Kubur Bergeser, Mayat Begelimpangan
Oleh: Temu Sutrisno
Hari keenam pascagempa, kami rombongan
PWI Sulteng bersama Komunitas Bhinneka Tunggal Ika bergerak ke Desa Sibalaya
Selatan Kecamatan Tanambulava Kabupaten Sigi untuk sekadar berbagi meringankan
beban korban bencana.
Dengan tiga mobil bermuatan paket sembako,
rombongan dipimpin langsung Ketua PWI Sulteng, Mahmud Matangara. Seperti tidak
menghiraukan lelah, dua hari sebelumnya Pak Mahmud, saya, dan Pak Aslam A
Rasyid, bendahara PWI Sulteng baru tiba dari Surakarta mengikuti Kongres PWI.
Tidak perlu waktu lama untuk istirahat.
Dua hari sebelumnya, Sekretaris PWI Sulteng Indar Ismail bersama Komunitas
Bhinneka Tunggal Ika telah menyiapkan paket sembako yang diatur di Kantor PWI.
Saat itu Kantor PWI dijadikan base camp untuk
penyaluran bantuan pada korban bencana yang digalam PWI bersama Komunitas
Bhinneka Tunggal Ika.
Sepanjang perjalanan menuju Sibalaya
Selatan, kami melewati beberapa desa yang hampir semua warganya membuat
tenda-tenda di pinggir jalan atau tanah lapang.
Sampai di Sibalaya, tim langsung
berkoordinasi dengan petugas PMI dan koordinator Posko pengungsi di Pasar
Sibalaya. Lapak pasar dijadikan tempat pengungsian sementara, dan dinilai aman
dari ancaman likuefaksi. Pilihan pasar, karena lokasinya tepat berada di bagian
atas tanggul irigasi Gumabasa. Sementara daerah terkena liukefaksi, hampir
semua lokasinya berada di bagian bawah tanggul irigasi, mulai dari Petobo, Jono
Oge, dan Sibalaya. Hanya daerah Balaroa di Palu yang lokasinya jauh dari
jaringan irigasi Gumbasa.
Setelah saya menyerahkan bantuan secara
simbolis mewakili PWI, saya dan Pak Mahmud memilih duduk di lapak penjual kopi.
Ibu Rahma (46), mengaku sehari-hari menjual kopi di lapak itu. Rumahnya di
dekat lapangan Sibalaya terkena dampak likuefaksi dan mengalami kerusakan,
meski tidak terlalu parah.
Pada kami ia bercerita, sore itu
sebagian besar anak-anak muda Sibalaya pergi ke Palu untuk menyaksikan
pembukaan Festival palu Nomoni. Tidak ada tanda-tanda akan terjadi bencana. Ia
bersama keluarganya, maghrib itu di rumah siap-siap untuk salat. Belum sempat
salat, tiba-tiba gempa hebat mengguncang. Seketika ia berteriak dan seisi
keluarga berhamburan keluar rumah.
Gempa tak berhenti, seperti sambung
menyambung. Seisi kampung panik dan berteriak, “ke lapangan, ke lapangan,”
teriak banyak orang.
Hampir semua orang berlari menuju
lapangan sebagai titik evakuasi aman. Tiba-tiba lampu padam. Kampung menjadi
gelap gulita.
Saat semua orang hampir sampai tengah
lapangan, tiba-tiba terdengan suara ledakan. Buumm. Bumi meledak, tanah merekah
terbelah. Orang-orang berteriak makin panik.
“Kami berkejaran dengan tanah terbelah.
Kami bergeser, tanah terbelah seperti mengikuti kami. Akhirnya kami kembali
berkumpul di jalan,” tutur Rahma.
Beberapa orang menolong warga lain yang
terjebak di rekahan tanah, cerita Rahma. “Malam itu kami belum sadar kalau
lapangan bergeser, kami hanya tahu tanah nalodo
(likuefaksi),” katanya.
Malam itu di tengah duka dan kepanikan,
warga saling tolong menyelematkan warga lainnya yang terjebak dalam rekahan
tanah likuefaksi. “Sekitar enam puluh atau seratus orang yang terjebak lumpur.
Termasuk paman saya, dia selamat karena naik di batang kelapa yang tumbang,”
cerita Rahma.
Malam itu sebagian korban memilih
bermalam di batang pohon yang terbawa lumpur. Mereka takut turun, karena lumpur
lembek dan takut terperosok lebih dalam. Hingga pagi menjelang, korban baru
beringsut meninggalkan tempat dengan cara ditarik oleh warga lainnya dengan
kayu (galah) panjang. “Kalau tidak salah, ada delapan yang meninggal,” sebut
Rahma.
Pagi hari, saat warga hendak ke kubur
mengurus pemakaman korban, betapa terkejutnya warga. Sibalaya dilanda kehebohan
baru. Kubur desa bergeser diterjang likuefaksi. Kubur bergeser sekitar
seratusan meter dari lokasi semula. Tulang dan mayat yang belum lama dikubur
terbongkar berserakan.
Pagi setelah gempa dan likuefaksi, warga bahu membahu membangun tenda di
belakang kantor kecamatan dan sebagian memilih mengungsi di pasar. Sebagian laki-laki
disibukkan dengan pengumpulan tulang dan mayat di area pekuburan. Tidak ada
alat berat. Semua bekerja secara manual. Gempa bumi dan likuefaksi malam 28
September 2018, bukan hanya merubuhkan bangunan, membuat lapangan terbelah,
juga menggeser pemakaman desa. ***
Komentar
Posting Komentar