyi di belakangnya. Teori CLS sangat bermanfaat terutama untuk menganalisis proses-proses hukum yang terjadi di Amerika. Studi ini mungkin sangat berguna untuk meninjau lebih jauh perkembangan analisis hukum yang mempunyai jalinan-jalinan rumit, yang tidak cukup diuraikan melalui hukum formalisme dan obyektifisme.

Salah satu bentuk paling umum yang dipraktekkan oleh studi hukum kritis adalah dengan membedah konsistensi internal dari sebuah teori, sebuah kesimpulan karakteristik yang berlawanan dengan teori hukum liberal.

Cara mereka dalam mengembangkan diskursus mempunyai watak oposan terhadap jurisprudensi dalam tradisi hukum liberal sehingga sejak awal kehadirannya, gerakan ini mendapat perlawanan dan tentangan keras dari ahli-ahli hukum positivis dan kaum liberal. Dimana inti pemikiran liberal adalah membangun teori tentang pemisahan hukum dengan politik dan otonomi atau netralitas proses hukum.

Menurut teori hukum relasional, ia dapat memberikan tempat yang penting bagi perhatian tradisional atas teori hukum liberal tetapi juga pada saat yang sama memungkinkan untuk mencapai tujuan kritis yang menandai perbedaan antara teori hukum kritis dengan teori hukum liberal.

Ada berbagai macam varian di dalam arus CLS. Varian itu disebabkan karena adanya beragam latar belakang sumber intelektual dan orientasi politik dari para pemikir yang ada di dalam critical legal studies. Walaupun memang berisiko mengakibatkan terjadinya penyederhanaan dalam memandang critical legal studies, tetapi setidaknya dapat disebutkan 3 (tiga) varian utama dalam pemikiran critical legal studies ini, yaitu:

             Arus pemikiran yang diwakili oleh Unger, yang mencoba mengintegrasikan 2 (dua) paradigma yang saling bersaing, yaitu paradigma konflik dan paradigma konsensus.

             Arus pemikiran yang diwakili oleh David Kairys, yang mewakili tradisi pemikiran hukum marxis atau tepatnya mewarisi kritik marxis terhadap hukum liberal yang dianggap hanya melayani sistem kapitalisme. Arus pemikiran ini mempunyai kecenderungan kepada sosialisme humanistik sebagai komitmen politiknya.

             Arus pemikiran yang diwakili oleh Kennedy, yang menggunakan metode ekletis yang membaurkan sekaligus perspektif strukturalis, fenomenologis dan neo-marxis.[5]

 

Roberto Unger dalam bukunya mengakui tentang adanya penjabaran dari pihak yang boleh dibilang konservatif terhadap kritik kaum critical legal studies tentang formalisme. Menurut pihak konservatif tersebut, kritikan oleh kaum critical legal studies tersebut hanya valid jika ditujukan terhadap konstruksi hukum yang sistematik dari para ahli hukum yang sangat ambisius dan tidak valid jika ditujukan terhadap argumentasi yang khusus dan problem oriented dari pihak lawyer dan hakim dalam praktek. Akan tetapi, menurut Unger, kritik kaum critical legal studies terhadap ajaran formalisme, sebenarnya juga dalam rangka mempertahankan ajaran formalisme dengan berbagai argumentasi, di samping, juga dalam rangka menunjukkan bahwa tidak benar tindakan yang memisahkan antara penalaran hukum (legal reasoning) dan politik, ideologi, dan filsafat.

Para penganut aliran CLS juga mengritik pandangan modern tentang organisasi pemerintahan. Sebab, menurut para penganut aliran critical legal studies tersebut bahwa setiap sarana untuk membatasi kekuasaan negara, akan cenderung juga merugikan masyarakat. Karena itu, diperlukan suatu cara yang bersifat resolusi, di mana dapat terjadi pembatasan kekuasaan negara tanpa membatasi aktivitas negara yang bersifat transformatif.

CLS menyatakan bahwa masyarakat liberal dipenuhi dengan dominasi dan hierarkhi. Kelas atas membentuk struktur yang berlaku bagi lainnya untuk memperlancar kehidupannya. Negara hukum yang ideal adalah yang dapat menandai kontradiksi dan hierarkhi dalam masyarakat liberal. Jika dikatakan bahwa hukum tidak bertugas untuk menemukan kebenaran, tetapi menemukan kompleksitas yang telah ada, maka teori hukum tidak akan bermakna tanpa teori sosial.

Kebenaran pernyataan tentang kehidupan sosial sesungguhnya telah dikondisikan oleh seluruh sistem sosial yang berlaku. Kebenaran bersifat relatif menurut masyarakat tertentu atau kelompok sejarah tertentu. Seseorang secara keseluruhan struktur sosial adalah produk sejarah, bukan alam. Sejarah dipenuhi dengan pertentangan-pertentangan, dan aturan sosial merupakan garis pemisah yang menggambarkan posisi masing-masing. Kekuatan menjadi hak, kepatuhan menjadi tugas, dan untuk sementara pembagian hierarkhi sosial menjadi kabur.

CLS mencoba untuk mempengaruhi realitas sosial. Struktur yang ada merupakan penggunaan kepercayaan dan asumsi yang menciptakan suatu masyarakat dalam realitas hubungan antar manusia. Struktur kepercayaan atau ideology tersebut memiliki potensi terselubung dalam tendensinya untuk mempertahankan dinamikanya sendiri untuk menciptakan doktrin hukum yang menyalahkan kondisi dan alam. Bagi critical legal studies, kesadaran hukum adalah alat yang berhubungan dengan pikiran untuk melakukan penindasan. Hal ini merupakan cara untuk menyembunyikan atau menghindari kebenaran fundamental bahwa segala sesuatu itu dalam proses perubahan dan kehadiran.

Namun demikian, walaupun ada beragam arus pemikiran dalam CLS ini, para pemikir CLS tersebut tetaplah bersatu dalam pokok pemikiran yang tidak puas dan melancarkan kritik terhadap paradigma hukum liberal. Untuk mengkritisi doktrin hukum yang telah terbentuk selama ini, critical legal studies menggunakan metode:

             Trashing, yaitu dilakukan untuk mematahkan atau menolak pemikiran hukum yang telah terbentuk. Teknik trashing dilakukan untuk menunjukkan kontradiksi dan kesimpulan yang bersifat sepihak berdasarkan asumsi yang meragukan.

             Deconstruction, adalah membongkar pemikiran hukum yang telah terbentuk. Dengan melakukan pembongkaran ini, maka dapat dilakukan rekonstruksi pemikiran hukum.

             Genealogy, adalah penggunaan sejarah dalam menyampaikan argumentasi. Genealogy digunakan karena interpretasi sejarah sering didominasi oleh pihak yang memiliki kekuatan. Interpretasi sejarah ini yang kemudian digunakan untuk memperkuat suatu konstruksi hukum.[6]

 

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN CLS

Kelebihan CLS terdiri dari berbagai macam pemikiran yang dikemukakan oleh banyak ahli hukum. Pemikiran-pemikiran tersebut bervariasi dari pemikiran yang bercirikan marxian ortodok sampai pada pemikiran post-modern. Ada beberapa kesepahaman antara pemikiran-pemikiran tersebut, yaitu ketidakpercayaan terhadap netralitas hukum, struktur sosial yang hierarkhis dan didominasi ideologi kelompok tertentu, dan keinginan untuk merombak struktur sosial.

Kekritisan CLS dalam memahami realitas sosial dan tata hukum serta komitmen untuk mengembangkan teori hukum berdasarkan praksis sosial untuk merombak struktur sosial yang hierarkhis adalah kelebihan utama critical legal studies. Kekuatan ini diwujudkan dalam bentuk analitis kritis terhadap tata hukum, nilai-nilai dan rasio-rasio hukum yang digunakan oleh para hakim yang selama ini disebut netral dan benar secara obyektif.

Kelebihan lain CLS adalah perhatiannya yang sangat besar erhadap pengakuan individu sebagai subyek kehendak utama dalam tatanan sosial. Kelebihan ini seperti membangkitkan kembali pandangan eksistensialis Kant-ian yang akhir-akhir tergerus oleh gelombang modern dan industri sehingga menimbulkan keterasingan individu subyektif karena tersedot arus budaya massa yang abstrak.

Namun teori ini tidak terlepas dari berbagai kekurangan. Sebagaimana pemikiran kritis, apabila tidak digunakan secara tepat dengan mengingat tujuan dan batas penggunaan, kritisisme bisa berujung pada nihilisme. Atau paling tidak terjebak pada lingkaran kritik tanpa ujung dalam tingkatan wacana sehingga melupakan tugas praktis terhadap masyarakat.

Kelemahan lain adalah dari sifat asli pemikiran kritis yang selalu dalam dirinya sendiri melakukan dekonstruksi sehingga perubahan dan gejolak selalu terjadi. Padahal realitas masyarakat selalu cenderung mempertahankan nilai-nilai dan tatanan lama dan hanya mengijinkan perubahan yang tidak terasa. Akibatnya CLS sangat sulit menjadi mainstream pembangunan hukum. Tugas utama CLS adalah melancarkan kritik untuk perubahan yang dilakukan oleh orang lain.

 

PERKEMBANGAN CLS DI INDONESIA

CLS bagi kalangan hukum di Indonesia sendiri masih dianggap baru. Perkembangan awal critical legal studies digunakan oleh kalangan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk memahami kebijakan dan struktur hukum yang menindas. Hal ini sesuai dengan mainstream utama pemikiran LSM yang cenderung kritis dengan menggunakan pemikiran-pemikiran marxian dan mazhab kritis. Namun untuk saat ini kita tidak tahu apakah para aktivis LSM masih cenderung kritis dalam pemikiran-pemikirannya.

Pemikiran  CLS juga telah mempengaruhi pemikiran para ahli hukum di Indonesia. Hal itu dapatlah dipahami, karena keadaan hukum di Indonesia mirip dengan keadaan hukum di Amerika Serikat pada saat CLS ini lahir. Jadi dengan demikian, penggunaan metode yang ditawarkan oleh CLS sangat membantu dalam memberikan pemahaman dan kritik terhadap keadaan hukum di Indonesia.

Kritik terhadap kondisi hukum di Indonesia yang sangat positivistik, salahsatunya dikemukanan Satjipto Raharjo, dengan gagasan Hukum Progresif. Hukum progresif merupakan salah satu gagasan yang paling menarik dalam literatur hukum Indonesia pada saat ini. Hal ini menarik dibicarakan karena hukum progresif telah menggugat keberadaan

hukum modern yang telah dianggap mapan dalam berhukum selama ini.[7]

Hukum progresif didasarkan oleh keprihatinan terhadap kontribusi yang rendah oleh ilmu hukum di Indonesia dalam mencerahkan bangsa keluar dari krisis termasuk krisis dalam bidang hukum. Munculnya hukum modern mengguncang ketertiban dalam masyarakat. Hukum yang seyogyanya dibutuhkan untuk menciptakan atau menata ketertiban masyarakat pada praktiknya seringkali justru meminggirkan ketertiban yang telah ada dalam mayarakat lokal atau masyarakat adat. Hukum progresif berkehendak agar hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Hukum progresif bertumpu pada manusia yang melakukan mobilisasi hukum, maka penegak hukum menjadi faktor penentu bagi lahirnya hukum yang berpihak pada keadilan, ketertiban, kemanfaatan perdamaian. Dengan demikian hukum progresif satu rezim dengan Restorative justice, yang pada hakekatnya merupakan penataan kembali agar pemidanaan lebih adil baik bagi pelaku, korban maupun masyarakat.

Penerapan hukum sebagaimana dimaksud Satjipto Raharjo dan studi hukum kritis, menurut penulis dapat ditemukan pada kasus hukum Abdul Qadir Jaelani (AQJ), putra musisi Ahmad Dhani, yang menabrak dan mengakibatkan tujuh (7) orang meninggal dunia.

Ditinjau dari segi yuridis, AQJ masih berumur 13 tahun yang dalam hal ini masih dalam kategori anak anak. Namun  dalam Undang-Undang No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, anak yang telah berumur 12 tahun dan dibawah 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana dapat dikenai pidana. Dengan demikian AQJ sudah dapat dikenai pidana.

Terkait pidana yang dijatuhkan kepada AQJ, AQJ dikenakan Undang-Undang No 22 tahun 2009 tentang Lalulintas Pasal 310 ayat (3) dengan ancaman hukuman enam tahun penjara. Dengan kondisi AQJ dibawah umur, maka hukuman tersebut dipotong setengah  atau sepertiga pidana orang dewasa sebagaimana mestinya.

              Demikian halnya dengan Ahmad Dhani selaku orangtua AQJ, tidak dapat dikenakan pidana. Karena pidana tidak dapat dilimpahkan dan diwariskan terhadap orang lain. Karena yang bersalah adalah murni kesalahan AQJ. Hukum pidana Indonesia menganut asas zeen straft zonder schuld yang artinya tiada pidana tanpa kesalahan. Ahmad Dhani tidak dapat dikenakan pertanggung jawaban pidana (toerekening straaf bar feit), karena tidak memiliki hubungan langsung dengan korban dan kejadian atau tindak pidana yang terjadi (teori kausalitas).

Majelis hakim menjatuhkan vonis AQJ dikembalikan kepada orangtuanya. Dengan kata lain, putra bungsu Ahmad Dhani dan Maia Estianty itu, bebas dari tuntutan yang diajukan jaksa. Meski demikian, majelis hakim mengatakan bahwa dakwaan yang disampaikan oleh jaksa secara keseluran sudah terpenuhi. AQJ, dinyatakan terbukti bersalah karena melanggar Pasal 310 ayat 4, 310 ayat 2 dan 3, dan 310 ayat 1, UU No 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan Angkutan Jalan. Selain itu, hakim juga menolak hukuman bersyarat dari jaksa agar AQJ menjalani kerja sosial dan denda Rp5.000.000 (lima juta rupiah).

Dalam amar putusannya, hakim menyatakan AQJ menunjukan sikap sopan dan bertindak baik selama menjalani persidangan, serta dianggap bukan anak yang nakal. Majelis hakim menganggap AQJ kurang perhatian orang tua sehingga masih bisa diberikan pembinaan. Hakim mempertimbangkan hal lain yang meringankan hukuman AQJ karena adanya perdamaian antara keluarga terdakwa dengan para korban.

Keluarga terdakwa dianggap bertanggung jawab menanggung biaya pengobatan dan pemakaman para korban yang luka maupun meninggal dunia. Bahkan keluarga AQJ bersedia menanggung biaya pendidikan hingga perguruan tinggi bagi anak korban yang meninggal dunia.

Putusan kasus AQJ tergolong "restorative justice" dengan mempertimbangkan pergantian Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang peradilan anak yang diberlakukannya Undang-Undang No.11 Tahun 2012.***

 

------

Daftar Pustaka

 

Adian, Donny Gahral, Demokrasi Substansial: Risalah Kebangkrutan Liberalisme, Penerbit Koekoesan, Jakarta 2010

Anom Surya Putra, Teori Hukum Kritis: Struktur Ilmu dan Riset Teks, Citra Aditya Bakti, Bandung  2003

Mahfud MD, Moh., Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta 1998

Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis (Paradigma Ketidakberdayaan Hukum), Citra Aditya Bakti, Bandung 2003

Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta 2009

 

 

________________________________________

[1] . Mahfud MD,  Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta 1998, hal.7

[2] . Adian, Donny Gahral, Demokrasi Substansial: Risalah Kebangkrutan Liberalisme, Penerbit Koekoesan, Jakarta 2010, hal.93

[3] . Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis (Paradigma Ketidakberdayaan Hukum), Citra Aditya Bakti, Bandung 2003, hal. 1

[4] . Munir, Ibid, hal. 90

[5] . Anom Surya Putra, Teori Hukum Kritis: Struktur Ilmu dan Riset Teks, Citra Aditya Bakti, Bandung 2003, hal. 18

[6] . Ibid

[7] . Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta 2009, hal. 1

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

Negeriku Makin Lucu