Kerajaan dan Ke-Rajaraja-an
Oleh: Temu Sutrisno
AWAL TAHUN
2020, masyarakat Indonesia disuguhkan pemberitaan seputar pendirian kerajaan
yang cukup menghebohkan. Kemunculan Keraton Agung Sejagat di Purworejo dengan
dua tokoh sentral sebagai pimpinan kerajaan. Mereka adalah Toto Santoso yang
menyebut dirinya Sinuhun dan Fanni Aminadia sebagai ratunya.
Polisi
akhirnya menguak motif penipuan di balik beragam aktivitas Keraton Agung
Sejagat. Mereka pun menetapkan Fanni dan Toto sebagai tersangka.
Di tempat berbeda,
pada waktu bersamaan muncul Sunda Empire, yang cukup menarik perhatian karena
seragamnya yang mirip angkatan bersenjata dan mengklaim beranggota 54 negara
hingga mampu kendalikan nuklir. Sunda Earth Empire di Bandung, adalah
kekaisaran matahari dan kekaisaran bumi, sebagaimana ditegaskan pria bernama
HRH Rangga sebagai pimpinan Sunda Empire. Di Tasikmalaya mucul Kesultanan
Selaco.
Sejatinya
munculnya kerajaan-kerajaan ini, merupakan ulangan dari beberapa kasus serupa.
Sebelum Keraton Kerajaan Sejagat dan Sunda Empire, masyarakat Indonesia pernah
digegerkan dengan kemunculan Kerajaan Ubur-ubur. Kasus-kasus ini menghebohkan,
karena ada dugaan penipuan.
Berbeda
dengan kasus kerajaan fiktif, di tengah demokrasi kekinian, upaya melestarikan kerajaan pada masa silam,
masih berlangsung. Hanya karena konteksnya pendekatan budaya, kemunculannya
tidak menimbulkan masalah di tengah publik sebagaimana Kerajaan Sejagat dan
yang lainnya. Tidak terlalu sulit menemukan sorang tokoh formal dalam
pemerintahan, dikukuhkan atau (mungkin) mengukuhkan dirinya sebagai raja di
sebuah wilayah. Dalam struktur budaya, bisa jadi yang bersangkutan adalah raja
atau turunan raja masa lampau. Tentu saja, tanpa wilayah administrasi
sebagaimana kerajaan pada masa lampau.
Kemunculan berbagai
kerajaan palsu di Indonesia dinilai sebagai bentuk fenomena masyarakat yang
ingin mendapat solusi praktis terkait masalah ekonomi. Pencetus
kerajaan-kerajaan itu menyasar masyarakat kalangan ekonomi menengah ke bawah,
yang terobesesi pada kemampuan ekonomi lebih.
Banyaknya
pengikut kerajaan fiktif menunjukkan
strata sosial masih menggelayuti kehidupan masyarakat. Masyarakat ingin
dihargai dan dipandang lebih tinggi karena status sosial ‘warga’ kerajaan dan
seberapa besar memiliki kekayaan. Masih ada yang memandang warga kerajaan sebagai 'orang atas' dalam pergaulan sosial di era modern. Tak heran jika ada warga rela membayar untuk
menjadi bagian dari kerajaan.
Jika
hipotesa itu benar, maka negara harus mengakui bahwa pendidikan dan
pembangunan ekonomi belum sepenuhnya berhasil. Pendidikan tak cukup energi untuk mencerdaskan anak bangsa, dan pembangunan ekonomi belum mampu
menyejahterakan sebagaian besar rakyat.
Solusinya,
Negara harus hadir untuk membangun ekonomi masyarakat. Harapannya masyarakat tidak mudah terjebak pada
iming-iming ekonomi oleh orang-orang tertentu yang berperilaku keraja-rajaan
dan/atau mendirikan kerajaan baru yang ternyata fiktif.
Selain itu,
Negara juga harus hadir untuk mencerdaskan kehidupan warga Negara. Dalam jangka
panjang, perlu dirancang sistem pendidikan yang mencerahkan sekaligus menjadi
pondasi ekonomi. Untuk jangka pendek, Negara harus hadir mencerdaskan melalui
gerakan literasi budaya dan ekonomi, sehingga masyarakat tidak mudah termakan
hoaks. Dengan langkah seperti itu, semoga tidak lagi muncul kerajaan-kerajaan
fiktif dan perilaku keraja-rajaan untuk menipu.***
Palu, 21 Januari 2020
Permisi Ya Admin Numpang Promo | www.fanspoker.com | Agen Poker Online Di Indonesia |Player vs Player NO ROBOT!!! |
BalasHapusKesempatan Menang Lebih Besar,
|| WA : +855964283802 || LINE : +855964283802