RTRW untuk (Si)Apa?


Oleh: Temu Sutrisno

Torijono duduk termangu di atas sebuah batu, memandangi gundukan tanah di depannya. Tepat di gundukan itu, terpatri banyak memori ia membina rumah tangga dari awal pernikahan, hingga dua putranya tumbuh.

Terbayang kedua buah hatinya bermain di pekarangan. Teringat suasana bahagia, terkenang perjuangan membangun keluarga kecil. Kini semua telah sirna. Setahun lalu, bencana menghancurkan semua. Tak terkecuali, rumahnya.

Di balik semua itu, Torijono masih bersyukur pada Tuhan. Istri dan kedua buah hatinya selamat dari hantaman bencana yang menggulung. Sore itu, ia dan kedua putranya ke masjid sekira seratusan meter dari rumahnya. Setelah gempa mengguncang, tsunami menghantam, dan likuefaksi menelan rumahnya, ditengah kepanikan dalam gulita malam, Torijono bertemu istrinya yang selamat dari ‘blender’ likuefaksi.

Kini setahun berselang, pemerintah telah merevisi rencana tata ruang wilayah (RTRW). Pemerintah menyepakati Rekomendasi Arahan Tata Ruang Pascabencana berdasarkan Peta Zona Ruang Rawan Bencana (ZRB) dan arahan spasialnya. 

Peta ZRB menjadi salah satu pendekatan untuk mewujudkan Rencana Tata Ruang (RTR) yang berbasis mitigasi bencana atau pengurangan risiko bencana. Dalam implementasinya, peta ZRB tersebut menjadi dasar penyusunan Rencana Induk Pemulihan dan Pembangunan Kembali Wilayah Pascabencana dan penyusunan revisi tata ruang RTRW Provinsi, RTRW Kabupaten/Kota dan rencana detail tata ruang (RDTR), khususnya di kawasan relokasi.
Pemerintah mengeluarkan klasifikasi zona dan arahan spasial pascabencana, yang terdiri atas ZRB 4 sebagai zona terlarang, ZRB 3 sebagai zona terbatas, ZRB 2 sebagai zona bersyarat, dan ZRB 1 sebagai zona pengembang. 

Arahan spasial pasca bencana ZRB 4 adalah tidak diperbolehkan pembangunan kembali dan pembangunan baru. Pemanfaatan ruang pada ZRB 4 diprioritaskan untuk fungsi kawasan lindung, RTH, dan monumen. Dengan begitu, unit hunian pada zona ini direkomendasikan untuk segera direlokasi. 

Arahan spasial pasca bencana ZRB 3 tidak diperbolehkan pembangunan baru fungsi hunian serta fasilitas penting dan berisiko tinggi, antara lain rumah sakit, sekolah, gedung pertemuan, stadion, pusat energi, pusat telekomunikasi. Pembangunan kembali hunian juga perlu diperkuat sesuai standar SNI 1726. 

Pada kawasan yang belum terbangun dan berada pada zona rawan likuifaksi sangat tinggi maupun rawan gerakan tanah tinggi, diprioritaskan untuk fungsi kawasan lindung atau budidaya non-terbangun seprti pertanian, perkebunan, dan kehutanan. 

Sementara, arahan spasial pasca bencana ZRB 2 yaitu diperbolehkan pembangunan baru sesuai dengan standar SNI 1726. Pada zona rawan tsunami dan rawan banjir, bangunan hunian disesuaikan dengan tingkat kerawanan bencananya dan intensitas pemanfaatan ruang rendah. 

Sedangkan arahan spasial pascabencana ZRB 1 yaitu pembangunan baru dengan intensitas pemanfaatan ruang rendah-sedang, sebagai tindak lanjut dari arahan spasial pasca bencana.
Torijono, sebagaimana korban bencana lainnya tidak terlalu paham, dengan penyusunan RTRW, RDTR, dan ZRB yang dilakukan pemerintah. Mereka tidak terlibat dan dilibatkan dalam pembahasannya. Padahal dokumen-dokumen itu pada akhirnya berkaitan dengan hidup Torijono dan korban bencana lainnya.
“Untuk apa RTRW? Untuk siapa zona rawan bencana? SNI, apa SNI? Kalau kami disuruh pindah, tidak boleh bangun rumah di sini, tanah ini jadi milik siapa? Atau pemerintah mau membeli, mengganti untung tanah kami?” berbagai pertanyaan menggantung dalam pikiran Torijono.
Torijono tak habis pikir, pemerintah menyusun perencanaan dan mengambil keputusan sendiri. Kenapa pemerintah tidak menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan dan mengedepankan teknologi untuk mitigasi bencana? Atau menggali kearifan lokal, atau, atau, atau…banyak pertanyaan menggantung di benak Torijono.
Seandainya Amerika dan Jepang berpikir dengan cara pemerintah, California dan banyak pantai di Jepang atau tempat-tempat yang pernah terkena bencana, tidak akan berisi manusia.
“Mereka hanya menyapa saat butuh suara. Rakyat ada ketika berburu kuasa, saat mereka mengejar kursi Pilkada,” guman Torijono.
Teringat wajah neneknya, kedua orang tuanya yang telah tenang di sisi-Nya, ari-ari dirinya dan kedua permata hatinya yang tertanam di bawah gundukan bekas tempat tinggalnya. Entah sudah berapa generasi turun menurun Torijono dan keluarganya tinggal di situ. Psikologi Torijono terpaut kuat dengan tempat kelahirannya.
Samar-samar suara azan mengalun. Torijono segera beranjak meninggalkan tempat duduknya.

“Ya Allah, aku datang untuk mengadu pada-Mu,” kata Torijono, mengayun langkah menuju masjid yang dibangun apa adanya pascabencana. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN MORALITAS

Dewi Themis Menangis

Negeriku Makin Lucu