Tonakodi-Ahli Pendapat
Oleh: Temu Sutrisno
Sebuah stasiun televisi menayangkan obrolan yang menghadirkan banyak nara sumber, dengan isu seputar politik. Beberapa hari berselang, televisi yang sama menggelar talkshow, gonjang-ganjing hukum.
Di akhir pekan, diskusi beralih ke persoalan ekonomi global
dan pengaruhnya terhadap ekonomi dalam negeri.
Ada yang cukup menarik, ehh aneh. Narasumber dari tiga
perbincangan itu hampir sama, hanya satu dua yang berbeda.
Luar biasa. Apakah televisi tersebut yang tidak menemukan
ahli, atau narasumber memang ahli segala ilmu, atau framing media yang bermain,
untuk menggolkan isu? Hanya pimpinan redaksi dan produser yang bisa menjawab.
Ada anekdot, jika Italia, Argentina, Brazil, dan Jerman
diciptakan Tuhan dengan kaki terbaik. Keempat negara itu, dari anak-anak hingga
lansia sangat mencintai dan pintar olah bola.
Tapi di Indonesia, Tuhan menciptakan dengan kesempurnaan
lidah dan rahang. Walhasil orang Indonesia kuat makan minum dan bercerita.
Cafe, Warkop, dan warung kaki lima penuh dengan orang nongkrong dan bercerita.
Meminjam pernyataan Tom Nichols, Penulis buku Matinya Kepakaran (The Death of Expertise), keadaan sekarang hampir seperti
evolusi terbalik. Masyarakat berbondong-bondong menjauhi pengetahuan yang
teruji secara ilmiah dan mundur menuju legenda dan mitos. Jika zaman dahulu
disampaikan dari mulut ke mulut, saat ini dikirim dan disebarkan melalui alat
elektronik.
Peradaban saat ini telah memasuki era post-truth. Masyarakat
dikaburkan dan kabur dari fakta-fakta objektif. Pada akhirnya tidak ada lagi
kepercayaan pada pakar. Teramat mudah untuk menemukan orang mengomentari
dan/atau berpendapat atas sesuatu. Dari
ruang privat rumah tangga, hingga area publik seperti kaki lima, warung kopi,
kantor tempat kerja sangat mudah ditemukan orang mebicarakan, berpendapat, mengomentari,
dan mengritik sesuatu. Malah dalam perkembangannya, orang terjebak pada
komentar atas komentar. Komentar dikomentari, walhasil substansi awal yang
dikomentari jadi bias. Waktu berlalu, habis hanya untuk mengomentari dan
mengritik sesuatu.
Kenapa? Karena masyarakat percaya tak semua pendapat pakar
benar. Pemikiran seperti ini, pada akhirnya menggiring orang berkesimpulan
semua pakar bisa keliru.
Pemikiran ini juga dibarengi kepercayaan diri yang besar
untuk melawan pengetahuan dan kepakaran. Pemikiran ini menggiring opini, semua
orang pintar dan semua orang bisa berpendapat. Tanpa sadar, banyak orang
terjebak pada efek Dunning-Krugger. Semakin bodoh seseorang, semakin dia merasa
pintar. Orang seperti ini, merasa dirinya berpengetahuan, sehingga bebas
berpendapat. Mereka kehilangan meta-kognisi, kemampuan menyadari ketidakmampuan
diri atau kesalahan yang dilakukan.
Kebebasan berpendapat, telah menggiring munculnya banyak
ahli berpendapat dibanding pakar mengeluarkan pendapat. Lebih banyak ahli
berpendapat daripada pendapat ahli. Tragisnya, ahli berpendapat ini aktif di
tengah masyarakat dan sebagian besar aktif menyebarkan pendapatnya melalui
berbagai platform media. Ujung-ujungnya, pendapat ahli berpendapat mengalahkan
pendapat ahli atau pakar yang dibangun dari pondasi ilmiah.
Bukan hanya di televisi. Tidak sulit menemukan satu orang
yang sama, dia berpendapat dan mengomentari banyak hal diluar kompetensinya.
Mulai dari persoalan sosial, politik, hukum, ekonomi, dan sektor atau bidang
lain dilahap. Dia tahu semua hal, kecuali kekurangan dirinya sendiri.
Orang tidak lagi memisahkan mana kelakar dan mana pendapat
pakar. Inilah yang membuat persoalan bangsa tak kunjung selesai. Karena semua
menempatkan dirinya ahli berpendapat, semua ingin didengar. Sangat sedikit
orang yang mau mendengar pendapat ahli.
“….Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman
di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadilah: 11). *
Palu, 16 Juli 2020
Komentar
Posting Komentar