Peace, Setop Anarkistis
Oleh: Temu Sutisno
MERCUSUAR-Penyampaian pendapat di depan umum merupakan hak setiap warga Negara yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi. Pasal 28E UUD 1945 tegas menyebut setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Namun dalam pelaksanaannya, sering menimbulkan masalah. Bagaimana tidak, entah sudah berapa kali terjadi. Penyampaian pendapat di muka umum yang mewujud dalam aksi demonstrasi, kerap kali menimbulkan korban antara massa aksi dan aparat keamanan.
Massa aksi dan aparat keamanan, sama-sama menjadi korban tindakan anarkistis. Sesama anak bangsa, yang semestinya saling berangkulan, bentrok berhadap-hadapan. Korban fisik tak bisa dihindari. Lebih dari itu, ada sarana yang dibangun dari uang rakyat rusak. Di sisi lain, perlengkapan aparat keamanan yang juga dibeli dari uang rakyat, digunakan untuk menggebuk rakyat. Sangat memprihatinkan.
Padahal kedua pihak berdiri atas nama rakyat. Massa aksi meneriakkan jeritan rakyat. Aparat keamanan juga bertindak atasnama pengayoman dan perlindungan pada rakyat. Kalau sama-sama atasnama rakyat, seharusnya kedua belah pihak bisa akur, bisa menghindari anarkistis yang membawa kerugian.
Elok nian, jika kedua belah pihak saling memahami dan tidak terjebak pada tindakan kekerasan.
Apalagi, negeri menghadapi pandemi seperti saat ini. Sangat bijak, bila semua pihak mempelajari dengan sungguh-sungguh materi Undang-Undang Cipta Kerja secara komprehensif, yang menjadi alasan demonstrasi.
Selanjutnya bagi yang menolak, menggugat undang-undang tersebut dan berjuang di Mahkamah Konstitusi. Jalur perjuangan ini selain elegan, juga konstitusional.
Kenapa? Karena kita ingin menghindari kerumunan yang berpotensi menjadi sarana penularan Covid-19. Bagaimanapun, demonstrasi dengan massa yang besar tidak mampu menghindari kerumunan. Kondisi itu, tak urung berpotensi menjadi medium penyebaran Covid-19.
Bentrok aparat dan massa aksi, menjadi pelajaran berharga. Kedepan, pemerintah dan DPR harus lebih mendengarkan aspirasi rakyat. Saat Pemilu 'mengemis' suara rakyat, saat terpilih jangan abai terhadap suara rakyat.
Aparat dan massa aksi harus lebih bersabar dan tidak terprovokasi, agar terhindar dari bentrok dan kekerasan.
Meminjam pernyataan Martin Luther King, kekerasan memberikan hasil sementara. Kekerasan hari ini, bisa jadi akan melahirkan kekerasan-kekerasan selanjutnya setiap penyampaian pendapat di muka umum. Faktanya, tidak sedikit penyampaian pendapat di muka umum berujung rusuh.
Di masa yang akan datang, semoga tidak ada lagi bentrok dan kekerasan diantara anak bangsa. Semoga. ***
Tana Kaili, 8 Oktober 2020
Terbit di Harian Mercusuar dan www.mercusuar.web.id
Komentar
Posting Komentar