Sejarah Jurnalistik
Oleh: Temu Sutrisno
Pers sudah ada sejak lama. Cikal bakalnya
muncul sejak zaman Romawi Kuno (59 SM). Sejumlah catatan sejarah menyebutnya
sebagai Acta Diurna, semacam jurnal yang beritanya masih ditulis tangan alias
tak dicetak.
Sekalipun cikal bakalnya ada di Romawi, koran edisi cetak sendiri ternyata tak muncul di sana untuk kali pertama. Koran edisi cetak pertama justru dikenal di Cina, bernama Di Bao (Ti Bao) yang terbit sekitar tahun 700-an. Tentu, jangan membayangkan bahwa koran itu mulus dan cantik seperti yang kita lihat setiap hari sekarang, sebab Di Bao dicetak dengan menggunakan balok kayu yang dipahat, hurufnya aksara Cina. Di Bao adalah koran pertama di dunia yang sudah dicetak.
Sekalipun cikal bakalnya ada di Romawi, koran edisi cetak sendiri ternyata tak muncul di sana untuk kali pertama. Koran edisi cetak pertama justru dikenal di Cina, bernama Di Bao (Ti Bao) yang terbit sekitar tahun 700-an. Tentu, jangan membayangkan bahwa koran itu mulus dan cantik seperti yang kita lihat setiap hari sekarang, sebab Di Bao dicetak dengan menggunakan balok kayu yang dipahat, hurufnya aksara Cina. Di Bao adalah koran pertama di dunia yang sudah dicetak.
Selain hurufnya yang
masih kasar, bentuk koran zaman dulu juga juga tak seperti sekarang yang
terdiri atas berlembar-lembar halaman. Bentuk koran pada zaman dulu masih sangat
sederhana, masih berupa lembaran berita atau disebut newssheet.
Dari sisi isi, juga
lebih banyak berkaitan dengan dunia bisnis para banker serta pedagang dari
Eropa. Termasuk koran berikutnya, Notize Scritte yang terbit di Venesia,
Italia. Saat itu, koran lembaran ini biasanya banyak dipasang di tempat umum.
Namun, untuk membacanya warga harus membayar 1 gazzeta. Dari sanalah, konon,
muncul istilah gazette yang dalam perkembangannya diartikan sebagai koran.
Era kebangkitan koran lantas terjadi menyusul penemuan mesin cetak oleh Johan Gutenbergh pada pertengahan abad XV. Penemuan mesin yang memudahkan proses produksi ini memicu terbitnya koran-koran di Eropa, sekalipun prosesnya tak sekaligus.
Era kebangkitan koran lantas terjadi menyusul penemuan mesin cetak oleh Johan Gutenbergh pada pertengahan abad XV. Penemuan mesin yang memudahkan proses produksi ini memicu terbitnya koran-koran di Eropa, sekalipun prosesnya tak sekaligus.
Awalnya, lembar
berita yang terbit tidak teratur dan memuat cuma satu peristiwa yang saat itu
sedang terjadi. Koran berkala muncul tahun 1609 dengan terbitnya mingguan Avisa
Relation oder Zeitung di Jerman. Berikutnya terbit pula Frankfurter Journal
(1615). Sampai kemudian lahir Leipzeiger Zeitung (1660), juga di Jerman, yang
mula-mula mingguan, kemudian jadi harian. Inilah koran harian pertama di dunia.
Koran lainnya yang
kemudian muncul adalah The London Gazette yang terbit di Inggris tahun 1665.
Namun koran yang pertama terbit secara harian di Inggris adalah The London
Daily Courant (1702), disusul The Times yang terbit sejak abad XVII dan yang
pertama kali memakai sistem cetak rotasi.
PERS INDONESIA
Berbicara dunia pers di Indonesia, tidak
bisa dipisahkan dari hadirnya bangsa Barat di tanah air kita. Memang tidak bisa
dipungkiri, orang Eropa khususnya bangsa Belanda, yang telah “berjasa”
memelopori hadirnya dunia pers dan persuratkabaran di Indonesia. Masalahnya
sebelum kehadiran mereka, tidak diberitakan adanya media masa yang dibuat oleh
bangsa pribumi.
Tentang awal mula dimulainya dunia
persuratkabaran di tanah air kita ini, Dr. De Haan dalam bukunya, “Oud Batavia”
(G. Kolf Batavia 1923), mengungkap secara sekilas bahwa sejak abad 17 di
Batavia sudah terbit sejumlah berkala dan surat kabar. Dikatakannya, bahwa pada
tahun 1676 di Batavia telah terbit sebuah berkala bernama Kort Bericht
Eropa (berita singkat dari Eropa). Berkala yang memuat berbagai berita
dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark ini,
dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676. Setelah itu terbit
pula Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws
pada tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant
tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810.
Sejak abad 17 dunia pers di Eropa memang
sudah mulai dirintis. Sekalipun masih sangat sederhana, baik penampilan maupun
mutu pemberitaannya, surat kabar dan majalah sudah merupakan suatu kebutuhan
bagi masyarakat di masa itu. Bahkan, para pengusaha di masa itu telah meramalkan
bahwa dunia pers di masa mendatang merupakan lahan bisnis yang menjanjikan.
Oleh karena itu, tidak heran apabila para pengusaha persuratkabaran serta para
kuli tinta asal Belanda sejak masa awal pemerintahan VOC, sudah berani membuka
usaha dalam bidang penerbitan berkala dan surat kabar di Batavia.
Kendati demikian, tujuan mereka bukan cuma
sekadar untuk memperoleh keuntungan uang. Namun, mereka telah menyadari bahwa
media masa di samping sebagai alat penyampai berita kepada para pembacanya dan
menambah pengetahuan, juga punya peran penting dalam menyuarakan isi hati
pemerintah, kelompok tertentu, dan rakyat pada umumnya. Apalagi, orang Belanda
yang selalu mengutamakan betapa pentingnya arti dokumentasi, segala hal ihwal
dan kabar berita yang terjadi di negeri leluhurnya maupun di negeri jajahannya,
selalu disimpan untuk berbagai keperluan.
Dengan kata lain media masa di masa itu
telah dipandang sebagai alat pencatat atau pendokumentasian segala peristiwa
yang terjadi di negeri kita yang amat perlu diketahui oleh pemerintah pusat di
Nederland maupun di Nederlandsch Indie serta orang-orang Belanda pada
umumnya. Dan apabila kita membuka kembali arsip majalah dan persuratkabaran
yang terbit di Indonesia antara awal abad 20 sampai masuknya Tentara Jepang,
bisa kita diketahui bahwa betapa cermatnya orang Belanda dalam pendokumentasian
ini.
Dalam majalah Indie, Nedelandch Indie
Oud en Nieuw, Kromo Blanda, Djawa, berbagai Verslagen (Laporan)
dan masih banyak lagi, telah memuat aneka berita dari mulai politik, ekonomi,
sosial, sejarah, kebudayaan, seni tradisional (musik, seni rupa, sastra,
bangunan, percandian, dan lain-lain) serta seribu satu macam peristiwa penting
lainnya yang terjadi di negeri kita.
Tirtoadisuryo pelopor bebas buka suara
Sampai akhir abad ke-19, koran atau berkala yang
terbit di Batavia hanya memakai bahasa Belanda. Dan para pembacanya tentu saja
masyarakat yang mengerti bahasa tersebut. Karena surat kabar di masa itu diatur
oleh pihak Binnenland Bestuur (penguasa dalam negeri), kabar beritanya
boleh dikata kurang seru dan “kering”. Yang diberitakan cuma hal-hal yang biasa
dan ringan, dari aktivitas pemerintah yang monoton, kehidupan para raja, dan
sultan di Jawa, sampai berita ekonomi dan kriminal.
Namun memasuki abad 20, tepatnya di tahun
1903, koran mulai menghangat. Masalahnya soal politik dan perbedaan paham
antara pemerintah dan masyarakat mulai diberitakan. Parada Harahap, tokoh pers
terkemuka, dalam bukunya “Kedudukan Pers Dalam Masjarakat” (1951) menulis,
bahwa zaman menghangatnya koran ini, akibat dari adanya dicentralisatie
wetgeving (aturan yang dipusatkan). Akibatnya beberapa kota besar di
kawasan Hindia Belanda menjadi kota yang berpemerintahan otonom sehingga ada
para petinggi pemerintah, yang dijamin oleh hak onschenbaarheid (tidak
bisa dituntut), berani mengkritik dan mengoreksi kebijakan atasannya.
Kritik semacam itu biasanya dilontarkan
pada sidang-sidang umum yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau daerah.
Kritik dan koreksi ini kemudian dimuat di berbagai surat kabar dalam ruangan Verslaag
(Laporan) agar diketahui masyarakat. Berita-berita Verslaag ini tentu
saja menjadi “santapan empuk” bagi para wartawan. Berita itu kemudian telah mereka
bumbui dan didramatisasi sedemikian rupa sehingga jadilah suatu berita sensasi
yang menggegerkan. Namun, cara membumbui berita Verslaag semacam ini,
lama-kelamaan menjadi hal biasa. Bahkan, cara-cara demikian akhirnya disukai
oleh para pengelolanya karena bisa mendatangkan keuntungan dan berita sensasi
memang disukai pembacanya.
Para petinggi pemerintah yang kena kritik
juga tidak merasa jatuh martabatnya. Bahkan, ada yang mengubah sikapnya dan
membuat kebijaksanaan baru yang menguntungkan penduduk. Keberanian menyatakan
saran dan kritik ini akhirnya menular ke masyarakat. Tidak sedikit koran yang
menyajikan ruangan surat pembaca yang menampung “curhat” tentang berbagai hal
dari para pembacanya. Bahkan, setelah dibentuknya Volksraad (DPR
buatan Belanda) pada tahun 1916, kritik yang menyerempet soal politik mulai
marak.
Dunia pers semakin menghangat ketika
terbitnya “Medan Prijaji” pada tahun 1903, sebuah surat kabar pertama yang
dikelola kaum pribumi. Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan merupakan masa
permulaan bangsa kita terjun dalam dunia pers yang berbau politik. Pemerintah
Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers Bumiputra). Pemimpin
redaksinya yakni R. M. Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini
menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi
masyarakat. Dia boleh dikata merupakan bangsa kita yang memelopori kebebasan
PERS KAUM PRIBUMI
Sikapnya ini telah memengaruhi surat kabar
bangsa pribumi yang terbit sesudah itu. Hal ini terbukti dari keberanian dia
menulis kalimat yang tertera di bawah judul koran tersebut, Orgaan bagi
bangsa jang terperintah di Hindia Olanda tempat membuka suaranja. Kata
terperintah di atas konon telah membuka mata masyarakat, bahwa bangsa pribumi
adalah bangsa yang dijajah. Boleh jadi Tuan Tirto terinspirasi oleh kebebasan
berbicara para pembesar pemerintah tersebut di atas. Rupanya dia berpendapat,
bahwa yang bebas buka suara bukan beliau-beliau saja, namun juga rakyat jelata
alias kaum pribumi.
Hadirnya Medan Prijaji telah
disambut hangat oleh bangsa kita, terutama kaum pergerakan yang mendambakan
kebebasan mengeluarkan pendapat. Buktinya tidak lama kemudian Tjokroaminoto
dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harian Oetoesan Hindia. Nama
Samaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusioner
yakni Api, Halilintar dan Nyala. Suwardi
Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah mengeluarkan koran dengan nama
yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur Bergerak dan Hindia
Bergerak. Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih
Merdeka dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung
Karno pun tidak ketinggalan pula telah memimpin harian Suara Rakyat
Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun 1926. Tercatat pula nama
harian Sinar Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar Indonesia.***
Permisi Ya Admin Numpang Promo | www.fanspoker.com | Agen Poker Online Di Indonesia |Player vs Player NO ROBOT!!! |
BalasHapusKesempatan Menang Lebih Besar,
|| WA : +855964283802 || LINE : +855964283802