Seruan Semut Merah

Oleh: Temu Sutrisno

 

 

Auh

Terasa sakit di ujung kaki

Satu dua tiga semut merah

Menggigit jari

Saat aku membungkuk

Hendak menyingkirkannya

Semut merah berkata,

“Kenapa engkau menginjakku?”

Aku terhenyak

Diam membisu

Kaget dengan pertanyaan itu

“Tidakkah engkau membaca kitab suci Tuhanmu?”

Aku berjongkok malu

Aku akui tidak lagi serajin dulu

Semut merah terus menghantam

Pertanyaan bertalu-talu

“Apakah engkau tidak ingat kisah Sulaeman kekasih Tuhanmu?”

Perlahan aku jawab,

Aku tahu

“Adakah orang yang lebih berkuasa dari Sulaeman?”

Tidak ada

Adakah orang yang lebih kaya dari Sulaeman?”

Aku yakin, tidak ada

“Adakah orang yang bisa menggerakkan isi alam selain Sulaeman?”

Hanya Sulaeman yang dianegerahi Tuhan

“Lalu, kenapa injak kami? Bukankah Sulaeman selalu berhati-hati?”

“Kenapa banyak manusia tidak belajar?”

“Dia yang Tuhan beri kuasa dan harta luar biasa, dia cinta mahluk tanpa beda”.

“Kenapa manusia suka menginjak, menindas, memeras, menyingkirkan yang lain

hanya utuk kuasa, hanya untuk harta?”

Tetes air mata membulir di pipiku

Semut merah terus berkata,

“Untuk apa manusia membaca kitab suci jika tidak mengikutinya?”

“Untuk apa manusia seakan memuja nabi, jika jauh dari ahlaknya?”

Aku makin masgul

Mendengar khutbah semut merah

Di jeda pertanyaannya

Aku ingin tahu, kenapa gigitannya lebih sakit dari semut lainnya

“Aku adalah penanda. Aku adalah ayat Allah untuk manusia”.

“Aku yang hidup di bawah tungku, di balik sisa kayu bakar

mengirim pesan, gigitan itu sedikit cipratan api membara”.

“Tidakkah manusia membayangkan mahluk neraka

yang akan membalas setiap dosa manusia?”

Bulir air mata makin deras menerpa

Berhenti, jangan kau teruskan semut

Aku tak sanggup mendengarnya

Aku tahu tumpukan dosaku lebih banyak dari helai bulu domba

Aku tahu kesalahanku membumbung tinggi bagai debu angkasa

Aku sadar kebaikanku tak lebih banyak dari setitik embun jingga

Semut merah, kabarkan pada Tuhanmu

Tobatku belum seberapa

Tak sebanding mekar kuncup bunga

Zikirku kalah dari kicau burung saat fajar tiba

“Jangan putus asa hai manusia, Tuhan maha pengampun

Bagi hamba yang mengiba”.

Semut merah tersenyum belalu

Aku masih berjongkok menyesali dosa masa lalu. ***

 

 

Tana Kaili, 29 Mei 2020

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

Negeriku Makin Lucu