Naik Tensi karena Ubi
Oleh: Temu Sutrisno
MERCUSUAR-Tiga bulan jelang Pilkada, tensi kampanye antar pendukung pasangan calon kepala daerah mulai meningkat. Pencitraan kandidat, diskusi, dan kritik antarpendukung, lebih banyak dilakukan di jejaring media sosial. Selain karena efektifitas dan kecepatan informasi, saat ini memang KPU belum menetapkan bakal calon yang lolos ke pemilihan. Apalagi jadwal kampanye. Bagi pendukung, tak perlu menunggu proses itu. Dukungan dan pilihan telah dijatuhkan, utamanya bagi tim di sekitar kandidat.
Kampanye lewat beragam platform media, sah-sah saja. Satu yang harus dihindari antarpendukung, gesekan di dunia maya ke alam nyata. Pencitraan, diskusi, dan kritik terhadap calon tidak boleh mengedepankan sisi emosional, namun lebi pada hal yang sifatnya rasional seperti kebijakan, program, dan kegiatan yang ditawarkan kandidat jika terpilih.
Membangun demokrasi berkualitas, harus dimulai dari gagasan, dari pertarungan ide. Toh semua kandidat berniat baik membangun daerah.
Setidaknya, para pendukung bisa belajar dari kisah Abu Nawas. Konon, di sebuah pasar beberapa pemuda ngobrol tak tentu arah. Akhirnya obrolan memuncak pada karakter dan style manusia terbaik menurut mereka. Tak ada satu yang mau mengalah, semua mengatakan bahwa pandangan mereka yang terbaik. Tensi naik, para pemuda gontok-gontokkan.
Obrolan berhenti, saat istri Abu Nawas lewat. Mata pemuda-pemuda tadi langsung melihat istri Abu Nawas yang berbelanja di pasar. Tak urung tatapan para pemuda membuat istri Abu Nawas risih.
Sampai di rumah, sang istri menceritakan ke Abu Nawas. Abu Nawas tersenyum, tidak marah dan pamit pada istrinya ke pasar.
Di pasar, Abu Nawas mendatangi para pemuda. Bukan untuk protes, atau menghajar para pemuda. Abu Nawas justru mengundang mereka untuk makan malam di rumahnya.
Sebelum pulang, Abu Nawas membeli ubi satu karung. Sampai di rumah, ia meminta istrinya mengolah ubi dengan berbagai olahan, bentuk, dan warna, untuk menjamu tamu yang akan datang makan malam.
Tepat jam makan malam, para pemuda datang. Makanan sudah diatur rapi. Abu Nawas minta istrinya duduk di balik ruang makan.
Para pemuda serentak memilih-milih makanan yang ada sesuai bentuk dan warna yang disukai. Tidak berhenti, mereka juga mencicipi yang lain.
Setelah mencicipi semua, mereka ramai-ramai protes pada Abu Nawas. “Kenapa semua rasa sama, bukankah bentuk dan warna makanan ini beda-beda?”
Abu Nawas tertawa. “Itulah kalian. Kalian tidak sadar bahwa semua manusia sama. Bentuk dan warna, hanya kulitnya saja. Jangan karena ubi, kalian naik tensi. Gontok-gontokkan tidak jelas juntrungnya. Kalian rela berbantah-bantahan, bahkan membuat keributan hanya karena bentuk luarnya. Lihat manusia dari dalamnya, sisi kemanusiannya.”
Para pemuda pun meninggalkan rumah Abu Nawas dengan malu. Mereka pulang dengan kepala tertunduk.
Semoga Pilkada tidak mengantarkan kita pada pertentangan, yang memudarkan nilai-nilai kemanusiaan. ***
Tana Kaili, 10 September 2020
Komentar
Posting Komentar