Kabar Duka di Kongres PWI
Oleh:
Temu Sutrisno
Sejak
Rabu (26/9/2018) rombongan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulteng telah
berada di Surakarta untuk mengikuti Kongres PWI. Rombongan PWI Sulteng dipimpin
langsung Pak Mahmud Matangara selaku Ketua PWI Sulteng, dengan anggota Aslam A
Rasyid (bendahara) dan saya selaku Wakil Ketua Bidang Pendidikan. Dalam
rombongan ikut juga Suyanto atau Mas Yanto pimpinan Sulteng Raya selaku
peninjau, sekaligus mengikuti kegiatan SPS yang diadakan di Hotel Sunan
Surakarta.
Di
tengah Kongres, saat Presiden Jokowi membuka kegiatan, saya mendapat informasi
telah terjadi gempa bumi di Kabupaten Donggala. Bagi kami warga Palu dan
Donggala Sulawesi Tengah, menerima informasi gempa adalah hal biasa. Kondisi
daerah kami di patahan sesar Palu-Koro, nyaris setiap saat menerima goyangan
dari sang bumi.
Usai
pembukaan kongres, saya telepon istri di Palu menanyakan informasi gempa,
karena telah tersiar kabar ada dua warga Donggala meninggal. Jawaban istri di
ujung telepon, menyatakan kondisi Palu baik-baik saja dan gempa terhitung
kecil. Jawaban itu membuat saya lega.
Mendekati
pukul 17.00 WIB, saya kembali telepon ke Palu dan diterima Aryo anak sulungku.
Ia sempat menanyakan kapan pulang, dan meminta dibelikan raket badminton untuk
kegiatan ekstra kurikuler di sekolahnya. Belum selesai bicara, telepon putus.
Saya
bersama Mas Yanto dan Pak Aslam, sore itu menuju salah satu pusat batik untuk
sekadar jalan-jalan dan (ada rencana) membeli beberapa lembar batik untuk
oleh-oleh. Kondisi jalanan Surakarta sore itu macet. Di tengah kemacetan, saya
buka-buka HP. Betapa kaget, sekilas info dari beberapa situs berita nasional,
Palu diguncang gempa dan terjadi tsunami. Saya informasikan ke Mas Yanto dan
Pak Aslam kejadian di Palu. Akhirnya kami bertiga berupaya menelpon keluarga
masing-masing, tapi tidak nyambung. Berulang kami berupaya menghubungi, tidak
bisa. Dikemudian hari, kami baru tahu, kalau semua jaringan telekomunikasi dan
listrik terputus dihantam gempa, likuefaksi dan tsunami.
Akhirnya
rombongan tidak jadi ke pusat batik, sopir yang juga keluarga Mas Yanto,
menyarankan untuk pusat perbelanjaan dekat hotel tempat kami menginap. Sampai
di tempat belanja, saya tidak masuk, kepikiran kondisi Palu.
Tak
lama duduk di parkiran, beberapa teman dan keluarga dari Mamuju, Makassar,
Jakarta, Malang, Demak, Yogyakarta, Lamongan, Surabaya, Balikpapan, Luwuk, Banggai, silih berganti menelpon
menanyakan kondisi keluarga di Palu. Meski belum mengetahui kondisi pasti di
Palu, saya berusaha merasionalisasi dengan mengatakan bahwa rumah kami agak
jauh dari pantai. Butuh gelombang lebih dari duapuluh meter untuk sampai ke
rumah. Dengan kondisi topografi Palu miring, saya berkeyakinan keluarga saya
selamat. Bahkan hati saya saat itu cukup tenang dan tidak mendapat firasat
apapun. Dalam hati saya yakin, keluarga selamat.
Akhirnya
kami kembali ke hotel. Pak Aslam ke Hotel Sunan, sementara saya dan Mas Yanto
ke Hotel Amrani Syariah di Jl. Slamet Riyadi Surakarta. Sampai di hotel, saya
langsung menyalakan TV untuk mengetahu informasi Palu dan sekitarnya. Tapi
informasi nyang saya dapat tidak banyak, breaking news hanya diulang-ulang.
Informasi akhirnya saya dapatkan dari teman-teman yang secara kebetulan ada di
Palu Grand Mall, dan berhasil merekam tsunami yang meluluhlantakkan bangunan
sepanjang pantai Teluk Palu.
Agung
Ramadhan wartawan Mercusuar, entah dapat video dari mana, langsung mengirimkan
ke saya kondisi tsunami Pantai Lere dan Likuefaksi di Balaroa. Kondisi Balaroa
yang ambles tetelan bumi, membuat saya teringat kondisi rumah yang dulunya
adalah daerah kawasan sagu, daerah air. Dalam hati berdoa, semoga tidak terjadi
apa-apa dengan keluarga.
Malam yang Panjang
Malam
itu saya tidak kembali ke arena Kongres. Malam itu menjadi malam yang panjang
bagi kami. Saya sepanjang malam duduk di depan TV dan hampir tiap lima atau
sepuluh menit berupaya menelpon ke Palu. Di sebelah saya, Mas Yanto sepanjang
malam salat dan berdoa. Saya menyempatkan diri salat malam, walau tidak
sepanjang dan (mungkin) sekhusyu’ Mas Yanto.
Saya
juga beberapa kali meminjam telepon hotel pada resepsionis. Berharap bisa
menyambung, karena HP sama sekali tidak bisa digunakan untuk menghubungi
keluarga di Palu.
Sekira
pukul 21.00 Wita, Mas Yanto sempat kontak dengan staf redaksi Sulteng Raya
Nanin Gayatri. Nanin hanya menyampaikan kondisi PLTU yang tumbang, dia tidak
tahu kondisi kantor dan Palu pada umumnya.
Saya
juga sempat berkomunikasi dengan wartawan Sulteng Raya, Nur Hidayat. Dia
menyampaikan, kondisi kantor Sulteng Raya dan Mercusuar aman tidak terkena
dampak gempa maupun tsunami. Dia mengatakan rumahnya hanyut terbawa tsunami
tanpa sisa. Dia mengungsi ke Kawatuna hanya dengan baju di badan dan sepeda
motor. Saya sempat minta tolong untuk melihat keluarga di Jl. Ahmad Yani
Kelurahan Besusu Tengah. Dia bilang sulit turun dari pegunungan, karena
sepanjang jalan menuju Kawatuna penuh pengungsi dan tidak ada bahan bakar untuk
kendaraan.
Malam
berlalu. Saya dan Mas Yanto nyaris tidak tidur. Meskipun dalam hati
berkeyakinan keluarga selamat, saya tetap berupaya untuk terus mencari
informasi. Subuh pun datang. Setelah salat subuh, kami kembali menyalan TV.
Running story di TV, seperti malam tadi. Tidak ada perubahan informasi.
Sekira
pukul 08.05 WIB atau jam tujuh pagi di Palu, tiba-tiba HP Nokia Jadul saya
berbunyi. Aryo anak saya menelpon. “Papa, papa, papa,” demikian suara di
seberang. Hati saya langsung plong.
Suara
anak saya putus. Saya mencoba menhubungi, dan tersambung. “halo, halo Aryo,
halo,” berulang-ulang saya lakukan, tapi tidak ada suara. Akhirnya tidak lama
SMS masuk. “Papa selamat semua”. SMS berikutnya, “Nanti Papa di Palu baru cerita”.
Tiket Dibatalkan
Pagi
setelah mandi dan sarapan, saya ke Hotel Sunan untuk mengikuti agenda kongres
PWI dan Mas Yanto ke Purwodadi, menengok keluarga. Sampai di hotel, Pak Aslam
langsung mengabarkan bahwa kita tidak bisa pulang. Bagian ticketing Lion Air
membatalkan, karena alasan bencana dan pesawat tidak ada yang bisa mendarat di
Bandara Mutiara Palu. Kaget tak terkira, bagaimana mungkin Lion Air membatalkan
sepihak tiket kami. Atas nama profesionalisme layanan konsumen dan kemanusiaan,
kenapa tidak dibantu dialihkan penerbangan ke Bandara terdekat?
Pagi
itu Pak Mahmud, mencoba menghubungi Lion Air agar penerbangan kami dialihkan ke
Bandara terdekat. Pihak Lion Air mengatakan, tidak bisa. Kami pun tidak punya
banyak pilihan. “Sudah nanti kita cari-cari pesawat di Bandara,” kata Pak
Mahmud.
Hari
itu, kami mengikuti agenda kongres mulai dari pemilihan ketua hingga dewan
kehormatan. Kongres akhirnya berhasil memilih Atal S Depari selaku ketua umum
PWI periode 2018-2023 dan Ilham Bintang
sebagai ketua Dewan Kehormatan.
Agenda
kongres lainnya, tidak banyak menarik perhatian kami. Kami lebih banyak telepon
kanan kiri, baik untuk mencari informasi keluarga maupun tiket. Apalagi hari
itu Pak aslam dan Pak Mahmud belum mendapatkan informasi tentang keluarganya.
Pertolongan Datang
Usai
kongres, kami bertiga meluncur ke Bandara Adi Sumarmo untuk menanyakan tiket
kami. Lagi-lagi pihak Lion tidak bisa memberikan jawaban. “Pak kalau mau lima
hari kedepan, mungkin bisa. Tapi kami tidak jamin,” kata bagian tiket Lion Air
di Bandara.
Saya
berupaya untuk lobi, dicarikan bandara terdekat. “Mungkin dialihkan ke
Makassar, Gorontalo atau Banggai,” kata saya. “Tidak bisa pak, semua penuh,”
kata petugas tiket.
Kami
pun duduk-duduk. Sesekali lagi cek ke beberapa maskapai lain. Jawabannya sama,
tidak ada lagi seat.
Tiba-tiba
petugas tiket Lion memanggil. “Pak ini ada agak dekat, tapi ke Bali”. Perkataan
petugas tiket itu membuat saya langsung emosi. Saya pun menimpali dengan suara
cukup besar. Beberapa orang mendekat dan menanyakan persoalan. Begitu juga
dengan Pak Mahmud. “Kenapa tidak ke Australia sekalian. Kau kira Bali itu dekat
Palu”.
“Pak
jangan marah ke saya, kalau bapak mau komplain langsung saja ke pusat. Kami
hanya urus tiket,” kata petugas tadi.
Akhirnya
keributan berhenti setelah Pak Aslam menarik saya duduk di kursi. “Istighfar,
ingat tekanan,” kata Pak Aslam mengingatkan riwayat tekanan darah tinggi saya.
Melihat
kami ribut-ribut, seorang laki-laki datang dan mengaku penghubung Angkatan Laut
(ALRI), saya lupa namanya, meminta bersabar dan akan berupaya mencarikan tiket
ke Palu. Setelah sekian lama ia pergi dari hadpan kami, ia datang kembali dan
mengabarkan ada tiket ke Makassar dari City Link. Kami langsung mengiyakan dan
tentu saja berterima kasih atas bantuan tersebut. “Bapak ke Jogja pak ya,
terbang dari sana”. “Oke,” jawab Pak Mahmud.
Saya
langsung mengontak Mas Yanto, kami ada tiket ke Makassar. Kalau mau pulang
sama-sama, kami tunggu di Jogja. Akhirnya Mas Yanto cari tiket dan berangkat
dari Purwodadi ke Jogja. Anehnya, Mas Yanto mendapat tiket Lion Air.
Kami
bertiga segera menuju Bandara Adi Sutjipto. Di sana kami menunggu Mas Yanto,
dan janjian ketemu di Bandara Hasanuddin Makassar. Mas Yanto terbang pukul
17.00 WIB, kami bertiga pukul 17.15 WIB.
Sampai
di Bandara Hasanuddin, kami berencana naik Hercules ke Palu. Mas Yanto
menghubungi saudaranya, perwira menengah di AURI. Ternyata Hercules telah
terbang ke Palu dua belas menit sebelumya. Kalau mau, bisa naik esok hari.
Tak
disangka, kami bertemu rombongan PWI Sulbar yang juga pulang dari kongres.
Mereka menawarkan bantuan, naik mobil ke Mamuju dan dari Mamuju ke Palu nanti
diantar Ketua PWI Sulbar, Naskah M Nabhan. Pak Mahmud langsung setuju.
Lagi-lagi pertolongan datang tak terduga.
Malam
itu kami langsung naik mobil rental dari Makassar ke Mamuju dan sampai esok
harinya.
Usai
istirahat sejenak di kediaman ketua PWI Sulbar, kami langsung menuju Palu
diantar ketua PWI Sulbar. Perjalanan dari Mamuju hingga Pasang Kayu, ibukota
Mamuju Utara berjalan lancar. Di Pasang Kayu, kami mencari bahan bakar untuk
mobil. SPBU penuh antrean hingga satu kilo meter, hampir semua kendaraan dari
Sulteng. Kami tahu karena kendaraan rata-rata berplat DN.
Akhirnya
ketua PWI Sulbar minta tolong wartawan di Pasang Kayu untuk cari bensin eceran
dengan bermodal dua derigen. Setelah berusaha mencari, akhirnya didapat bensin
eceran dengan harga Rp22.000 per botol. Penuh tangki mobil, perjalanan kami
lanjutkan menuju Palu.
Masuk
Kabupaten Donggala, jalanan dipenuhi pengungsi dan kami harus berbagi dengan
mereka meski hanya sedikit air mineral yang telah kami siapkan sebelumnya di
mobil. Masuk Kota Banawa, ibukota Donggala, mulai nampak tumpukan kayu, mobil,
motor. Dam sisa-sisa bangunan. Kondisi itu, nampak sepanjang jalan menuju Palu.
Donggala-Palu yang biasanya ditempuh dalam waktu setengah jam, malam itu kami
tempuh sekira lima jam.
Sekira
pukul 23.30 Wita kami masuk Palu. Kondisi gelap gulita. Alhamdulillah akhirnya
kami bertemu keluarga masing-masing malam itu. Terima kasih penghubung ALRI,
terima kasih PWI Sulbar. ***
Komentar
Posting Komentar