Tonakodi-Ahli Berpendapat
MERCUSUAR-Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi mengingatkan kepala
daerah untuk mengikutsertakan pakar atau setidak-tidaknya mendengar suara pakar
dalam pengambilan kebijakan pembangunan, dalam masa pandemi Covid-19, Kamis
(25/6/2020).
Seruan Jokowi dalam konteks kehidupan bernegara,
merupakan langkah yang tepat. Sepertinya Jokowi menyadari, beberapa tahun
terakhir kursi kepakaran bukan hanya goyang, malah telah hilang dari kehidupan
sosial-juga pemerintahan.
Meminjam pernyataan Tom Nichols, Penulis buku
Matinya Kepakaran(The Death of Expertise),
keadaan sekarang hampir seperti evolusi terbalik. Masyarakat berbondong-bondong
menjauhi pengetahuan yang teruji sexara ilmiah dan mundur menuju legenda dan
mitos. Jika zaman dahulu disampaikan dari mulut ke mulut, saat ini dikirim dan
disebarkan melalui alat elektronik.
Peradaban saat ini telah memasuki era post-truth.
Masyarakat dikaburkan dan kabur dari fakta-fakta objektif. Pada akhirnya tidak
ada lagi kepercayaan pada pakar. Teramat mudah untuk menemukan orang mengomentari
dan/atau berpendapat atas sesuatu. Dari ruang privat rumah tangga, hingga
area publik seperti kaki lima, warung kopi, kantor tempat kerja sangat mudah
ditemukan orang mebicarakan, berpendapat, mengomentari, dan mengritik sesuatu.
Malah dalam perkembangannya, orang terjebak pada komentar atas komentar.
Komentar dikomentari, walhasil substansi awal yang dikomentari jadi bias. Waktu
berlalu, habis hanya untuk mengomentari dan mengritik sesuatu.
Kenapa? Karena masyarakat percaya tak semua pendapat
pakar benar. Pemikiran seperti ini, pada akhirnya menggiring orang
berkesimpulan semua pakar bisa keliru.
Pemikiran ini juga dibarengi kepercayaan diri yang besar
untuk melawan pengetahuan dan kepakaran. Pemikiran ini menggiring opini, semua
orang pintar dan semua orang bisa berpendapat. Tanpa sadar, banyak orang
terjebak pada efek Dunning-Krugger. Semakin bodoh seseorang, semakin dia merasa
pintar. Orang seperti ini, merasa dirinya berpengetahuan, sehingga bebas
berpendapat. Mereka kehilangan meta-kognisi, kemampuan menyadari ketidakmampuan
diri atau kesalahan yang dilakukan.
Kebebasan berpendapat, telah menggiring munculnya banyak
ahli berpendapat dibanding pakar mengeluarkan pendapat. Lebih banyak ahli
berpendapat daripada pendapat ahli. Tragisnya, ahli berpendapat ini aktiv di
tengah masyarakat dan sebagian besar aktiv menyebarkan pendapatnya melalui
berbagai platform media. Ujung-ujungnya, pendapat ahli berpendapat mengalahkan
pendapat ahli atau pakar yang dibangun dari pondasi ilmiah.
Tidak sulit menemukan satu orang yang sama, dia
berpendapat dan mengomentari banyak hal diluar kompetensinya. Mulai dari
persoalan sosial, politik, hukum, ekonomi, dan sektor atau bidang lain dilahap.
Dia tahu semua hal, kecuali kekurangan dirinya sendiri.
Orang tidak lagi memisahkan mana kelakar dan mana
pendapat pakar. Inilah yang membuat persoalan bangsa tak kunjung selesai.
Karena semua menempatkan dirinya ahli berpendapat, semua ingin didengar. Sangat
sedikit orang yang mau mendengar pendapat ahli. Bisa jadi seruan Presiden tak
akan menimbulkan resonansi di tengah masyarakat, (dan mungkin) hanya sedikit
kepala daerah yang mendengar dan mematuhinya.
“….Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadilah:
11). ***
Komentar
Posting Komentar